MAKALAH
STUDY QUR’AN
AL-MUHKAMAT DAN AL-MUTSYABIHAT

O l e h:
SUMANTO
Nim: DMP.
14.110
PASCASARJANA
MAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2015
PENDAHULUAN
Alqur’an adalah kitab terakhir yaang
diturunkan oleh Allah. Ia merupakan penyempurna bagi kitab-kitab yang dulu
telah diturunkan. Di dalamnya termuat segala petunjuk yang dapat menyelamatkan
manusia, baik yang bersifat eksplisit (tersurat, jelas), maupun yang implisit
(tersirat, perlu penafsiran). Dan juga, dengan segala kelebihannya, Alqur’an
memberikan dasar-dasar dan juga petunjuk baik yang berbentuk muhkam, maupun
mutasyabih; berupa ‘amm maupun yang khash; dan dengan keindahannya yang
tertuang dalam amtsal dan qashash.
Salah satu persoalan ulumul Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang ini adalah kategorisasi muhkamat dan mutasyabihat. Telaah dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Salah satu persoalan ulumul Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang ini adalah kategorisasi muhkamat dan mutasyabihat. Telaah dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Adapun dalam makalah ini, pembahasan
seputar ayat muhkamat dan mutasyabihat difokuskan kepada ulama atau tokoh-tokoh
Islam, seperti Manna’ Khalil Al Qattan, Ibnu Abbas, Syamsurizal Panggabean,
Al-Asfahani, ulama Salaf (Imam
Malik), ulama
Muta’akhirin (Abu Hasan Al-Asy’ari) hingga tokoh modernisme (Masdar F. Mas’udi)
serta tokoh-tokoh yang terkait lainnya. Dalam uraiannya nanti, penulis akan
membahasnya berdasarkan tiga klasifikasi teori, yaitu teori pemahaman, teori
pengalaman dan teori isi. Untuk lebih jelasnya ketiga teori tersebut, akan
diuraikan di bawah ini.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Secara etimologi, kata muhkamat dan mutasyabihat, berasal
dari kata “muhkam” artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak
mungkin diganti atau diubah, dan lafal “mutasyabih” adalah ungkapan yang maksud
makna lahirnya samar.[1]
bentuk mudzakar untuk menyifati kata-kata mudzakar juga, seperti sebutan
al-Qur’an yang muhkam atau mutasyabih. Sedangkan lafal “muhkamat” dan
“mutasyabihat” adalah bentuk kata muannats untuk menyifati kata yang muannats
pula, seperti sebutan untuk surah atau ayat yang muhkamat atau mutasyabihat. Kedua lafal
tersebut mempunyai banyak arti, baik menurut bahasa maupun istilah. Karena itu,
kedua pengertian tersebut perlu dibahas.
Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas
artinya, sedangkan Mutsyabih adalah sebaliknya.[2]
Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka, hakim adalah
orang yang mencegah kedzaliman dan memisahkan antara dua pihak yang
bersengketa, serta memisahkan antara yang haq dengan yang bathil dan antara kejujuran
dan kebohongan. Sedangkan ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang
sesat. Jadi, yang dimaksud kalam muhkam adalah perkataan yang kokoh, benar,
jelas dan tegas.
Sedangkan mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yaitu bila
satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Adapun syubhah berarti keadaan di
mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkrit maupun abstrak. Jadi,
tasyabuh al-kalam adalah kesamaan serta kesesuaian perkataan, karena
sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.
Menurut Imam Manna’ Khalil Al Qattan Beliau mendefinisikan
muhkam dan mutasyabih menjadi 3 pendapat:
a.
Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya; sedangkan
mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri
b.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah;
sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah
c.
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
langsung, tanpa memerlukan keterangan lain; sedangkan mutasyabih memerlukan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[3]
B. Teori Pemahaman
Dalam
teori pemahaman mengenai muhkamat dan mutasyabihat, akan dikemukakan tiga teori
yang didasarkan pada pendapat ulama salaf yang diwakili oleh Imam
Malik, ulama
muta’akhirin yang diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari, dan pendapat Imam
Al-Raghib al-Asfahani.
Menurut
para ulama salaf, seperti yang dikemukakan oleh Imam Malik, bahwa mereka
mempercayai dan meyakini ayat mutasyabihat dan menyerahkan sepenuhnya kepada
Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka berusaha untuk mensucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an. Sebagai contoh, ketikaImam Malik
ditanya tentang istiwa’, ia menjawab:
الإستواء
معلوم والكيف يجهول والسؤال عنه بدعة وأظنك رجل السوء أخرجوه عنى
(Istiwa` itu telah kita ketahui, sedangkan caranya tidak kita ketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang tidak baik. Keluarkan dia dari tempatku).
Berdasarkan jawaban Imam Malik di
atas, tampak jelas bahwa ia tidak menjelaskan pengertian istiwa’ seperti yang
ditanyakan kepadanya, ia hanya memaklumkannya saja. Hal ini membuktikan bahwa
menurut ulama salaf, ayat mutasyabihat tidak dapat dipahami maknanya, karena
hanya Allah saja yang dapat memahami makna sesungguhnya.
Ibnu Ash-Shalah
menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat
Islam pertama. Madzhab ini pula yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih.
Kepada madzhab ini pula, para imam dan pemuka hadits mengajak para pengikutnya.
Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak
madzhab ini.
Berdasarkan
uraian di atas, tampak jelas bahwa pada intinya kaum salaf mensucikan Allah
dari makna lahir kalimat pada sifat-sifat-Nya, karena makna harfiah demikian
mustahil bagi Allah. Mereka benar-benar mengimani sepenuhnya rahasia kandungan
makna firman Allah mengenai sifat-Nya itu, dan mereka menyerahkan hakikat
maknanya kepada Allah.
Pendapat
di atas, berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh ulama muta’akhirin.
Dalam hal ini, penulis mengambil pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari. Menurutnya bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu dapat dipahami
maksudnya oleh orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentangnya. Abu Hasan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa cara membaca surah Ali Imran ayat 7 tersebut berhenti
atau ber-akhir pada kalimat “dan orang-orang yang berilmu mendalam”.
mutasyabihat tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan pula beberapa pendapat yang
relevan dengan pendapat ulama muta’akhirin tentang kemungkinan untuk memahami
ayat-ayat mutasyabihat. Dasar dari pendapat mereka itu adalah surah Ali Imran
ayat 7 yang berbunyi sebagai berikut:
هو
الذي انزل عليك الكتاب منه ايت محكمات هن ام الكتاب واخر متشابهات ...
Artinya: “Dia-lah
yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat......" ..
Ayat
itulah yang menjadikan risalah al-Qur’an mudah dicerna bagi mereka yang mau
menggunakan pikirannya, karena mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menggunakan
redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Qur’an
memiliki banyak ayat mutasyabihat, sehingga bila redaksinya tidak dipahami
secara metaforis, maka sangat memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam memahami
jiwa ajaran al-Qur’an. Jadi, dari pendapat Asad ini, ayat-ayat yang tergolong
fawatih as-suwar juga dapat ditafsirkan secara metaforis agar dapat mengungkap
jiwa ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dalam
konteks fawatih as-suwar tersebut, Imam Nawawi berusaha menafsirkan huruf
pembuka surah dengan mengaitkannya kepada nama Allah. Misalnya, Alif
Lam Mim
ditafsirkan dengan Ana Allah A’lam (Akulah Tuhan yang Maha Tahu). Alif Lam Ra’
ditafsirkan dengan Ana Allah Ara (Akulah Tuhan yang Maha Melihat). Alif Lam Ra’
dan Ha Mim merupakan ejaan ar-rahman yang dipisahkan. Dalam mengomentari huruf
Kaf Ya Ha ‘Ain Shad, ia berkata: “Kaf sebagai lambang Karim (Pemurah), HaHadin
(Pemberi Petunjuk), Ya’ berarti Hakim (Bijaksana), ‘Ain berarti ‘Alim (Maha
Mengetahui), dan Shad berarti Shadiq (Yang Mahabenar)”.
Menurut Sayyid al-Quthub, huruf-huruf itu mengingatkan pada sebuah kenyataan bahwa al-Qur’an disusun dari huruf-huruf yang lazim dikenal bangsa Arab, yaitu tujuan al-Qur’an pertama kali diturunkan. Dalam pandanganya, misteri dan kekuatan huruf-huruf itu terletak pada kenyataan bahwa meskipun huruf-huruf itu terletak begitu lazim dan sangat dikenal, manusia tidak akan dapat menciptakan gaya dan diksi yang sama dengannya untuk membuat kitab seperti al-Qur’an.
Menurut Sayyid al-Quthub, huruf-huruf itu mengingatkan pada sebuah kenyataan bahwa al-Qur’an disusun dari huruf-huruf yang lazim dikenal bangsa Arab, yaitu tujuan al-Qur’an pertama kali diturunkan. Dalam pandanganya, misteri dan kekuatan huruf-huruf itu terletak pada kenyataan bahwa meskipun huruf-huruf itu terletak begitu lazim dan sangat dikenal, manusia tidak akan dapat menciptakan gaya dan diksi yang sama dengannya untuk membuat kitab seperti al-Qur’an.
Pendapat
lain seperti Ibn Katsir, Ath-Thabari dan Rasyid Ridha menyatakan bahwa
huruf-huruf tersebut berfungsi sebagai tanbih atau peringatan. Dalam hal ini,
Rasyid Ridha berargumentasi bahwa letak keindahan pembicara adalah ketika
menyandarkan perhatian pendengarnya agar mereka mampu untuk menangkap serta
mampu menguasai hal-hal yang dibicarakannya.
Berkaitan
dengan pendapat itu, Jalaluddin As-Suyuthi mengatakan bahwa al-Qur’an tidak
menggunakan kata-kata peringatan (tanbihat) yang biasa digunakan dalam bahasa
Arab, seperti ala dan ama karena keduanya termasuk lafal-lafal yang biasa
dipakai dalam percakapan, sedangkan al-Qur’an merupakan kalam Allah karenanya
menggunakan alif sebagai kata peringatannya yang belum pernah digunakan sama
sekali sehingga lebih terkesan bagi pendengarnya.
Dalam
tradisi sufi, rahasia-rahasia huruf itu dijelaskan dengan perspektif
esoterik-simbolik. Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai pelopor dalam hal ini. ‘Arabi
menjelaskan bahwa alif adalah nama esensi Ilahi, yang menunjukkan bahwa Allah
SWT merupakan yang pertama dari segala eksistensi, sedangkan lam terbentuk dari
dua alif, dan keduanya dikandung oleh mim. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa
setiap nama adalah referensi untuk hakikat (esensi), yaitu yang mengandung satu
atau beberapa sifat yang lain (atribut). Oleh karena itu, mim merupakan referensi
terhadap tindakan Nabi Muhammad. Selain itu, Ibnu ‘Arabi juga menjelaskan bahwa
alif adalah simbol sifat dan tindakan-tindakan Nabi Muhammad, maka lam yang
mengantarkan alif dan mim merupakan simbol nama malaikat Jibril.
Penafsiran
terhadap ayat mutasyabihat di atas, sejalan dengan pendapat seorang sarjana
muslim modern penafsir al-Qur’an bernama Muhammad Asad. Ia berpendapat bahwa
al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya tidak samar, namun
kebanyakan justru firman-firman yang metaforis. Menurut sarjana ini, sifat
alegoris atau metaforis keterangan-keterangan dalam Kitab Suci itu harus
digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab manusia tidak akan dapat
memahami sesuatu yang sama sekali abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa
yang sudah ada dalam alam fikirannya. Namun manusia, dalam usaha memahami
keterangan suci itu, tidak dibenarkan untuk menganggap perolehannya sebagai
mutlak dan final, sebab “tidak ada kesalahan yang lebih besar dari pada
berfikir bahwa ‘terjemahan-terjemahan’ (yakni, ungkapan dalam bahasa manusia)
itu dapat memberi definisi kepada sesuatu yang tidak mungkin didefinisikan.
Penjelasan ini semakin memperuncing perbedaan antara pendapat para ulama salaf
dengan muta’akhirin dalam memahami ayat muhkamat dan mutasyabihat. Perbedaan
yang tajam ini, selanjutnya didamaikan Imam Al-Raghib al-Asfahani di bawah ini.
Menurut
al-Asfahani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: :
1. ayat atau lafadz yang sama sekali tidak dapat diketahui artinya secara hakiki, seperti saat tibanya hari kiamat, kalimat daabbatul-ardhi (sejenis binatang yang akan muncul menjelang kehancuran alam semesta). Hal ini seperti terdapat dalamsurah An-Naml ayat 82: واذا وقع القول عليهم اخرجنا لهم دآبة من الارض تكلمهم ان الناس كانوا باياتنا لا يوقنون
1. ayat atau lafadz yang sama sekali tidak dapat diketahui artinya secara hakiki, seperti saat tibanya hari kiamat, kalimat daabbatul-ardhi (sejenis binatang yang akan muncul menjelang kehancuran alam semesta). Hal ini seperti terdapat dalamsurah An-Naml ayat 82: واذا وقع القول عليهم اخرجنا لهم دآبة من الارض تكلمهم ان الناس كانوا باياتنا لا يوقنون
“Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami ”
2. ayat mutasyabihat yang dengan berbagai sarana manusia dapat mengetahui maknanya, seperti lafadz yang aneh dan hukum yang tertutup.
3. ayat-ayat mutasyabihat yang
khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang yang mendalam ilmunya dan
tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka, yaitu sebagaimana yang
diisyaratkan oleh doa Rasulullah bagi Ibnu Abbas: “Ya Allah, karuniakanlah ia
ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil
kepadanya”.
Jalan
tengah yang diambil oleh Al-Asfahani di atas menunjukkan kearifannya dalam
menyikapi perbedaan pendapat di antara para ulama salaf dengan muta’akhirin,
tanpa harus menyalahkan atau membenarkan pendapat di antara keduanya.
C. Teori Pengalaman
C. Teori Pengalaman
Dalam
teori pengalaman ini, pembahasannya diarahkan kepada ayat yang dinasakh atau
mansukh. Menurut para ulama, ayat muhkamat itu pada umumnya adalah ayat-ayat
yang sudah dinasakh, seperti halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
Hal ini cukup sejalan dengan pendapat Ali ibnu Abi Thalhah, yang menyatakan
bahwa ciri-ciri dari ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat
lain, ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat yang berisi
ketentuan, ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus di-imani dan
diamalkan.
Sedangkan ayat-ayat yang tergolong ayat mutasyabihat menurut pandangan ulama adalah ayat-ayat mansukh, seperti ayat yang terkait dengan asma’ Allah dan sifatNya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Ali ibnu Thalhah yang menjelaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang hanya boleh diimani dan diamalkan.
Sedangkan ayat-ayat yang tergolong ayat mutasyabihat menurut pandangan ulama adalah ayat-ayat mansukh, seperti ayat yang terkait dengan asma’ Allah dan sifatNya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Ali ibnu Thalhah yang menjelaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang hanya boleh diimani dan diamalkan.
Ayat-ayat
yang tergolong mutasyabihat di maksud, seperti terdapat dalam surah Thaha, ayat
5: الرحمن
على العرش استوى
“(yaitu) Tuhan
yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy”
Selain
ayat tersebut, terdapat juga ayat mutasyabihat misalnya di dalam surah
al-Qashash ayat 88, al-Fath ayat 10, al-An’am ayat 18, al-Fajr ayat 22,
al-Bayyinah ayat 8 dan lainnya. Selain itu, ayat yang menjadi pembukasurah pada
beberapa surah dalam al-Qur’an juga ter-masuk ke dalam ayat mutasyabihat.
D. Teori Isi
Dalam
teori isi ini, dikemukakan tiga pendapat yang bersumber dari Ibnu Abbas,
Syamsurizal Panggabean dan Masdar F. Mas’udi.
Menurut
Ibnu Abbas di dalam Tafsir Al-Manar, ayat muhkamat itu terkait dengan sepuluh
perintah Allah yang dijelaskan dalam surah Al-An’am. Sedangkan selain sepuluh
perintah Allah itu, maka ayat-ayat lainnya tergolong ayat mutasyabihat. Adapun
di antara sepuluh perintah Allah di maksud, misalnya Dia memerintahkan untuk
memakan hewan yang disembelih atas nama-Nya (Al-An’am ayat 118), larangan untuk
memakan harta anak yatim (Al-An’am ayat 152) dan lain sebagainya.
Sedangkan
Syamsurizal Panggabean mengembangkan pendapat dari Asy-Syafi’i atau Ash-Sya’bi,
yang menjelaskan bahwa ayat yang tergolong mutasyabihat itu terdapat di
dalamsurah Al-Ahzab tentang tujuh kisah Nabi dan umatnya yang memperoleh
kemenangan dalam menghadapi lawan-lawannya.
Berbeda
pula dengan Masdar F. Mas’udi. Ia mengatakan bahwa setiap ayat yang bersifat
universal atau mujmal kandungannya termasuk ayat mutasyabihat, sedangkan ayat
yang bersifat parsial atau partikular itu termasuk ayat-ayat muhkamat. Terkait
dengan ayat mutasyabihat di- karenakan kemujmalannya, As-Suyuthi menjelaskan:
“di antara (ayat-ayat mujmal) adalah ayat-ayat yang di dalamnya terdapat
istilah-istilah syar’iyyah, seperti: “Dan tegakkanlah shalat dan tunaikan
zakat”, dan “barang siapa yang melihat di antara kamu bulan maka puasalah”, dan
“untuk Allah diwajibkan atas manusia untuk menunaikan haji”. Ayat tersebut
dikatakan mujmal karena kata shalat mengandung makna semua doa, puasa semua
bentuk pengekangan, dan haji semua bentuk tujuan. Maksud dari kata-kata
tersebut tidak ditunjukkan oleh bahasanya dan membutuhkan penjelasan.”
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami mengapa Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa
ayat-ayat yang mujmal termasuk ayat-ayat mutasyabihat? Jawabnya karena ayat
yang mujmal tersebut masih samar maknanya. Sehubungan dengan kesamaran makna
pada ayat-ayat mutasyabihat ini, Abdul Jalal menjelaskan secara rinci dan
membagi-nya menjadi tiga macam, yaitu: samar pada lafal, samar pada makna, dan
samar pada lafal dan maknanya. Kesamaran pada lafalnya seperti lafal yang masih
mufrad (lafal yang belum tersusun dalam kalimat) atau lafal yang sudah murakkab
(lafal yang tersusun dalam kalimat). Lafal yang mufrad memiliki ketidakjelasan
arti disebabkan oleh lafalnya yang gharib (asing) dan musytarak (bermakna
ganda). Contoh lafal mufrad yang gharib adalah lafal ابا
dalamsurah Abasa ayat 31:
”Dan buah-buahan serta rumput-rumputan,”
Sehingga
asing. Kalau tidak ada penjelasan dari ayat berikutnya, arti kata abban itu
sulit dimengerti umat. Tetapi ayat 42 surah Abasa menyebutkan:
(Untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu)
Setelah adanya ayat tersebut, baru jelas bahwa yang dimaksudkan dengan abban adalah rerumputan, seperti bayam, kangkung dan sebagainya yang disenangi manusia dan binatang ternak.
Setelah adanya ayat tersebut, baru jelas bahwa yang dimaksudkan dengan abban adalah rerumputan, seperti bayam, kangkung dan sebagainya yang disenangi manusia dan binatang ternak.
Sedangkan
contoh lafal mufrad yang bermakna ganda adalah lafal dalam surah ash-Shafaat
ayat 93: فراغ عليهم
ضربا باليمين
”Lalu
dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya / dengan
kuatnya / sesuai dengan sumpahnya.”
Kata
al-yamin dalam ayat di atas adalah lafal mufrad yang musytarak (bermakna
ganda). Kata al-yamin bisa berarti tangan kanan, kekuasaan atau sumpah. Arti
tersebut semua relevan sehingga samar maknanya.
Termasuk
ayat-ayat mutasyabihat yang terjadi karena samar dalam lafalnya seperti huruf
muqaththa’ah (huruf yang terputus-putus di pembukaan atau permulaansurah
al-Qur’an. Misalnya كهيعص – طه – حم يس – الم dan
sebagainya.
Adapun kesamaran dalam lafal murakkab disebabkan lafal-lafal yang murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat) itu terlalu ringkas, atau terlalu luas, atau karena susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat di dalamsurah An-Nisa ayat 3:
Adapun kesamaran dalam lafal murakkab disebabkan lafal-lafal yang murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat) itu terlalu ringkas, atau terlalu luas, atau karena susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat di dalamsurah An-Nisa ayat 3:
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى
فانكحوا ماطابلكم من النساء مثنى وثلاث وربع .... ”Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas sulit diterjemahkan.
Karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh
kawini wanita yang baik-baik, dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi
karena susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat.
Sedangkan contoh tasyabuh (kesamaran) lafal murakkab karena terlalu luas, seperti dalam lafal dalam surat Asy-Syura, 11: ليس كمثله شىء (tidak ada sesuatu apapun yang seperti yang seperti-Nya). Dalam ayat tersebut kelebihan huruf kaf dalam kata kamitslihi, akibatnya kalimat tersebut menjadi samar artinya, karena sulit dimengerti maksudnya. Seandainya huruf kaf tadi dibuang, maka maknanya akan jelas.
Sedangkan contoh tasyabuh (kesamaran) lafal murakkab karena terlalu luas, seperti dalam lafal dalam surat Asy-Syura, 11: ليس كمثله شىء (tidak ada sesuatu apapun yang seperti yang seperti-Nya). Dalam ayat tersebut kelebihan huruf kaf dalam kata kamitslihi, akibatnya kalimat tersebut menjadi samar artinya, karena sulit dimengerti maksudnya. Seandainya huruf kaf tadi dibuang, maka maknanya akan jelas.
Adapun
contoh tasyabuh lafal murakkab karena susunannya yang kurang tertib, seperti
dalam surah Al-Kahfi ayat 1-2:
الحمد
لله الذي انزل على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا قيما لينذر بأسا شديدا........
“Segala puji bagi Allah yang telah
menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan
di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingat-kan siksaan yang
sangat pedih…”.
Pengertian
Allah tidak menjadikan kebengkokan dalam al-Qur’an dan menjadikannya lurus,
tentu merupakan hal yang sukar dipahami orang. Hal ini disebabkan dalam ayat
tersebut susunan kalimatnya kurang tertib.
Sedangkan
kesamaran pada makna ayat, umumnya makna dari sifat-sifat Allah, seperti sifat
Rahman, Rahim, Qudrat-IradatNya maupun sifat-sifat lainnya. Selain itu,
kesamaran juga terjadi pada makna yang terkait dengan hari kiamat, kenikmatan
surga, siksa kubur dan siksa di neraka. Kesamaran tersebut disebabkan
keterbatasan akal manusia untuk menjelaskannya.
وليس
البر بان تأتوا البيوت من ظهورها ولكن البر من التقى......
“…dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang
yang bertakwa…”
Orang
yang tidak mengerti adat-istiadat bangsa Arab pada masa Jahiliyah, tidak akan
paham terhadap maksud ayat tersebut. Sebab, kesamaran dalam ayat tersebut
terjadi pada lafalnya karena terlalu ringkas, terjadi pula pada maknanya karena
termasuk adat kebiasaan khusus orang Arab yang tidak mudah diketahui oleh
bangsa lain.
E. Penerapan Muhkam dan Mutasyabih
dalam Penafsiran
Tampaknya
sebagian besar ulama sepakat bahwa ayat yang tergolong muhkamat adalah ayat
yang sudah jelas maksudnya, tidak lagi memerlukan ta’wil. Sementara ayat-ayat
yang tergolong mutasyabihat dipahami sebagai yang ambigu, membutuhkan ta’wil.
Aturan yang disepakati ulama adalah mutasyabihat harus dikembalikan ke yang
muhkam. Maksudnya, tafsir yang ambigu didasarkan pada yang jelas. Aturan ini
berarti ulama sepakat bahwa yang menjadi kriteria adalah teks itu sendiri.
Jelasnya, muhkamat menjadi “panduan” untuk menafsirkan dan memahami yang ambigu
mutasyabihat. Bagian-bagian teks saling menafsirkan satu sama lainnya.
Dalam
kritik sastra, dapat dikatakan bahwa teks mengandung bagian yang dapat dianggap
sebagai “kunci-kunci” semantik yang memungkinkan pembaca dapat memasuki dunia
teks, dan menangkap hal-hal yang rahasia dan samar. Teks yang memuat ambigu dan
distingsi merupakan mekanisme teks yang penting untuk mentransfer tindak
pembacaan menjadi tindak positif yang dapat memberikan sumbangan dalam
memproduksi makna teks. Dengan demikian, memproduksi makna merupakan tindakan
bersama antara teks dan pembaca, dan karenanya tindakan tersebut berubah-ubah
menurut jumlah pembaca pada satu sisi, dan menurut “situasi” pembacaan pada
sisi lain.
Dengan
cara menyikapi ayat muhkamat dan mutasyabihat seperti itulah, akan terbuka
ruang bagi para ulama untuk menafsirkan ayat al-Qur’an secara leluasa tanpa
mengesampingkan batas-batas normanya. Batas norma tersebut setidaknya terkait
dengan pendapat Al-Maududi, bahwa “tidak dapat disangkal manusia, dengan
kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah
dalam pula pemahamannya tentang makna al-Qur’an. Tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa dia memahami al-Qur’an melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya
(sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw”.
Pendapat
Al-Maududi di atas relevan dengan pendapat sebagian besar penganut Sunni,
mereka menerima adanya interpretasi metaforis terhadap ayat mutasyabihat, tapi
diberikan batasan tertentu agar tidak menyimpang ke arah kesesatan. Misalnya
saja mereka menolak antropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekalipun disebutkan
Tuhan mempunyai tangan, wajah, mata dan sebagainya, namun tangan, wajah dan
mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti manusia, dan
“tanpa bagaimana” (bi-la kayfa). Inilah metode al-Asy’ari yang menjadi rujukan
utama dalam faham Sunni tentang ilmu ketuhanan atau aqidah.
Dengan
terbukanya penafsiran terhadap ayat mutasyabihat oleh kaum Sunni atau yang
lebih liberal dari itu, akan terbuka pintu-pintu pembaharuan dalam Islam.
Karena berawal dari pemahaman yang lebih leluasa terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat muhkamat atau mutasyabihat seperti itu, akan lahir semangat
pembaharuan dengan ide segar yang lebih modernis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar