BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
v Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan bentuk
mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau baca’an,
seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :
ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع
قراناه ( القيمة : 17-18 )
Artinya:
“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan
(membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
v Secara Istilah (Terminologi)
Adapun difinisi
alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى
الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف
المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:
“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan
penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan Al Qur’an
dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut beberapa
ulama Ushul Fiqh :[1]
1. Al-Qur’an merupakan
kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila
tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an.
Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur)
Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah,
tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat
disebut alqur’an.
2. Bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan
ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an
tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah
Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’
hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan
ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3. Al-Quran dinukilkan
kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian
satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4. Membaca setiap kata
dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri
(Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5. Al-Qur’an dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag
terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya.
Dengan demikian doa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an
dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
Di dalam buku Ushul Fiqih, Prof. DR. Amir
Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim. Hal: 18. Bahwa Al-Qur’an itu:
Kalamullah yang diturunkannya perantara’an
Malaikat Jibril kedalam hati Rosulullah Muhammad Ibnu Abdulah dengan bahasa
Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi bukti bagi Rosul tentang
kebenaranya sebagai Rosul, menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya
sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, dan ia di bukukan di antara
dua kulit mushaf, di awali dengan surah al-fatihah dan di akhiri dengan surat
an-nas, di sampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun
hafalan dari generasi kegenerasi dan terpelihara dari segala perubahan dan
pergantian sejalan dengan kebenaran jaminan allah saw. Dalam surat al-hijr,
ayat 9: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami
benar benar memeliharanya.
Ø Dari difinisi di atas
ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1. Lafal dan maknanya
langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah
kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.
2. Tafsiran surat atau
ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak
dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa
lain (bahasa selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an,
meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang
dalam.
B. Kehujjahan Al-Qur’an
Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an
sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan
menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi sejumlah
alasan, dintaranya :
1. Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu
terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan
atasnya”. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran
Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti
oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai
wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi
utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia.[2]
2. Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa
yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar
kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan
kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan
untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri
melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki
mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah
satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang
diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang
dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena Rasulullah
SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka
berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut
sesuai dengan firman-Nya yangArtinya:
“Sesungguhnya Kami
telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S.
Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti
dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan
apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah
yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin
berkembang ini.[3]
1. Pandangan Imam Abu
Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur
ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu
Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara
dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan
shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi
walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun
seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan
bahasa selain Arab.
2. Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah
kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber
hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena
kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang
yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau
berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang
menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher
orang itu,”.
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik
mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an
sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah
SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk
Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an terbagi dalam dua macam yaitu:
·
Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas
maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi
dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak
lain bahwa lafad nash itu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna
yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain,
Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni ) adalah lafazh yang menunjukkan makna
jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan
hujjah , hanya saja Lafazh Nash di dahulukan dari pada Lafazh Dhohir . Dan juga
menurut imam malik bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir
termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang
di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di
sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik
·
Ayat-ayat
Mutasyabbihat
Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah diselidiki
secara mendalam.
3. Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran
tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat
erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i
menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan
As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini
sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i
dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan
dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan
bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari
Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan
bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan
Madharat.
4. Pandangan Imam Ahmad
Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an
itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidakakanberubah sepanjang masa.
Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL (luas atau umum).
Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna
Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I,
Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping
Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu
adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang
dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad
betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah
SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
1. Sesungguhnya zhahir
al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
2. Rosulullah saw. Yang
berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan
atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan
menjelaskannya.
3. Jika tidak di temuan
penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah yang
di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an .dan mereka pula
yang lebih mengetahui as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran
al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di
tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia
menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul
Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)
C. Petunjuk (Dilalah)
Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah
sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi
wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena
semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada
qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada
Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan
membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja
para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu
Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang
mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di
mencantumkan kata Mutata Biatin pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat
tersebut pada mushaf-nya tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا
ت
Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat
Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab
mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat
tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ
اواخت من الام
Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati
dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.

a. Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di
takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar
nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg
menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging
babi,hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg
menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan
maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul
Wahab Khalaf,1972;35)
b. Nashyang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil
ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak
(homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai
cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg
qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg
termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat
menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg
qath’i tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd
premis-premis yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg
bergantung pd dalil yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
D. Penjelasan Al-Qur’an
Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
1. Ayat-ayat yang menjelaskan Hukum
diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan,
ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa
puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama
Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan
menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT
pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum
diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2. Ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
a. firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5]
E. Sistematika Hukum
Dalam Al-Qur’an
Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama,
maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang.
Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:



Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,
garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi,
yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak,
yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3. Hukum-hukum Amaliyah,
yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf,
baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy
syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain
sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua
menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang
kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang
diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum
Islam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Komintar
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam.
Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun
sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’,
tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang
keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga
termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang
melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah,
yaitu larangan atau perintah Allah.
B. Saran –Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buat
ini, hedaknya Pembaca Memberikan Kritik dan saran serta melakukan
Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari
Kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA
o Ushul Fiqih Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim
o Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN
dan PTAIS pustaka setia Bandung 2007
o Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, Elektronik Book, “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI
Bani Saleh 2009
Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
o Prof.Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina
Utama,1994
Makalah
Ushul Fikih-SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM-
A. PENDAHULUAN
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang
definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih. Yang mana pengertian ushul
fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan istimdad
itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam kaitannya dengan
ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok kami ini, akan membahas
tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni pengertian sumber dan
dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu
(Ijtihad) yang terdiri dari ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan
mazab shahabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan
“sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan
tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam
al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama
dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل),
jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ
اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat
material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه
الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir
yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang
statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
2. Sumber dan Dalil Hukum Islam
1) Alquran
a. Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari
kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:
القران هوالكلام الله
المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف
المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Alquran adalah Kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan
Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis
dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
b. Hukum-hukum Yang Dikandung Alquran dan Tujuan
Diturunkan Alqquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum
yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam
‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai
mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber
syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
c. Penjelasan Alquran Terhadap Hukum-hukum
1. Ijmali (global), yaitu penjelasan
yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh:
masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2. Tafshili (rinci), yaitu keterangannya
jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
d. Dalalah Alquran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum
adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.
1. Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung
pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2. Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran
mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
e. Kaidah Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa
kaidah umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu
diantaranya adalah:
1. Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum
Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu
kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
2. Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus
mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
3. Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid
juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang
berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.
2) As-Sunnah
a. Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku
seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut
istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala
perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah
Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah
Taqririyah).”
b. Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk
menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang
menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS.
Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang
yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS.
An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan
wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti
sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup
Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah
Rasulullah sebagai sumber hukum.
c. Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau
periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis
mutawwatir dan hadis ahad.
d. Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan
(penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran
(QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
~
Menjelaskan isi
Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
~
Membuat aturan-aturan
tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya di dalam Alquran
3) Ra’yu (Ijtihad)
a. Ijma’
a) Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan
kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan
umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’
melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum
itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing
mujtahid mengemukakan pandangannya
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
5. Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis
c) Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
1. Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang
memenuhi persyaratan ijtihad
2. Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat
adil
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam
menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’
yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang
artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka
hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu
berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran.
Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan
kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah
ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
b. Qiyas
a) Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu
membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan
menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa
dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang
telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat
antara keduanya (asal dan furu’).
b) Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun
qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash
atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi
hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl
(hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa
setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
a) Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap
dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b) Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c) ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl
lainnya
d) Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu
adalah dalil khusus
e) Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f) Hukum ashl itu tidak
keluar dari kaidah-kaidah qias
2. Hukum al-Ashl
a) Tidak bersifat khusus
b) Hukum al-ashl itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qias
c) Tidak ada nash
d) Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan
dari far’u.
3. Far’u
a) ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada
pada ashl
b) Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan
qias
c) Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
d) Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum
far’u itu
4. ‘Illat
a) ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan
sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b) ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua
orang
c) ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap
oleh panca indera manusia
d) ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan
hukum
e) ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau
ijma
f) ‘Illat itu bersifat
utuh dan berlaku secara timbal balik
g) ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum
ashl
h) ‘Illat itu bisa ditetapkan dan
diterapkan pada kasus hukum lain.
c) Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum
syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS.
Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini
“menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak
disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
c. ‘Urf
a) Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu
yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول
اوفعله
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena
telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan.”
b) Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa
perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1) Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum) yaitu
adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
2) Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu
adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:
1) Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal
yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai
menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
2) Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid)
yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang
diharamkan Allah.
c) Keabsahan ‘Urf menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk
dijadikan landasan hukum. Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid
bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan
Syafi’iyah.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa
syarat-syarat ‘urf yaitu:
1) ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
2) ‘Urf harus bersifat umum
3) ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu
peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
e) Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan
hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping
banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti
qias, istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat
ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk
oleh mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa
tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan
tempat.
d. Istishab
a) Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta
ikut serta secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan
yaitu:
استدامة انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”
b) Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat
macam-macam istishab sebagai berikut:
1) Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab
yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan
ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat
sebagai pemiliknya.
2) Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab
yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas
dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
3) Istishab al-hukm yaitu istishab yang
didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama
tidak ada bukti yang mengubahnya
4) Istishab al-wasf yaitu istishab yang
didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya
sampai ada bukti yang mengubahnya.
e. Syar’u Man Qablana
a) Pengertian
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum
Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa,
Nabi Isa.
b) Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat
para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku
lagi bagi umat.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat
tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Alquran tetapi
tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan
tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya persoalan hukuman qishas
dalam syariat nabi Musa yang diceritakan dalam surat Al-Maidah ayat 45 yang
artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka
didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan
luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adaladh orang-orang
yang zalim.”
f. Mazhab Shahabi
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat
Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Alquran dan Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud sahabat Rasulullah
adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu
yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke
dalam empat kategori:
1) Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil
ijtihad
2) Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas
dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat
3) Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak
mengikat sahabat lain
4) Fatwa sahabat secara perorangan yang
didasarkan oleh ra’ya dan ijtihad.
C. PENUTUP
Sumber berarti rujukan utama dalam menetapkan
hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk
yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang
bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil hukum-hukum Islam yaitu
meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan
Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis
dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan
dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah
Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan dalil yaitu ijma,
qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi. Ijma adalah
kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Qias yaitu
mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah
disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah
ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal
dan furu’).
‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi
suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Perbedaan ‘urf dengan adat yaitu
‘urf merupakan mayoritas kebiasaan banyak orang sedangkan adat muncul karena
adanya kebiasaan pribadi. Istishab yakni menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa.
Dan mazab shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus
dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul
Fiqih. 2005. Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I.
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih.
Pekalongan: STAIN Press.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.
Wahbah
al-Zuhaili, Ushul Fiqih Alislami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 417.
dan Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), hlm. 20.
H.
Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hlm.
11.
Abdul
Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 33.
Ade
Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hlm.
65-66.
Ali
Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.
Zakiyuddin
al-Sya’ban, Ushul Fiqih (Mesir: Dar al-Ta’lif), hlm. 144. dan Abdul
Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar