Rabu, 14 Oktober 2015

Sumber Hukum Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Qur’an
v  Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :
ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه ( القيمة : 17-18 )
Artinya:
“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah : 17-18).
v  Secara Istilah (Terminologi)
Adapun  difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:
 “Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
 Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh :[1]
1.    Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.
2.    Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3.    Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4.    Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5.    Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikian doa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
Di dalam buku Ushul Fiqih, Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim. Hal: 18.  Bahwa Al-Qur’an itu:
Kalamullah yang diturunkannya perantara’an Malaikat Jibril kedalam hati Rosulullah Muhammad Ibnu Abdulah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi bukti bagi Rosul tentang  kebenaranya sebagai Rosul, menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, dan ia di bukukan di antara dua kulit mushaf, di awali dengan surah al-fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas, di sampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun hafalan dari generasi kegenerasi dan terpelihara dari segala perubahan dan pergantian sejalan dengan kebenaran jaminan allah saw. Dalam surat al-hijr, ayat 9: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya.   
Ø  Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:
1.      Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.
2.      Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain (bahasa selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan bahasa yang baikdan mengandung makna yang dalam.
B.     Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.
Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1.      Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia.[2]
2.      Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya yangArtinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).
Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
1.      Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2.      Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.[3]
*      Al-Qur’an sebagai Sumber  Hukum Menurut Imam Madzhab.[4] Diantaraya :
1.      Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2.      Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an  terbagi dalam dua macam yaitu:
·         Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni ) adalah lafazh  yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya saja Lafazh Nash di dahulukan dari pada Lafazh Dhohir . Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik
·         Ayat-ayat Mutasyabbihat
Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
3.      Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL (luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
1.      Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
2.      Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
3.      Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an .dan mereka pula yang lebih mengetahui  as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)
C.    Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا ت
Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواخت من الام
Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
*      Adapun di tinjau dari segi Dilalah­-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;
a.      Nash yang Qath’i dilalah-nya
 Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi,hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,  dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
b.      Nashyang Zhanni dilalah-nya
 Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.
             Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
             Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
D.    Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
1.      Ayat-ayat yang menjelaskan  Hukum diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2.      Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
a.       firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5]
E.     Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama,  maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
*      Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
*      Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
*      Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,  garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1.      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2.      Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3.      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang  pertama, amaliyah yang  kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[6]




BAB III
PENUTUP
A.    Komintar
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.

B.     Saran –Saran
            Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buat  ini, hedaknya Pembaca  Memberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.










DAFTAR PUSTAKA
o   Ushul Fiqih Prof. DR. Amir Syarifudin, Penerbit Zikrul Hakim
o   Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia Bandung 2007
o   Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, Elektronik Book, “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
Elektonik Book “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang.
o   Prof.Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama,1994



[1] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50
[2] Dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[3] dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[4] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51
[5] Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009
[6] Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf

Makalah Ushul Fikih-SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM-


A.   PENDAHULUAN

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih. Yang mana pengertian ushul fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan istimdad itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam kaitannya dengan ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok kami ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni pengertian sumber dan dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu (Ijtihad) yang terdiri dari ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi.




B.   PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).

2.  Sumber dan Dalil Hukum Islam
1)  Alquran
a.  Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:

القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Alquran adalah Kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”



b.  Hukum-hukum Yang Dikandung Alquran dan Tujuan Diturunkan Alqquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
c.   Penjelasan Alquran Terhadap Hukum-hukum
1.  Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2.  Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
d.  Dalalah Alquran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.
1.  Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2.  Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
e.   Kaidah Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
1.  Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
2.  Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
3.  Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.

2)  As-Sunnah
a.  Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”
b.  Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.



c.   Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.
d.  Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
~     Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
~     Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
~     Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.

3)  Ra’yu (Ijtihad)
a.  Ijma’
a)  Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1.  Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2.  Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3.  Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
4.  Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
5.  Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis

c)   Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
1.  Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
2.  Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
3.  Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran. Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.

b.  Qiyas
a)  Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
b) Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.  Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
a)  Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b)  Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c)   ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d)  Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
e)   Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f)    Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
2.  Hukum al-Ashl
a)  Tidak bersifat khusus
b)  Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
c)   Tidak ada nash
d)  Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
3.  Far’u
a)   ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
b)  Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
c)   Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
d)  Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
4.  ‘Illat
a)  ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b)  ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
c)   ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
d)  ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
e)   ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
f)    ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
g)  ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
h)   ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
c)   Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.

c.   ‘Urf
a)  Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول اوفعله
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
b) Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1)  Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum) yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
2)  Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:
1)  Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
2)  Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid) yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.
c)   Keabsahan ‘Urf  menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum. Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa syarat-syarat ‘urf yaitu:
1)  ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
2)  ‘Urf harus bersifat umum
3)  ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
4)  Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
e)   Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qias, istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.

d.  Istishab
a)  Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu:
استدامة انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”


b) Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat macam-macam istishab sebagai berikut:
1)  Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai pemiliknya.
2)  Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
3)  Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya
4)  Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.

e.   Syar’u Man Qablana
a)  Pengertian
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa.
b) Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku lagi bagi umat.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Alquran tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya persoalan hukuman qishas dalam syariat nabi Musa yang diceritakan dalam surat Al-Maidah ayat 45 yang artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adaladh orang-orang yang zalim.”

f.    Mazhab Shahabi
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud sahabat Rasulullah adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:
1)  Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad
2)  Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat
3)  Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain
4)  Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’ya dan ijtihad.




C.   PENUTUP

Sumber berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil hukum-hukum Islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan dalil yaitu ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi. Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Qias yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Perbedaan ‘urf dengan adat yaitu ‘urf merupakan mayoritas kebiasaan banyak orang sedangkan adat muncul karena adanya kebiasaan pribadi. Istishab yakni menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya. Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dan mazab shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.




DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. 2005. Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih Alislami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 417. dan Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 20.
H. Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hlm. 11.
Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 33.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hlm. 65-66.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.
Zakiyuddin al-Sya’ban, Ushul Fiqih (Mesir: Dar al-Ta’lif), hlm. 144. dan Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 37.
Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hlm. 445. dan Zakiyuddin al-Sya’ban, op. cit., hlm. 26.
H. Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 112.
Ibid., h. 112-117.
Ibid., h. 117-124.
Ibid., h. 121-125.
Nazar Bakry, op. cit., hlm. 44.
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 165.
H. Satria Effend dan M. Zein, op. cit., hlm. 153.
Ibid., h. 154-155.
Ibid., h. 156-157.
Ibid., h. 159.
Ibid., h. 161-162.
Ibid., h. 162-163.
Ibid., h. 169.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar