Senin, 09 November 2015

Sejarah Mu'tazilah

Download Makalah Sejarah Mu’tazilah 

Sejarah Mu'tazilah
Oleh : Sumanto
PENDAHULUAN
       Berbicara perpecahan umat islam tidak ada habis-habisnya, karena terus-menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berpikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana islam menempatkan akal pada porsi yang benar, sehingga banyak kaum muslim yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan rasulullah dan para sahabatnya.
       Akibat dari hal itu bermuncullah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadaf ajaran islam. Bahkan di dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof daripada ajaran dan wahyu dari Allah, sehingga banyak ajaran islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
       Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu ” Mu’tazilah” yang pengaruh penyimpangannya sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslim dan persatuannya.





PEMBAHASAN
Sejarah Mu'tazilah
A. Sejarah Lahirnya Theologi Mu’tazilah.

       Aliran Mu’tazilah adalah aliran theology islam terbesar dan tertua yang lahir sekitar pada permulaan abad pertama hijriyah di sebuah kota yang pada waktu itu merupakan pusat ilmu dan peradaban islam yaitu kota basrah di irak.pada waktu itu banyak orang orang yg ingin menghancurkan islam dari segi aqidah,baik dari mereka yg menamakan dirinya islam ataupun tidak.[1]
       Seperti yang kita ketahui bersama,sejak islam meluas banyak bangsa- bangsa yg masuk islam dan hidup di bawah naungannya.akan tetapi tidak semua yg memeluk islam memeluknya dg ikhlas.ketidak ikhlasan itu terutama dimulai sejak permulaan khilafah umawi yg memonopoli kekuasaan negara kepada orang islam dan bangsa arab sendiri.sehingga tindakan mereka tsb menimbulkan kebencian terhadap bangsa arab dan menyebabkan keinginan untuk menghancurkan islam itu sendiri,mengingat islam merupakan sumber kejayaan dan kekuatan mereka baik dari segi fisik ataupun psikis.
       Diantara lawan lawan islam adalah golongan Tasawwuf hulul(inkarnasi) yg mempercayai bertempatnya tuhan pada manusia.Aliran mu’tazilah menjawab bahwa tuhan tidak mungkin mengambil tempat pada apapun juga.dalam demikian muncullah aliran mu’tazilah yang kemudian berkembang dg pesatnya serta mempunyai metode dan faham sendiri.
Kalau kita simpulkan dari pemaparan di atas bahwa kelahiran aliran mu’tazilah untuk memback up islam yang ingin di hancurkan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab.
B. Asal Usul Sebutan Mu’tazilah.
       Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk ism faa’il dari kata I’tazala, ya’tazilu, mu’tazilun, mu’tazilah,[2]  yang berarti jama’ah yang memisahkan diri, berpisah atau orang yang memisahkan diri yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri dan atau menyalahi pendapat orang lain. secara teknis penyebutan istilah mu’tazilah,ada dalam beberapa versi,antara lain :
1. Di sebut mu’tazilah karena wasil bin atha’ dan ‘amar bin ‘ubaid menjauhkan diri dari pengajian hasan basri di masjid basrah dan kemudian membentuk majlis ta’lim sendiri sebagai kelanjutan dari pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin lengkap juga tidak kafir lengkapmelainkan berada di antara dua tempat tersebut(al manzilatu bainal manzilataini).dengan adanya peristiwa tersebut,hasan basri berkata “ wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”.sehingga mereka di sebut golongan mu’tazilah.jadi penyebutan mu’tazilah menurut versi ini secara lahiriyah yaitu pemisahan fisik atau menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain.
2. Di sebut mu’tazilah karena mereka berbeda pendapat dengan golongan murji’ah dan golongan khawarij tentang tahkim atau pemberian status bagi orang yang melakukan dosa besar.golongan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin,sedang menurut golongan khawarij peleku dosa besar menjadi kafir dan menurut hasan basri ia menjadi orang munafik.datanglah wasil bin atha’ yg mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin bukan pula kafir,melainkan fasik jadi penyebutan mu’tazilah menurut versi yang kedua ini adalah secara ma’nawiyah yaitu menyalahi pendapat orang lain.
3. Di sebut mu’tazilah karena pendapat mereka bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjauhkan diri dari golongan orang mukmin dan orang kafir.yang berarti juga bahwa istilah mu’tazilah itu menjadi sifat bagi pelaku dosa besar tersebut yang kemudian menjadi nama/sifat bagi golongan yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar menyendiri dari orang orang mukmin dan orang kafir.
4. Menurut ahmad amin, nama mu’tazilah sebenarnya telah ada sebelum peristiwa wasil dan hasan basri.nama mu’tazilah diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dalam oertikaian politik yang terjadi pada masa usman bin affan dan ali bin abi thalib.ia menjumpai pertikain disana:satu golongan mengikuti pertikaian tersebut sedang satu golongan yang lain menjauhkan diri ke kharbitha.oleh karena itu,dalam surat yang di kirimnya ke ali bin abi thalib,qais menamai golongan yang menjauh diri tersebut dengan nama mu’taziliin,sedang abu fida menamainya dengan mu’tazilah.
       Dari pemaparan di atas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya pemberian nama mu’tazilah pada suatu golongan,karena perbedaan pendapat mereka dalam masalah tahkim atau pemberian status terhadap pelaku dosa besar yang pada akhirnya golongan mu’tazilah juga berperan besar dalam memback up islam dari musuh musuhnya yang ingin menghancurkannya.walaupun pada hakikatnya istilah mu’tazilah telah ada sejak sebelum peristiwa wasil bin atha’.

C.    Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah

       Tokoh tokoh mu’tazilah sangat banyak sekali jumlahnya dan masing masing tokoh mempunyai pikiran dan ajaran ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh sebelumnya ataupun pada masanya.di antara tokoh tokoh aliran mu’tazilah antara lain :

1. WASIL BIN ATHA’ ( 80-131 H/699-748 M)

       Lengkapnya Wasil bin Atha’ al Ghazzal,beliau terkenal sebagai pendiri aliran mu’zilah dan kepalanya yang pertama beliau pulalah yang meletakkan lima prinsip ajaran mu’tazilah.

2. AL- ALLAF ( 135-226 H/752-840 M)

       Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al Allaf.beliau merupakan murid dari Usama at Tawil,murid Wasil.puncak kebesarannya terjadi pda msa al Ma’mun.dalam suatu riwayat di sebutkan bahwa ada sekitar 3000 orang yang masuk islam di tangannya hal itu di karenakan hidupnya penuh dangan perdebatan dengan orang orang zindiq, skeptik, majusi, zoroaster,dll.

3. AN-NAZZHAM ( wafat 231 H/845 M )

       Lengkapnya Ibrahim bin Sayyar Bin Hani an Nazzham,beliau murid dari Al Allaf ,beliau juga merupakan tokoh terkemuka yang fasih bicaranya dan terkean mempunyai otak yang cerdas.dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya,antara lain tentang methode of doubt dan empirika yang menjadi dasar renaissance di eropa.

4. AL JUBBA’IE ( wafat 303 H/915 M )

       Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali al Jubba’ie,beliau murid dari as Syahham ( wafat 267 H/885 M )yang juga tokoh mu’tazilah.beliau juga guru dari Imam Asy’ary,tokoh utam alira al Asy’ariyah.

5. BISJR bin AL MU’TAMIR ( wafat 226 H/840 M )

       Beliau adalah pendiri aliran mu’tazilah bagdad. pandangannya tentang kesusasteraan menimbulkan dugaan bahwa dialah oaring yang pertama mengadakan ilmu balaghah.diantara murid muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran aliran mu’tazilah di bagdad adalah Abu Musa Al Mudar,Tsumamah bin al Asyras,dan Ahmad bin Abi Fu’ad.

6. Az- ZAMAIHSYARI ( 467-538 H / 1075-1144 M )

       Namanya jar Allah Abul Qosim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar,sebuah dusun di negri Chawarazm,Iran.pada diri beliau terkumpul karya aliran mu’tazilah selama kurang lebih empat abad.beliau juga menjadi tokoh dalam ilmu nahwu,tafsir dan paramasastera(lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam kitab Al Kassyaf,Al Faiq dll.
                                           
D. Ajaran-ajaran Pokok Mu’tazilah

       Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang juga di kenal Al Ushul Al Khamsah yang di urut menurut kepentingan dan kedudukannya.kelima ajaran dasar pokok tersebut adalah :
1. Keesaan ( Tauhid )

       At Tauhid merupakan prinsip utama dan inti sari dalam ajaran mu’tazilah.walau sebenarnya setiap madzhab teologis dalam islam memegang doktrin ini,namun bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik.Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya.Tuhanlah satu satunya yang esa,tak ada satupun yang menyamai-Nya.boleh jadi apa yng menyebabkan mereka mempetahankan Keesaan itu semurni murninya ialah karena mereka menghadapi golongan syi’ah rafidahyang extrem dan yang menggambarkan tuhan dalam bentuk yang berjism dan bisa di indera,di samping golongan golongan agam dualisme dan trinitas.
       Untuk memurnikan keesaan tuhan,mu’tazilah menolak konsep tuhan yang memiliki sifat sifat,penggambaran fisik tuhan(antromorfisme tajassum),dan tuhan dapat di lihat dengan mata kepala.mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa,tak ada satupun yang menyamai-Nya.Dia maha melihat,mendengar,kuasa,dll. Namun mendengar,melihat dan kuasa tuhan bukan sifat tapi dzat-Nya.menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat.jadi bila sifat tuhan yang qadim,berarti ada dua yang qadim.
        Imam Asy’ari dalam bukunya Maqalatul Islamiyyin mengutip tafsir tentang keesaan yang di berikan oleh aliran mu’tazilah sebagai berikut :
       Allah Yang Esa / Tidak sesuatu yang menyamai-Nya / Bukan jism/
Bukan pribadi(syachs)/Bukan jauhar(subtance)/Bukan aradh (non essential property)/Tiada berlaku zaman atas-Nya/Tiada tempat bagi-Nya/pada-Nya tiada sifat makhluk yang berindikasi non azali/Tiada batas bagi-Nya/Bukan ayah tiada menganakkan/Bukan anak tiada lahirkan/mustahil diindera/mustahil ada makhluk yang menyamai-Nya/tiada terlihat mata kepala/Tiada dicapai penglihatan/mustahil dipikir dan diterka/sesuatu bukan seperti segala sesuatu/Maha tahu/Maha kuasa/Maha hidup/tetapi,bukan seperti orang tahu/bukan seperti orang berkuasa/bukan seperti oaring hidup/Ia Qadim semata/tiada yang qadim selain-Nya/tiada tuhan selain-Nya/tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan/tiada teladan bagi ciptaan-Nya.
Dari kutipan tersebut bisa kita simpulkan antara lain:
• Aliran mu’tazilah mengenal pikiran pikiran filsafat serta memakai beberapa istilahnya,antara lain jauhar,aradh,syachs,dll

• Dengan perkataan Tiada yang menyamai-Nya,mereka menolak pikiran pikiran golongan antropomoohist dan membuka lebar lebar pintu takwil terhadap ayat al qur’an yang menyifati tuhan dg sifat manusia dg takwil majazi.

• Dengan keesaan yang mutlak,mereka menolak konsep agama dualisme dan trinitas tentang tuhan
• Dengan perkataan tiada pembantu bagi-Nya dlm menciptakan dan tiada teladan bagi-Nya,mereka menolak teori Idea dari plato dan demiurge,jg teori emanasi dan triads yang di anggap menguasai alam semesta ini oleh aliran Neo Platonisme,yaitu tuhan,logos dan world souls.

2. Keadilan tuhan ( Al ‘Adlu)
      Kadir Sobur (2008), menjelaskan bahwa kata “keadilan” berasal dari bahasa Arab al-‘adl, yaitu masdar dari ‘adala, ya’dilu, ‘adlan.[3] merupakan ajaran dasar mu’tazilah yang ke dua adalah Al Adlu, keadilan tuhan, yang berarti tuhan maha adil.Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kemaha sempurnaan,karena tuhan maha sempurna,dia pasti adil.dan semua orang percaya akan hal itu tetapi mu’tazilah memperdalam arti keadilan serta menentukan batas batasnya,sehingga menimbulkan beberapa persoalan.
       Dasar keadilan yasng di pegangi mereka ialah meletakkan pertanggungan jawab manusia atas segala perbuatannya.dalam menafsirkan keadilan mereka berkata :
 “Tuhan tidak menghendaki keburukan,tidak menciptakan perbuatan manusia.manusia bisa mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya,dengan kodrat (kekuasaan ) yang di jadikan oleh tuhan pada diri mereka.Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya.Ia hanya menguasai kebaikan kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dengan keburukan yg d larang-Nya. Sehingga kelanjutan dari prinsip tersebut bisa di tarik benang merah yg antara lain:
• Tuhan menciptakan manusia atas dasar tujuan dan hikmah
• Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak oula memerintahkannya
• Manusia punya kesanggupan untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya,sehingga dengan demikian dapat dipahami ada perintah perintah tuhan,janji dan ancamanNya,pengutusan rosul rosul,tiada kedzaliman pada tuhan.
• Tuhan harus dan mesti mengerjakan yang baik dan yang terbaik karena itu merupakan kewajiban tuhan untuk menciptakan,memerintahkan manusia serta membangkitkannya kembali.

3. Janji dan Ancaman (Al Wa’du wal Wa’id )

       Ajaran dasar yang ketiga dalam aliran mu’tazilah adalah tentang janji dan ancaman tuhan ( Al Wa’du wal Wa’id ).prinsip ini sangat erat hubungannya dengan keadilan tuhan.prinsip ini kelanjutan dari prinsip yang kedua yaitu tentang keadilan tuhan.yang artinya aliran mu’tazilah yakin bahwa tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya,yaitu janji akan memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan janji akan menjatuhkan siksaan bagi orang yang durhaka pada-Nya.
       Ini sesuai dengan prinsip keadilan tuhan.jelasnya siapa yang berbuat baik akan di balas dengan kebaikan pula.begitu pula sebaliknya siapa yang berbuat ma’siat maka akan di balas dengan siksaan yang pedih.dengan kata lain barang siapa yang keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh taubat,ia berhak atas pahal yang di janjikan tuhan.dan siapa yang keluar dari dunia tanpa taubat dari dosa besar,maka ia akan di abadikan di neraka walau lebih ringan siksaannya dari orang kafir.
       Pendirian ini kebalikan dari pendapat golongan murji’ah yang mengatakan bahwa kema’siatan tidak mempengaruhi iman kalau pendirian ini di benarkan,maka ancaman tuhan tidak akan ada artinya.karena itulah golongan mu’tazilah mengingkari adanya syafaat pada hari kiamat,dengan mengenyampingkan ayat ayat yang menetapkan adanya syafi’at ( baca Al Baqarah ayat 254 dan 45 ),karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman tuhan.

4. Al Manzilatu bainal Manziltaini

       Karena prinsip ini,wasil bin atha’ memisahkan diri dari majlis hasan basri yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya istilah mu’tazilah yang setelah waktu berkembang menjadi nama golongan atau aliran.
       Prinsip “ di antara dua tempat” ini pada dasarnya merupakan pembahasan seputar tahkim terhadap pelaku dosa besar.Menurut pendapat wasil bin atha’ pelaku dosa besar selain syirik,bukan lagi menjadi orang mukmin(murji’ah)dan bukan pula menjadi orang kafir (khawarij) melainkan menjadi orang fasik.jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara kufur dan iman.tingkatan seorang fasik berada dibawah orang mukmin dan di atas orang kafir.pendapat ini juga beda dengan pendapat hasan basri yang mengatakan bahwa peelaku dosa besar di hukumi munafik.
       Jalan tengah ini yang juga berlaku pada bidang yang lain,diambil oleh aliran mu’tazilah dari beberapa sumber,antara lain :
• Al Qur’an : surat Al Isra’ ayat 31 & 110 / surat Al Baqarah ayat 137
• Hadist :seperti “ chairul umuri ausathuha” sebaik baik perkara adalah yang tengah tengah.
• Kata kata :hikmah dari cendekiawan islam,seperti perkatan sayyidina Ali R A “ Kun fiddunia wasathan “jadikan kamu dalam dunia ini tengah tengah.
       Sumber lain dari prinsip ini adalah filsafat yunani,antara lain Aristoteles yang terkenal dengan teori jalan tengah emas (Golden means ).
       Dengan dasar sumber sumber keislaman dan sumber yunani tersebut,maka aliran mu’tazilah lebih memperdalam pemikirannya tentang jalan tengah tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam lapangan berpikir (rasio) dan akhlaq (etika ) dan menjadi landasan berfilsafat,yang selalu menghendaki bersikap sedang (moderation) dalam segala hal.prinsip ini nampak jelas dalam usaha mereka mempertemukan agama dengan filsafat.
5.Memerintahkan kebaikan dan mel;arang keburukan ( Al ‘amru bil ma’ruf wa An nahyu ‘anil munkari)
Ajaran dasar yang kelima adalah amar ma’ruf nahi munkar.ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.ini merupakan konsekwensi logis dari keimanan seseorang.pengakuan keimanan seseorang harus di buktikan dengan perbuatan baik,yang salah satu diantaranya adalah menyuruh orang berbuat baik dan melarangnya berbuat buruk.
Sumber-sumber dari prinsip ini antara lain terdapat dalam :
* Al Qur’an : surat Ali Imran ayat 104 dan surat Luqman ayat 17.
*Al Hadist : sabda sabda Nabi S.A.W. yang antara lain :
“ man ro’a minkum munkaron fal yughayyir bi yadihi fain lam yastathi’ fa bi lisanihi fain lam yastathi’ fa biqolbihi,wadzalika adh’aful iman”
       Sejarah pemikiran islam membuktikan betapa giatnya orang mu’tazilah mempertahankan islam terhadap kesesatan yang tersebar luas pada masa khilafat bani abbasiyyah yang hendak menghancurkan kebenaran kebenaran islam,bahkan mereka tak segan segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut,meskipun terhadap golongan islam sendiri.
D. Ciri-Ciri Faham Mu’tazilah

Ciri–ciri faham Mu’tazilah antara lain:
  1. Orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir , namun diantara keduanya dan di akhirat kelak ia berada dintara surga dan neraka. ( Al – Manzilah Baina Al – Manzilahtain )
  2. Akal merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditentukan oleh akal.
  3. Bila terjadi perbedaan antara akal dan Al-Qu’ran serta Hadist maka yang diambil adalah ketentuan akal.
  4. Al- qur’an adalah Makhluk dan bukan firman Allah.
  5. Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat kelak.
  6. Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, bukan dengan jasad dan ruh namun hanya melalui mimpi sebab mustahil menurut akal dalam waktu yang relatif singkat manusia dapat menempuh jarak yang luar biasa jauhnya dan penuh rintangan dan resiko.
  7. Perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendirinya baik atau buruknya dan bukan ditentukan oleh Allah.
  8. Bahwa Arsy itu tidak ada.
  9. Surga dan neraka itu tidak ada, sebab yang kekal hanyalah Allah semata.
  10. Shirat, yaitu jembatan yang melintang diatas neraka jahanam itu tidak ada.
  11. Mizan, yaitu timbangan amal manusia di akhirat itu tidak benar adanya, sebab amal manusia itu bukan singkong maka tidak dapat ditimbang dan tidak perlu timbangan.
  12. Haudl atau sungai atau telaga yang diceritakan ada di dalam surga itu tidak ada.
  13. Bahwa siksa dan nikmat kubur tidak ada , sebab manusia setelah dikubur sudah menyatu kembali dengan tanah .
  14. Manusia setelah meninggal dunia itu sudah tidak mendapat manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu di do’akan, dimintakan ampunan atas dosa- dosanya atau diberi hadiah pahala. Hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena mereka sudah menjadi tanah.
  15. Bahwa Allah wajib membuat yang baik dan yang lebih baik untuk manusia.
  16. Allah tidak mempunyai sifat–sifat dan nama–nama, maka haram membaca atau mengkaji sifat–sifat Allah, sebab Allah mendengar dengan Dzat - Nya, melihat dengan Dzat – Nya dan segala sesuatu yang dilakukan oleh Allah dengan dzat –nya.
  17. Tidak mempercayai adanya Mu’jizat bagi nabi Muhammad Saw, selain Al – Qur’an.
  18. Halal hukumnya mencaci maki sahabat yang salah.
  19. Surga dan neraka itu saat ini belum ada, dan baru akan dibuat oleh allah nanti bila kiamat sudah tiba.
E. Perkembangannya

       Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di kota Bashroh di bawah pimpinan Waashil Bin Atho, lalu menyebar ke kota Kufah dan Baghdad. Akan tetapi pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang berat dari para pemimpin Bani Umayyah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat menghambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat benci bani umayyah.
        Permusuhan dan perseteruan antara Bani Ummayyah ini berlangsung terus–menerus denga keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para da’i dan delegasi–delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan I’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil Bin Atho. Kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikuti aqidah mereka apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma’mun terhadaf pendapat mereka tentang Al–Qur’an. Mereka mengatakan bahwa Al–Qur’an itu makhluk sampai–sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan menyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirim mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para Hakim, Muhadditsin dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al–Qur’an adalah makhluk. Beliau juga memerintahkan hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak sependapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sanagt besar. Diantara para ulama yang mendapat ujian dan cobaan ini adalah Al –Imam Ahmad Bin Hambal. Beliau merupakan ulama yang sangat terkenal pada masa itu, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat ahli sunnah wal jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al–Qur’an adalah kalamullah dan bukan mahkluk.
       Walaupun Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad kedua samapai abad kelima Hijriyah, akan tetapi tidak mendapat keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampak terjadi karena mereka tidak mengambil sumber atau berlandaskan Al–Qur’an dan Sunnah Rasul, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah rusak oleh pemikiran filsafat Yunani dan bermacam–macam aliran pemikiran.
       Akibat dari setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan kalamullah dan Sunnah Nabi maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber penerangan dari Al–Kitab dan Sunnah Nabi akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat. Menurut para sufi apabila akal berpedoman atau berpegang teguh pada sumber yang murni yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul berarti akal tersebut akan menjadi akal yang terang benderang seolah–olah diterangi cahaya Ilahi serta jauh dari kesesatan dan penyimpangan.

F. Metode Mu’tazilah

        Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang hampir mirip dengan Descartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al–Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu–ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.[4]
        Mereka menguasai berbagai pandangan religius dan filosofis yang melingkupi mereka. Sayangnya kecenderungan rasionalisme mereka yang ekstrim itu mendorong mereka untuk menerapkan hukum–hukum akal terhadaf alam langit seperti ketika menghukumi alam bumi, sehingga mengiring mereka kedalam pandangan–pandangan yang begitu berani, yang akhirnya mengiring mereka ke dalam filsafat ketuhanan yang selamanya tidak mengkonsekuensikan semua pengertian keagungan dan kesempurnaan yang sepantasnya (bagi Allah)
       Aliran Mu’tazilah juga mensucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan–lawan maupun ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan–pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kersalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak menentang pendapat gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat ayahnya sendiri.kaum Mu’tazilah pendapat dalam masalah detail, dan mereka menjadi kelompok di dalam kelompok tidak ada aliran teologi yang membiasakan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam perpecahan yang terjadi di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak–anak dari satu keluarga saling menuduh kafir.
       Tuduhan inilah yang begitu populer pada banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para pemikir merdeka itu mengharuskan manusia membawa pedang untuk menumpas sebagian pandangan mereka khususnya yang tidak ada hubungannya dengan inti akidah.










FAHAM MU'TAZILA

Berbicara perpecahan umat islam tidak ada habis-habisnya, karena terus-menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berpikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana islam menempatkan akal pada porsi yang benar, sehingga banyak kaum muslim yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan rasulullah dan para sahabatnya.

Akibat dari hal itu bermuncullah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadaf ajaran islam. Bahkan di dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof daripada ajaran dan wahyu dari Allah, sehingga banyak ajaran islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu ” Mu’tazilah” yang pengaruh penyimpangannya sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslim dan persatuannya.

1. Sebab Penamaannya

Para ulama telah berselisihan pendapat tentang sebab penamaan aliran ini dengan nama Mu’tazilah menjadi dua pendapat :

Pertama, berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah berpisahnya Waashil Bin Atho dan Amir Bin Ubaid dari majelis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata : imam agama telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Mereka adalah Al Wa’iidiyah Khawarij dan berjamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dosa besar menurut mereka tidak mengganggu atau merusak iman bahkan amalan menurut mereka bukan termasuk rukun iman dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi mereka dalam hal tersebut secara I’tikad? lalu berkata Al Hasan: telah berpisah ( I”tizal ) dari kita Waashil dan Amir Bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu’tazilah.

Kedua, berkata Ibnu Abl Izzy : Amir Bin Ubaid dan Waashil Bin Atho Al Ghozaal serta para pengikutnya dinamakan demikian karena memisahkan diri dari al jamaah setelah wafatnya Al Hasan Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajelis sendiri ( berpisah ) sehingga mereka dinamakan denga Mu’tazilah.

2. Defenisi Mu’tazilah

Secara etimologi Mu’tazilah atau I’tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arabnya menunjukian arti : kesendirian , kelemahan dan keterputusan.

Sedangakan secara Terminologi Para Ulama mendefenisikan sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil Bin Atho dan Amir Bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

Kata mu’tazilah berasal dari bahasa Arab ”I’tazala” yang artinya ”Hengkang” atau ”Pisah”. Yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan yang memisahkan diri dari induknya , yaitu Waashil Bin Atho memisahkan diri dari gurunya Al–Hasan Al–Basry karena terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, yang akhirnya Waashil membuat aliran sendiri yang diberi nama dengan golongan Mu’tazilah.

3. Awal Munculnya Faham Mu’tazilah

Golongan Mu’tazilah lahir dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan faham antara murid dengan guru dan bukan dimotori oleh kepentingan politik sekalipun akhirnya setelah tumbuh golongan ini ditunggangi oleh kepentingan politik.

Pembangunan aliran ini adalah Abu Chudzaifah Bin Atha yang muncul pada masa pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik ( 724 -743 ) pada dasarnya Waashil Bin Atha adalah murid Hasan Al – Basry ( 642 – 728 ) salah seorang ulama senior di Baghdad. Namun karena terjadi perbedaan pandangan dalam masalah agama, maka Waashil memisahkan diri dari gurunya dan membuat aliran sendiri yang dikenal dengan sebutan aliran Mu’tazilah

4. Ciri-Ciri Faham Mu’tazilah

Ciri–ciri faham Mu’tazilah antara lain:
  1. Orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir , namun diantara keduanya dan di akhirat kelak ia berada dintara surga dan neraka. ( Al – Manzilah Baina Al – Manzilahtain )
  2. Akal merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditentukan oleh akal.
  3. Bila terjadi perbedaan antara akal dan Al-Qu’ran serta Hadist maka yang diambil adalah ketentuan akal.
  4. Al- qur’an adalah Makhluk dan bukan firman Allah.
  5. Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat kelak.
  6. Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, bukan dengan jasad dan ruh namun hanya melalui mimpi sebab mustahil menurut akal dalam waktu yang relatif singkat manusia dapat menempuh jarak yang luar biasa jauhnya dan penuh rintangan dan resiko.
  7. Perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendirinya baik atau buruknya dan bukan ditentukan oleh Allah.
  8. Bahwa Arsy itu tidak ada.
  9. Surga dan neraka itu tidak ada, sebab yang kekal hanyalah Allah semata.
  10. Shirat, yaitu jembatan yang melintang diatas neraka jahanam itu tidak ada.
  11. Mizan, yaitu timbangan amal manusia di akhirat itu tidak benar adanya, sebab amal manusia itu bukan singkong maka tidak dapat ditimbang dan tidak perlu timbangan.
  12. Haudl atau sungai atau telaga yang diceritakan ada di dalam surga itu tidak ada.
  13. Bahwa siksa dan nikmat kubur tidak ada , sebab manusia setelah dikubur sudah menyatu kembali dengan tanah .
  14. Manusia setelah meninggal dunia itu sudah tidak mendapat manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu di do’akan, dimintakan ampunan atas dosa- dosanya atau diberi hadiah pahala. Hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena mereka sudah menjadi tanah.
  15. Bahwa Allah wajib membuat yang baik dan yang lebih baik untuk manusia.
  16. Allah tidak mempunyai sifat–sifat dan nama–nama, maka haram membaca atau mengkaji sifat–sifat Allah, sebab Allah mendengar dengan Dzat - Nya, melihat dengan Dzat – Nya dan segala sesuatu yang dilakukan oleh Allah dengan dzat –nya.
  17. Tidak mempercayai adanya Mu’jizat bagi nabi Muhammad Saw, selain Al – Qur’an.
  18. Halal hukumnya mencaci maki sahabat yang salah.
  19. Surga dan neraka itu saat ini belum ada, dan baru akan dibuat oleh allah nanti bila kiamat sudah tiba.
5. Perkembangannya

Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di kota Bashroh di bawah pimpinan Waashil Bin Atho, lalu menyebar ke kota Kufah dan Baghdad. Akan tetapi pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang berat dari para pemimpin Bani Umayyah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat menghambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat benci bani umayyah.

Permusuhan dan perseteruan antara Bani Ummayyah ini berlangsung terus–menerus denga keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para da’i dan delegasi–delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan I’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil Bin Atho. Kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikuti aqidah mereka apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma’mun terhadaf pendapat mereka tentang Al–Qur’an. Mereka mengatakan bahwa Al–Qur’an itu makhluk sampai–sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan menyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirim mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para Hakim, Muhadditsin dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al–Qur’an adalah makhluk. Beliau juga memerintahkan hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak sependapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sanagt besar. Diantara para ulama yang mendapat ujian dan cobaan ini adalah Al –Imam Ahmad Bin Hambal. Beliau merupakan ulama yang sangat terkenal pada masa itu, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat ahli sunnah wal jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al–Qur’an adalah kalamullah dan bukan mahkluk.

Walaupun Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad kedua samapai abad kelima Hijriyah, akan tetapi tidak mendapat keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampak terjadi karena mereka tidak mengambil sumber atau berlandaskan Al–Qur’an dan Sunnah Rasul, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah rusak oleh pemikiran filsafat Yunani dan bermacam–macam aliran pemikiran.

Akibat dari setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan kalamullah dan Sunnah Nabi maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber penerangan dari Al–Kitab dan Sunnah Nabi akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat. Menurut para sufi apabila akal berpedoman atau berpegang teguh pada sumber yang murni yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul berarti akal tersebut akan menjadi akal yang terang benderang seolah–olah diterangi cahaya Ilahi serta jauh dari kesesatan dan penyimpangan.

6. Metode Mu’tazilah

Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang hampir mirip dengan Descartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al–Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu–ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.

Mereka menguasai berbagai pandangan religius dan filosofis yang melingkupi mereka. Sayangnya kecenderungan rasionalisme mereka yang ekstrim itu mendorong mereka untuk menerapkan hukum–hukum akal terhadaf alam langit seperti ketika menghukumi alam bumi, sehingga mengiring mereka kedalam pandangan–pandangan yang begitu berani, yang akhirnya mengiring mereka ke dalam filsafat ketuhanan yang selamanya tidak mengkonsekuensikan semua pengertian keagungan dan kesempurnaan yang sepantasnya (bagi Allah)

Aliran Mu’tazilah juga mensucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan–lawan maupun ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan–pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kersalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak menentang pendapat gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat ayahnya sendiri.kaum Mu’tazilah pendapat dalam masalah detail, dan mereka menjadi kelompok di dalam kelompok tidak ada aliran teologi yang membiasakan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam perpecahan yang terjadi di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak–anak dari satu keluarga saling menuduh kafir.

Tuduhan inilah yang begitu populer pada banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para pemikir merdeka itu mengharuskan manusia membawa pedang untuk menumpas sebagian pandangan mereka khususnya yang tidak ada hubungannya dengan inti akidah.


http://www.ermanmalay28n.co.cc/2011/01/gerakan-sosial-keagamaan-mutazilah_12.html
GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN MU'TAZILAH
Gerakan sosial keagamaan dengan berbagai bentuknya sudah mulai muncul sejak masa permulaan Islam. Khawarij dan Syi’ah sebagai kelompok sosial yang berseberangan dengan kekuasaan selama masa Daulah Bani Umaiyah (661-750 M) seringkali melakukan gerakan protes secara radikal sebagai refleksi dari rasa ketidak-puasaan terhadap pemerintahan. Doktrin-doktrin protes tersebut mereka tuangkan dalam ajaran teologi yang ekstrim dan sikap politik yang antipati terhadap khalifah Bani Umaiyah. Gerakan protes yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah sering pula diiringi oleh pemberontakan-pemberontakan yang setiap saat mengancam integrasi dan keutuhan negara. Bahkan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah menjadi penyebab utama runtuhnya kekuasaan Daulah Bani Umaiyah.[1] 

Pada akhir pemerintahan Daulah Bani Umaiyah, muncul gerakan sosial keagamaan yang dipelopori oleh aliran Mu’tazilah dengan corak yang jauh berbeda dari gerakan yang muncul sebelumnya.[2] Penyebab muncul gerakan ini merupakan reaksi terhadap masalah internal umat Islam yang cendrung fatalistik[3] dan pemahaman keagamaan yang menurut aliran Mu’tazilah dapat membawa kepada kesesatan.[4] Konstruksi sosial pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah juga cukup memberi ruang terhadap suburnya perkembangan gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah, terutama setelah al-Ma’mum secara resmi menjadikan aliran teologi ini sebagai mazhab negara. 
Sebagai gerakan sosial keagamaan, kelompok Mu’tazilah mulai melakukan reformasi pemahaman keagamaan dengan cara merekonsiliasi wahyu dan akal pikiran, terutama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu kalam. Gerakan Mu’tazilah ini kata Hamid Enayat mendorong mereka melakukan rasionalisasi terhadap ajaran agama yang merupakan salah satu karakteristik utama gerakan modernisme Islam.[5] Pandangan yang sama disebutkan pula oleh Nurcholish Madjid, rasionalisasi Mu’tazilah merupakan gerakan Islam progresif yang menjadi bagian dari karakteristik modernisme. Selain itu rasionalisasi aliran Mu’tazilah merupakan sebuah lompatan jauh yang banyak menginspirasi gerakan modernis Islam pada masa modern.[6]
Rasionalisasi sebagai gerakan Mu’tazilah di samping memiliki konsekuensi bagi munculnya sikap kritis terhadap teks ketika menginterpretasi wahyu dalam merumuskan ilmu kalam, juga mendorong mereka untuk bersikap terbuka, toleran dan adabtif terhadap perkembangan sosiologis yang mengitari Daulah Abbasiyah. Sekurangnya fenomena itu dapat dijumpai pada epistimologis bangunan paham keagamaan yang dalam banyak hal dibungkus dengan rumusan bernuansa filosofis. Selain itu pahaman keagamaan Mu’tazilah adalah bersifat akulturatif antara pemikiran Islam, filsafat Yunani dan Persia.
Sikap terbuka, adabtif dan akulturatif Mu’tazilah dipandang oleh Hamid Enayat sebagai suatu hal yang positif dan dapat membawa kemajuan penting dalam lapangan intelektual. Usaha yang sudah mereka lakukan memberikan sumbangan besar bagi kemajuan peradaban umat Islam.[7] Tetapi, tradisi intelektual yang terbuka, toleran, dan adabtif  itu tidak mempengaruh perilaku gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah lainnya. Gerakan mihnah (pengujian keyakinan) yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah bersama penguasa Daulah Abbasiyah pada masa pemerintahan al-Ma’mum ( 813-847),  al-Mu’tasim (842-847) dan al-Wasiq (824-847) tidak mencerminkan sikap tersebut.[8] Sebaliknya sikap yang menonjol adalah intoleran, ekstrim dan radikal.
Gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah agaknya perlu dilihat dari berbagai perspektif dan satu tipologi gerakan saja sangat tidak memadai untuk menggambarkan secara utuh. Mungkin inilah di antara sisi menariknya melihat gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah pada masa Daulah Abbasiyah awal.                            
B.      Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan mengkaji tentang gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah Awal (Abad VIII-IX). Pembahasannya meliputi kajian tentang sejarah perkembangan, faktor-faktor pendorong dan pola-pola gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah.          

C.      Pembatasan Masalah
Penelitian ini memiliki batasan tematis tentang gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah yang meliputi sejarah perkembangan, faktor-faktor dan pola-pola gerakan sosial kegamaan Mu’tazilah. Batasan spacial merupakan kota Bashrah dan ibu kota pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu Baghdat. Bashrah dan Baghdat merupakan tempat lahir dan berkembangannya gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah. Sedangkan batasan temporal dimulai sejak abad ke-8 hingga abad ke-9. Abad ke-8 merupakan awal muncul aliran Mu’tazilah dan abad ke-9 masa keruntuhannya.       

D.       Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian ini adalah untuk memahami sejarah perkembangan gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah, faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah dan pola-pola gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah. Hasilnya dapat memberikan deskripsi analitis terhadap masalah penelitian dan diharapkan menjadi masukan bagi kalangan akademis, terutama dalam mengkaji pemikiran Islam.         
  
E.       Kajian Riset Sebelumnya
Penelitian tentang aliran teologi Mu’tazilah sudah banyak dilakukan oleh para ahli dan pemikir Islam. Buku yang secara khusus membahas aliran Mu’tazilah adalah karya Zuhdī Jār al-Allāh yang berjudul al-Mu’tazilat (1974), al-Ahliyat li al-Nasyr wa al-Tauzi’ī dan karya Ahmad Mahmūd Shubhī, Fi ‘Ilm al-Kalām (1982), Muassasat al-Śaqafiyat al-Jamī’īyat, Iskandariah. Kedua buku ini sama-sama menguraikan tokoh-tokoh dan persoalan teologi Mu’tazilah dengan panjang lebar. Tetapi uraiannya mengenai tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah belum menggunakan analisis prosesual sejarah. Tema-tema teologis yang dikemukakan dalam buku itu juga baru sebatas menggunakan pendekatan normatif. Kesan yang sama dijumpai pula dalam karya al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (t.t.,), Dār al-Fikr, Beirut. Buku ini hanya sebatas mengemukakan pemikiran Islam secara umum dan belum memberikan prioritas kajian terhadap salah satu aliran teologi, seperti Mu’tazilah.
Buku yang berjudul, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan yang dikarang oleh HarunNasution (1986), UI Press, Jakarta merupakan salah satu karya teologi dalam bahasa Indonesia yang menyajikan sejarah dan pemikiran aliran-aliran kalam dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Namun saja Harun Nasution dalam bukunya belum pula mengarahkan perhatian secara khusus terhadap aliran Mu’tazilah. Pembahasan Harun Nasution tentang Mu’tazilah hanya sebagai pelengkap analisis komparatif yang dilakukan dalam buku itu.  Begitu pula kesan yang diperoleh setelah mempelajari buku, Pengantar Theologi Islam, karya A. Hanafi (1995), al-Husna Zikra, Jakarta.
Machasin juga sudah melakukan kajian tentang aliran Mu’tazilah dalam karya yang berjudul al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, (2000), Mutasyabih al-Qur’an : Dalih Rasionalitas al-Qur’an, Lkis, Yogyakarta. Pembahasan buku ini diarahkan penulis kepada pemikiran al-Qadi Abd al-Jabbar dalam tafsir Mutasyabih al-Qur’an. Sekalipun sudah menggunakan metode kritis historis, namun saja pembahasan buku ini belum lagi mampu meletakkan pemikiran al-Qadi Abd al-Jabbar sesuai dengan semangat dan jiwa zamannya.
Oleh karena itu, penelitian yang berjudul Gerakan Sosial Keagamaan Mu’tazilah pada Masa Daulah Abbasiyah masih orisinil. Pendekatan sejarah analitis juga belum pernah digunakan oleh peneliti sebelumnya.                                    
F.      Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah analitis, yaitu pendekatan yang bukan hanya mengarahkan peneliti mampu menceritakan masa lalu, melainkan juga menerangkan faktor-faktor kausal dan unsur-unsur yang merupakan kompenen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji.[9] Pendekatan sejarah analitis membutuhkan penggunaan konsep, teori dan analisis ilmu sosial. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep gerakan sosial yang secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan yang sama.  
Piotr Sztompka menyebutkan beberapa corak gerakan sosial, yaitu reformasi, radikal, revolusiner, progresif dan konservatif. Reformasi merupakan gerakan yang memusatkan perhatian pada aspek tertentu dalam kehidupan dengan tujuan perubahan terbatas tanpa menyentuh inti struktur institusi. Berbeda dengan reformasi, radikal merupakan gerakan yang berkisar pada landasan strategis organisasi sosial dengan tujuan perubahan yang lebih mendasar dan akibat transformasi yang lebih luas apabila dilakukan secara efektif. Sedangkan revolusioner memiliki gerak pada semua aspek inti struktur sosial dengan transformasi total masyarakat.
Kemudian gerakan progresif merupakan gerakan sosial yang berorientasi ke depan dengan tujuan terbentuknya pola masyarakat dengan institusi, hukum, keyakinan dan bentuk kehidupan baru. Kebalikannya adalah gerakan konservatif yang berorientasi kepada masa lalu dengan cara merivitalisasinya.[10] Selain itu, modernis dan fundamentalis juga merupakan corak gerakan sosial yang sudah menjadi fenomena global dalam melihat setiap gerakan sosial, agama, budaya dan politik.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[11] Lawannya adalah fundamentalisme, yaitu gerakan yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan zaman klasik.[12]            
Dari berbagai kompleksitas konsep gerakan sosial di atas, gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah yang menjadi masalah penelitian ini akan menggunakan konsep modernisme dan fundamentalisme. Konsep modernisme dipandang viable dalam melihat fenomena gerakan intelektual Mu’tazilah. Sedangkan konsep fundamentalisme dianggap sesuai dengan fenomena gerakan mihnah. Teori yang digunakan adalah teori modernism Islam yang dirumuskan oleh Fazlur Rahman (1982) dalam bukunya yang berjudul Islam, Chicago : University Press dan Nurcolish Madjid (1992) dalam Islam : Doktrin dan Perdaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan teori fundamentalisme Azyumardi Azra (1996) dalam karyanya, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina.    

G.      Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang diawali dengan proses penemuan, pencarian dan pengumpulan sumber-sumber (heuristik) yang relevan dengan permasalahan. Sumber dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen berupa buku-buku yang berhubungan dengan kajian teologi dan sejarah. Sumber tersebut terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer smerupakan buku yang ditulis oleh tangan pertama, yaitu tokoh-tokoh Mu’tazilah atau sumber sezaman. Sedangan sumber sekunder adalah buku-buku yang ditulis oleh tangan kedua, yaitu para ahli tentang aliran Mu’tazilah.
Setelah sumber terkumpul, maka akan dilakukan pengujian untuk memperoleh fak-fakta[13] sejarah yang berhubungan dengan perkembangan, faktor-faktor dan pola-pola gerakan sosial keagamaan Mu’tazilah. Pengujian[14] sumber dilakukan melalui kritik interen untuk memperoleh kesahihan (realibilitas) informasi yang terkandung di dalamnya. Kritik eksteren digunakan pula untuk memperoleh keaslian (otentisitas) fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Fakta-fakta yang sudah terseleksi akan dianalisis dengan cara memilah-milah (klasifikasi) menurut katagori tertentu yang dibuat berdasarkan unit-unit permasalahan dan tujuan penelitian. Analisis ini berguna untuk membantu proses sintesis, yaitu merangkai fakta-fakta ke dalam unit analisis berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian. Selanjutnya interpretasi dan eksplanasi berdasarkan perspektif dan kerangka berfikir (teori) yang digunakan dalam penelitian ini.
Langkah terakhir adalah penulisan laporan penelitian (historiografi) sesuai dengan teknik-teknik penulisan sejarah dan kaedah penulisan ilmiah.





A. Pendahuluan
Mempelajari dan menganalisa aliran dan pemikiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Di sebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan teologi islam yang tertua dan terbesar yang telah memaiankan peranan penting dalam pemikiran dunia islam(A Hanafi MA 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemodernannya. Di sebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
B. Asal Muasal Kaum Mu’tazilah Dalam Teologi Islam
Disini saya akan mengangkat tentang asal muasal faham Mu’tazilah dalam teologi islam. Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam pembahasannya, mereka banya k memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
Asal muasal nama Mu’tazilah sendiri berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ubaid dan Hasan al-basri di Bashrah.
Menurut Al-Mas’udi memberkan keterangan lain lagi, yaitu tidak berhubungan dengan permasalahan antara Wasil dan Amr dari satu pihak hasan Al-basri dari pihak lain. Mereka di sebut kaum Mu’tazilah karena meraka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain) menurut versi ini mereka di sebut Mu’tazilah, karena mereka membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Mu’tazilah sendiri sudah ada sejak zaman saidina Ali bin Abi Talib. Disitu di tulis karena kaum Khawarij kaum yang dulunya membela saidina Ali membelot meninggalkan saidina Ali, dan memandang Khalifah ‘Usman, saidina Ali, Muawiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir. Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah sendiri memang sulit, karena banyak pendapat yang berbeda-beda yang pernah saya ketahui. Mereka juga kaum Mu’tazilah sendiri bukan nama ejekan, karena dalam Al-quran sendiri I’tazilah mengandung artian pujian (di kutip dari nasy’ah hal 430/31). Mereka juga sering menyebut mereka sebagia Ahl al ‘adl dalam artian yang mempertahankan keadilan tuhan, faham-faham teologi dalam islam lainnya yang termasuk lawan-lawan dari Mu’tazilah sendiri memakai nama-nama seperti al-Qadariah, karena mereka menganut faham Free will dan free act al-muattilah, karena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat tuhan, dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tak akan menimpa diri mereka.
Dalam ajaran Mu’tazilah sendiri yang sangat berpengaruh membawa faham ini adalah Wasil bin Ata, dia biasa di sebut syaikh al mu’tazilah wa qadimuha yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. disana dia belajar pada abu hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-basri.
C. Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah
1. Definisi Mu’tazilah
a. Secara Etimologi
Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا (90)
90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
b. Secara Terminologi Para Ulama
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aqidah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.
Filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nasrani.
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry.
Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat isla, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya
Berbiacara tentang awal mula sejarah Mu’tazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-Basri (w. 110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in grup) atau luar (out grup). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:
Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal di tumpahkan darahnya. Jawaban ini di ajukan oleh kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.
Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang di lakukannya itu terserah tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya di condongi umat islam yang di sebut sebagai kelompok murjiah.
Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat, berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar” (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi (bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal, Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I’tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian di tempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang di tegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Washil bin Atha’Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang pada masa itu, sehingga di dapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Basry, lalu menyebar dan merebak ke kota kufah dan baghdad. Akan tetapi, pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin Dinasti Umayyah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Dinasti Umayyah karena penantangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka pun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayyah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Waalid telah bermadzab dengan mazhab Mu’tazilah dan pendapat mereka tentang iilmu pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam –yaitu pendapat manzilah baina manzilatain- dan amar ma’ruf nahi munkar” dan berkata lagi:”(sehingga Mu’tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz”.
Permusuhan dan perseteruan antara Dinasti Umayyah dan Mu’tazilah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Kemudian, bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Washil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi di tambahh dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu makhluk sampai-sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersnjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada pembantunya di baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, muhadditsin, dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang medapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al Imam Ahmad bin Hambal –dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu’tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah dari zaman Al Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte Mu’tazilah di jadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan pedang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpecah manjadi dua cabang:
1. Cabang bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Washil bin Atho’. Amr bin Ubaid, Usman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syaham, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Aljubaa’i dan yang lai-lainnya.
2. Cabang baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abi Duaad, tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abu Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membahas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya, lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujjah-hujjah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagiamana yang dikatakan Al Jaahidz:”dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-robb, tidak dapat di tegakan hujjah-hujjah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jama’ah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta kanehan dari yang masyhur”.
Walaupun Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sehat abad kedua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalamm bidang tersebbut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikiran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran.
3. Sebab Penamaannya.
Para ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama, penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tida. Dan pengusung pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1. Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina manzilataini (satu diantara dua tempat).
2. Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh Hasan Al Basri dan membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri berkata “washil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah SWT:
واعتزلكم وما تدعون
D. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1. Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
- Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
- Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
- Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
- Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
- Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
- Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini di jelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2) Al ‘adl (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
(3) Al-manzilatu bainalmanzilataini
Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mukmin juga kafir.
(4) Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar
Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyhaio kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan tuhan, yang membawa pada perkembangn islam, bukan hanya filsafat, teta[pi juga sains, pada nasa antara abad ke VIII dan XIII M.
Titik lemah ideologi Mu’tazilah
Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)
E. Pemikiran Kalam Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab a’tazala, artinya mengambil jarak memisahkan diri (Cyirl Glase : 292). Untuk mengetahui sejarah sebutan Mu’tazilah sangat sulit, karena banyak pendapat yang diajukan untuk menjelaskan awal kelahirannya. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Pertama, Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Ata dan Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan al-Basri di masjid Bashrah, kemudian membentuk pengajiannya sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, tidak mukmin lengkap dan juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam satu tempat diantara dua tempat (Harun Nasution : 38).
Kedua, Pendapat kedua menyebutkan bahwa Wasil bin “Ata dan Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari majlisnya karena adanya perbedaan pendapat mengenai qadar dan tempat diantara dua tempat keduanya beserta pengikutnya memisahkan diri dari Hasan al Basri. Mereka disebut Mu’tazilah, karena menjauhkan diri faham umat Islam. Ketiga, Istilah i’tazala dan Mu’tazilah telah lama dikenal sebelum terjasinya peristiwa Basrah tersebut. Pendapat ini merujuk kepada sejarah yang menyebutkan bahwa awal kesadaran Mu’tazilah telah lama berkembang sebelum peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri. Pada saat itu sebutan Mu’tazilah diberikan kepada komunitas yang tidak melibatkan diri dalam konflik politik antara Ali dan Muawiyyah (Tha’ib Tahir : 102).
Berbagai pendapat di atas menunjukan tidak adanya satu kata sepakat dalam sejarah awal kelahiran aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sangat jelas adalah aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi liberal dan rasional dalam islam, yang timbbul setelah peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan Al Basri.
Sementara kaum Mu’tazilah sendiri lebih menyukai sebutan ahlul ‘adli wa al tauhid, mereka mengakui diri sebagai golongan pembela ketauhidan dan keadilan.
b. Sumber-sumber Pemikiran Mu’tazilah
Secara garis besar, sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah ada 4, yaitu:
1. Tradisi politik Islam
Doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah sangat berkaitan dengan pemikiran kalam, teteapi secara historis mengandung muatan-muatan politik. Berdasarkan historiografis, jjika melihat konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah itu muncul, akan di temukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Tuhan, yaitu sifat al qudrat dan al iradat, apakah tuhan secara azali sudah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia atau tidak. Kemudian melahirkan perseteruan antara yang meyakini kebebasan manusia yang melahirkan aliran qadariah awal dan yang menafikan kebebasan manusia yang melahirkan mazhab jabariah.
Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak dan doktrin lainnya, dijadikan kekuatan untuk melawan pihak penguasa (Umayah) yang mempertahankan rezimnya dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana yang dikemukakan tradisionalis (jabariyah) (Cyril Glase:292). Dalam peerjalanan sejarah dapat dilihat mazhab jabariyahkalah yang menjadi ideologi negara yang dianut pada masa Umayah, utnuk melindungi dan melegitimasi supremasi kekuasaan yang korup (Hendar Riyadi: 219). Mazhab Qadariyah yang berkeyakinan akan kebebasan manusia menjadi oposisi pemerintah Umayah. Diantara pertikaian poitik antara Jabariyah dan Qadariyah ini muncul Wasil bin ‘Ata dengan al-manzilat baina al-manzilatain (tempat diatara dua tempat). Pertentangan politik tersebut kemudian dimenangkan oleh Abbasiyyah yang di dalamnya Mu’tazilah turut berperan.
F. Tradisi Filsafat Yunani
Ali Musthafa al-Ghurabi seperti yang dikutip oleh Hedar Riayadi membagi kesadaran Mu’tazilah kepada 3 periode :
Pertama, Generasi ke-1 yang diwakili oleh Wasil bin ‘Ata dan Amr bin Ubaid. Wasil hidup pada nasa pemerintahan Umayah, sedangkan Amr bin Ubaid mengetahui periode awal pemerintahan abbasiyyah. Generasi ke-1 ini belum dan tidak banyak bersentuhan dengan tradisi Yunani, maka pandangan teologisnya masih bersumber pada teks keagamaan (al Qur’an dan al Sunnah). Hal ini disebabkan karena Mu’tazilah lahirnya di madinah tempat para sahabat dan tabi’in berkumpul memegang teguh teks-teks teologis yang sumbernya dari al Qur’an dan al Sunnah.(Hedar Riyadi:221). Meskipun demikian generasi ke-1 ini telah menggunakan kecenderungan penggunaan akal/rasio, karena pada saat itu Mu’tazilah telah bersentuhan dengan tradisi rasionalisasi dari Irak (persia).
Kedua, generasi kedua diwakili oleh Abu al-Huzail dan al-Zahzam. Generasi kedua ini telah mengenal dari dekat dan mempelajari filsafat yunani. Kecuali alat berpikir logika dari Grik dan Nyaya dari India, maka aliran filsafat yang hidup dalam lingkungan lawan tiu haruslah di dalami dan dikuasai sebaik-baiknya (Joesoef Sou’yb: 14). Dengan begitu terjadilah kegiatan besar dalam bidang penyalinan literatur Grik, India, Siryani, Kopti dan Iran ke dalam bahasa Arab, taerutama pada masa Khalifah al Ma’mun dan khalifah berikutnya. Menurut al-Jabiri, penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sebagai kerja ilmiah yang dilakukan al Ma’mun merupakan bagian dari strategi umum yang dilakukan Dinasti Abbasiyyah. Sebab pada saat itu ada nalar-nalar pesaing yang bersifat ideologis untuk menaburkan benih keraguan terhadap islam dan untuk menurunkan Dinasti Abbasiyyah. Mereka memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam peradaban-peradaban asing yang mereka kenal. Sejak dulu sudah nampak bahwa al-Allaf dan al-Nazham membuka pemikirannya untuk menerima sebagian pandangan filosofis Yunani (A Hanafi MA : 40). Penerjemahan buku-buku dan sumber tradisi yunani tersebut telah memberi pengaruh terhadap bahasa, paradigma berpikir dan keilmuan aliran Mu’tazilah. Jadi sumber nalar aliran Mu’tazilah selain al-Qur’an dan al-Sunnah juga pandangan masyarakat asing yang masuk dalam pergaulan islam dan buku-buku filsafat Yunani.
Ketiga, Generasi yang diwakili oleh Abu’Ali al Juba’i dan Abu Hasyim. Penerjemahan karya-karya Yunani terus berlanjut, hanya saja khalifah al-Makmun telah meniggal. Mu’tazilah mengalami kemunduran terutama ketika khalifah al-Mutawakili mendeklarasikan pencabutan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
G. Penutup
Aliran pemiiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang tertua dan terbesar yang telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia islam. Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemoderenannya. Disebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization cuonter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam membahasnya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.

      




SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
 Oleh : M. Ja'far Nashir, M.A

A.     PENDAHULUAN

Didalam memahami ajaran agama Islam, setiap muslim amat tergantung pada kemampuan para ulama dalam menggali dan menarik kesimpulah hulum-hukum Islam dari sumbernya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam perkembangannya pemikiran Islam tidak saja hanya berkisar tentang hukum-hukum Islam, akan tetapi sudah berkembang sampai dengan Teologi, dan Filsafat. Bahkan dewasa ini sudah berkembang sampai dengan pemikiran Liberalis.
Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan pemikiran dalam Islam mulai dari masalah Hukum (Fiqh), Teologi, sampai dengan Filsafat, berikut akan kami jabarkan sedikit tentang perkembangan tersebut.

B.     PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

Perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh, (2) Pemikiran Teologi  Islam, (3) Pemikiran Filsafat Islam., dan (4) Pemikiran Islam Indonesia
1)      PERKEMBANGAN CORAK FIKR AHL FIQH
Perkembangan fiqh dimulai sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, pada masa ini tidak ada masalah yang berarti dimana hal tersebur dikarenakan Nabi saw langsung menjasi pembuat fiqh dan melakukan ijtihad sendiri. Pada masa Sahabat perkembangan fiqh terbagi menjadi dua, yaitu : kelompok alh an-Nash (seperti abuu huraurah & Anas), dan ahl al-Rayi (seperti Umar bin Khattab as). Setelah berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi tholib perkembangan fiqh dinamakan Fiqh Tabi’in, yang mana pada masa ini fiqh terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Ahl an-Nash (para Fuqoha’ al-Saba’ah / Madinah), dan Ahl al-Ra’yi (Fuqoha’ al-Shittah / Kuffah). Lebih lanjut berikut perkembangan fiqh serta corak yang mempengaruhinya :

a.      Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Madinah
Corak pemikiran banyak dipengaruhi oleh kebuadayaan syiria dan kekuasaan Umayyah. Tokoh-tokohnya antara lain : al-Awza’i. Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-madinah adalah  thesa atau dalam arti bahwa fikih ahl al-madinah masih murni yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Hadits.

b.      Manhaj al-Fikr Fikih Asy-Syafi’i
Corak pemikirannya lebih banyak dipengaruhi (didominasi) al-Qur’an dan As-Sunnah. Toko-tokohnya antara lain : Asy-Syafi’i, Ibn Hambali, dan Malik Ibn Abbas / Dawud Ibn Khalaf (keduanya cenderung juga kepemikiran Fikih al-Madinah). Sedang sifat pemikiran fikiq Asy-Syafi’i adalah  anti-thesa. Ini berarti juga bahwa pemikiran ahl asy-Syafi’i sudah mengarah pada penggabungan antara fikih ahl al-madinah (murni) dengan fikih ahl al-Iraq (yang sudah menggunakan rasional).

c.       Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Iraq
Corak Pemikiran yang digunakan adalah dengan menggunakan analogi dan dipengaruhi oleh kekuasaan Abbasyiyah. Tokoh-tokohnya antara lain : Abu Hanifah, Asy-Syaibani (cendrung juga ke pemikiran As-Syafi’i). Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-Iraq adalah  sinthesa. Pemiiran ahl al-Iraq sudah mengarah kepada penggunaan akal secara berlebihan walau tidak mengenyampingkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2)      PERKEMBANGAN GOLONGAN TEOLOGI ISLAM
Tumbuh dan berkembangnya golongan-golongan teologi Islam, muncul setelah peran kepemimpinan (Kekhalifahan) dalam Islam pindah dari Rasullah saw ke para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dan pembembangannya semakin bertambah besar setelah terbunuhnya Ali bin Abi Tholib dan pindahnya kepemimpinan kepada Muawiyyah (yang menerapkan sistem kepemimpinan dengan model monarkhi/kerajaan)
Theologi merupakan usaha pemahaman yang dilakukan para ulama’ (teolog muslim) tentang akidah Islam yang terkandung dalam naqli (al-Qur’an dan As-Sunnah). Tujuan usaha pemahaman tersebut adalah menetapkan, menjelaskan atau membela akidah Islam, serta menolak akidah yang salah dan atau bertentangan dengan akidah Islam. Dengan demikian fungsi Teologi adalah bertugas menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap kebenaran parrenial Islam dengan bahasa Kontekstual.
Adapun aliran-aliran Teologi Islam dapat dijabarkan antara lain sebagai beikurt :
a.      Golongan Khowarij (Teologi Eksklusif)
Khowarij ini muncul setelah perang siffin antara Ali dan Mu’awiyyah. Inti dari pokok pikirannya adalah : (1) Bahwa, Ali, Usman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan orang-orang yang setuju adanya perundingan antara Ali dan Mu’awiyyah, semua dihukumkan orang-orang “Kafir”, (2) Bahwa, setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar, hingga matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka, dan (3) Bahwa, boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim atau khianat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teologi golongan khowarij bahwa orang yang berdosa besar dicap sebagai orang kafir, lawan dari orang kafir adalah orang yang beriman, orang yang beriman wajib berijtihad memerangi orang kafir, karena orang kafir halal darahnya. (yang disebutkan orang kafir disini adalah sebagaimana disebutkan diatas).

b.      Golongan Murji’ah (Teologi Inklusif)
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Aliran ini berpendapat bahwa, orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, hingga matinya tidak juga taubat, orang itu belum dapat dihukum sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Allah kelak setelah hari kiamat. Pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij. Selain itu faham ini berpendapat bahwa “Tidak akan memberi bekas dan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan.Demikian pula sebaliknya, Tidaklah akan memberi manfa’at dan memberi faedah ketaatan seseorang, terhadap kekafirannya” (artinya : tidaklah akan berguna dan tidaklah akan memberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang telah kafir).

c.       Golongan Khowarij (Teologi Rasional)
Tokohnya adalah Abu Huzdaifah washil bin ‘Atha Al-Ghazali. Aliran ini berpendapat bahwa, manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak. Sebab itu mereka diazab atas perbuatan dan tindakannya. Tentang ketauhidan, mereka “menafikan” dan meniadakan sifat-sifat Allah. Artinya Tuhan itu ada bersifat. Karena seandainya bersifat yang macam-macam, niscaya Allah Ta’ala berbilang (lebih dari satu). Inilah yang dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah.

d.      Golongan Asy’ariyah
Golongan ini muncul pada abad ke 11, yang berkembang di Baghdad dengan salah satu tokohnya adalah : Hakim al-Baqailani dan al-Juwaini. Pokok pemikirannya cenderung pada pemikiran Rasional, hampir sama dengan pemikiran golongan Mu’tazilah.

3)      PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM)
a.      Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutut al-Falasifah)
Pokok pemikiran dari al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah (kerancuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.
b.      Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda)
Salah satu Pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam berfikirnya.
c.       Pemikiran Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif)
Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, dan seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).
Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam dan Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.
d.      Pemikiran Filsafat Islam Lainnya.
Disanping ketiga tokoh pemikir filsafat Islam tersebut diatas, berikut tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam lainnya, antara lain :
1)      Al-Kindi (806-873 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.
2)      Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi.
3)      Al-Farabi (870-950 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat, metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian.
4)      Ibnu Maskawih (932-1020 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa.
5)      Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.
6)      Ibnu Bajjah (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri).
7)      Ibnu Yaufal (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.



4)      PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN
1.      Islam Tekstual
Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.
2.      Islam Revivalism
Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai Ke-Islamanya.
3.      Islam Modern
Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madji, Abdurrahman Wahid, dll.
4.      Islam Neo-Modernis
Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada Liberalis, Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya, artinya sudah menyatu.

C.     PENUTUP

Demikian sekilas tentang pemetaan Pemikiran dalam Islam mulai dari masa Klasik (zaman sahabat) sampai dengan zaman modern khususnya di Indonesia. Semoga dengan ini kita dapat memperoleh gambaran tentang Sejarah Pemikiran Islam.




Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri-sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu”tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Basrah dan yang pertama-tama mendirikan aliran Mu”tazilah.
Tokoh-tokoh aliran Basrah antara lain :
  1. Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
  2. Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
  3. Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
  4. al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Tokoh-tokoh aliran Baghdad antara lain :
  1. Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
  2. al Khayat (wafat 300 H/912 M)
Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).
1.      Washil bin ‘Atha (699-748 M)
Nama lengkapnya Washil bin ‘ Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mu’tazilah
Related posts:
  1. Perkembangan Mu’tazilah
  2. Aliran Mu’tazilah
  3. Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam Pada Periode Pra Klasik
  4. Asal Usul Qodariyah
  5. Sekte-Sekte Khawarij


RASIONAL DAN TRADISIONAL DALAM PEMIKIRAN KALAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Berbicara sejarah ilmu kalam, Adapun penamaan ilmu kalam itu sendiri menurut para ulama Kalam dikarenakan beberapa hal, yaitu pertama, masalah-masalah yang diperselisihkan adalah masalah Kalam Allah (al-Quran), apakah dia makhluk diciptakan, atau qadim, bukan diciptakan.
Ilmu kalam merupakan sebuah bentuk rasionalisasi aqidah Islam sekaligus upaya pencarian dan perumusan argumen-argumen rasionalnya. Ilmu kalam lahir sebagai jawaban dan tantangan terhadap sistem aqidah di luar Islam yang menggunakan metode rasional filosofis, baik secara langsung ataupun tidak, bermaksud menjatuhkan rasionaltitas aqidah Islam.
Dengan demikian, ilmu kalam pada masa itu masih merupakan pengetahuan murni, bukan pengetahuan praktis. Karena itu Al-Ghazali mengkritik kerja para ahli kalam (mutakalimin) sebagai kegiatan yang tidak bermanfaat bagi peningkatan keimanan umat Islam pada umumnya.
Pemikiran Kalam hanya memenuhi hasrat intelek bagi kelompok tertentu dan terbatas. Sementara umat Islam pada umumnya tidak bisa menarik manfaat dari hasil kerja mereka. Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran atau pemikiran Ijitihad para fuqaha yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan kehidupan umat Islam sehari-hari, baik dalam bidang kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan sosial lainnya.
Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu:
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli. Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
RASIONAL DAN TRADISIONAL DALAM PEMIKIRAN KALAM
1. Rasional Dalam Pemikiran Kalam
Kerangka berpikir ilmu kalam secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerangka berpikir rasional dan kerangka berpikir tradisional.
Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu:
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli
Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Fokus dalam prinsip berpikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk memahamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
Jadi Dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.
Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam Islam dua yaitu teologi rasional dan tradisional.
Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkan Sedangkan teologi tradisional dikenal dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
2. Ciri Teologi Rasional
Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak tuhan. Ciri teologi rasional adalah:
Akal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi,
Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara mendalam,
Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.
3. Pemikiran Teologi Rasional Mu’tazilah Kalam Menurut Harun Nasution
Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi.
Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah.
Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.
4. Tradisional Dalam Pemikiran Kalam
Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas
Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan dalam berpikir).
Dari paparan dua bentuk kerangka berpikir dalam ilmu kalam di atas dapat disimpulkan bahwa Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis.
Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama. Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah.
Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an, seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.
5. Ciri Teologi Tradisional
Sementara itu, ciri-ciri teologi tradisional dapat di lihat dalam pembagiannya, ciri tersebut adalah :
Akal mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal
Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.
6. Pemikiran Kalam Tradisional Al Ridha
Untuk mengetahui corak teologi Rasyid Ridhâ, maka harus ditinjau terlebih dahulu pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan teologi Islam.
Ridhâ mengakui dan menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bersifat azali dan kekal, sebab tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan tergambar dalam al-Asma’ al-Husna. Sifat Tuhan tidak sama dengan sifat manusia. Ilmu Tuhan tidak timbul seperti ilmu manusia dan tidak diperoleh melalui panca indera dan akal. Sifat Tuhan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara (laisa kamitslihi syai’un). Ridhâ menghindari pembahasan sifat dan zat Tuhan karena tidak dapat dijangkai akal manusia.
Oleh karenanya, ia menafsirkan ayat-ayat zanny secara literal sebagaimana adanya dalam al-Qur’an. Ia berkeyakinan bahwa sifat-sifat jasmaniah pada Allah tidak sama dengan sifat-sifat jasmaniah pada makhluk.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa ayat-ayat tajassum harus diimani tanpa mempersoalkannya, sebab mempersoalkan hakikat sifat Tuhan. Mempersoalkan sifat Tuhan termasuk urusan bid’ah. Kemampuan akal manusia sangat terbatas untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari ayat-ayat tajassum (antropomorfisme).
Ridhâ terlihat sangat tradisional. Ia memberikan kedudukan yang amat rendah kepada akal manusia untuk mengetahui keberadaan tentang Tuhan, baik sifat maupun zat.
Menurut Ridhâ, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebut secara rinci dalam al-Qur’an dan hadits serta untuk mengetahui ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat atau kehidupan duniawi. Dalam bidang ibadah khassah akal tidak mampu mengetahuinya.
Objek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyakatan bukan dalam bidang ibadah khassah, karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan, sedangkan persoalan ibadah khassah tidak mengalami perubahan.
Menurutnya akal penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat al-Qur’an dan meneliti hadits nabi dan pendapat sahabat.
Akal manusia tidak dapat mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan tinggi. Dalam pandangan Ridhâ, wahyu lebih banyak berfungsi sebagai informasi dari pada konfirmasi. Wahyu berfungsi memberikan informasi tentang segala perincian terhadap apa-apa yang diinformasikan wahyu. Oleh karenanya, wahyu memiliki posisi penting lagi tinggi.
Wahyu dalam pandangan Ridhâ berfungsi untuk memberikan informasi kepada manusia tentang persoalan-persoalan keyakinan bersyukur kepada Allah dan memberikan ketentuan umum dan bersifat garis besar tentang perbuatan-perbuatan yang ditetapkan syari’at.
Merujuk apa yang dikatakan Harun Nasution, corak pemikiran seperti ini, sesuai dengan corak teologi tradisional. Dalam hal ini, Ridhâ amat tradisional dalam memahami fungsi akal dan wahyu. Namun demikian, menurut hemat penulis, Ridhâ adalah seorang yang amat hati-hati untuk memainkan peran akal secara lebih dari padan peran wahyu.
Membaca dan memahami corak teologi Ridhâ dapat dipahami, ia sangat tradisional. Buktinya, untuk urusan akal dan fungsi wahyu, ia lebih akrab dengan teologi tradisional. Dalam hal kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat, pendapatnya lebih dekat kepada teologi rasional. Dalam hal perbuatan dan keadilan, ia berada pada pendapat rasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bila disimpulkan secara garis besar mengenai pemikiran rasional dan tradisional dalam ilmu kalam dapat dibedakan seperti berikut :
Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip yaitu:
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli. Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas.
Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan dalam berpikir).
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih terdapat beberapa kesalahan baik dari isi dan cara penulisan.
Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila pembaca tidak merasa puas dengan hasil yang kami sajikan, dan kritik beserta saran juga kami harapkan agar dapat menambah wawasan untuk memperbaiki penulisan makalah kami.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Afrizal M, 2006. Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga.
Harun Nasution, 2002. Teologi Islam, Jakarta: UI Press.
Muhaimin, 2000. Pembaruan Islam, Yogyakarta, Pustaka.
Sirajuddin Zar, 1997. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sirajuddin Zar, 2003.Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang, IAIN-IB Press.
Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakart







Mu’tazilah Dan Perkembangannya

Secara bahasa, Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala, ta’azzala dan i’tazala. Artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Demikian kitab-kitab kamus menjelaskan. (lihat Ibnu Manzhur, Lisânul ‘Arab dalam Dirâsatul firaq karya Tim Ulin Nuha, hal. 125 atau Achmad Warson Munawwir, hal. 927)
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan memisahkan diri.

Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.” (Muhammad Abu Zahrah, Târikhul madzâhibil Islâmiyah (edisi Indonesia), hal. 149 dan Sayyid al-Murâbith bin ‘Abdirrahman al-Abyîri, Alfiraqul Islâmiyah bainal Qadîm wal Hadîts, hal. 98)

Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.

Disebutkan dalam kitab Al-Milal Wan Nihal; “Pada suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian Imam Hassan al-Bashri dan bertanya: “wahai Imam, di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar (yaitu kalangan wa’idiyah khawarij) dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak mempengaruhi iman sebagaimana keta’atan tidak bermanfa’at sama sekali apabila bersama kekafiran (yaitu kalangan Murji’ah). Bagaimana menurut pendapat anda?

Imam Hasan al-Bashri berfikir sejenak, namun Wâshil bin ‘Atha` lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri; “saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mu’min secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada di satu posisi diantara dua posisi (al-manzilah bainal manzilatain), tidak mu`min tidak pula kafir.” Berikutnya, dia pergi memisahkan diri dari majlis Hassan al-Bashri pergi ke salah satu sudut masjid, maka Hassan al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita… (i’tazala ‘annâ wâshil).” Sejak itulah, Wâshil dan orang-orang yang mengikutinya disebut Mu’tazilah. (As-Syahrastâni, hal. 48)

Tak terkecuali ‘Amr bin ‘Ubaid dan sahabat-sahabatnya (setelah kematian Hassan al-Bashri) yang meninggalkan halaqah para sahabat Hassan al-Bashri semisal Qatadah, Ayyub as-Sikhtiyâni dan tokoh-tokoh lainnya. (Ibnu Taimiyah, Al-Furqân Bainal Haq Wal Bâthil (edisi Indonesia), hal. 52)
Masih ada pandangan-pandangan lain, baik dari kalangan Mu’tazilah sendiri atau pun di luar pandangan mereka. Yang jelas, penyebutan Mu’tazilah yang masyhur tidak lepas dari dua sebab tadi dan lebih masyhur lagi adalah sebab yang kedua. (lihat Yahya Hâsyim Hassan Farghal, Al-Firaqul Islâmiyah fil Mîzân, hal. 171 dan Nasy’atul Arâ wal madzâhib wal firaqil Kalâmiyah, hal. 203)

Tokoh-Tokoh Dan Lingkungan Yang Mempengaruhinya
Disamping tokohnya Wâshil bin ‘Atha`, berikutnya Mu’tazilah memiliki tokoh-tokoh lainnya: Abu Hudzail Hamdan bin al-Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazhzhâm, Ahmad bin Khâbith, Fadhl al-Haditsi, Bisyr bin Mu’tamar, Mu’ammar bin ‘Ibad as-Sulami, ‘Isa bin Shabih, Tsumamah bin Asras an-Numairi, Hisyam bin ‘Amr al-Fuwâthi, ‘Amr bin Bahr Abi Utsman al-Jâhizh, Abu Husain bin Abi ‘Amr al-Khayyâth, Abu Qasim bin Muhammad al-Ka’bi, Abu Muhammad bin Abdil Wahhab al-Jubbai dan Abu Hasyim Abdus Salam.

Dari tokoh-tokoh tersebut, sebagian mereka ada yang di Bashrah dan sebagiannya ada yang di Baghdad dengan ajaran-ajarannya yang satu sama lainnya ada persamaan dan ada pula perbedaannya.
Dalam beberapa sumber disebutkan, bahwa Mu’tazilah merupakan sekte yang menganut paham atau pemikiran yang mengandalkan rasio, mereka mengatakan bahwa akal (al-‘aql) mempunyai daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara liberal terhadap teks-teks al-Qur`an dan al-Hadits. Hal ini sama dengan filsafat Yunani dan Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik dengan filsafat tersebut (Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tashawwuf, hal. 63)

Kesamaan dan ketertarikan tersebut lebih disebabkan karena terjadinya kontak langsung antara ummat Islam dengan filsafat Yunani yang secara historis dilakukan oleh para khalifah ‘Abasiyyah, yaitu: al-Manshur (756-775 M.), al-Mahdi (w. 784 M.) Harun al-Rasyid (786-808 M.), al-Ma’mun (813-833 M.) dan al-Mu’tashim (w. 841 M.). Mereka itulah yang menyuruh para ahli untuk menyalin buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab dan menerbitkan kitab-kitab yang lengkap. Kegiatan tersebut lebih semarak lagi pada masa al-Ma’mun, diantaranya dengan berdirinya Baitul Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan penelitian yang dilengkapi dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para ilmuwan dan filosof (Ibid, hal. 53-54)

Dari gesekan pemikiran tersebut, nampak jelas dampaknya bahwa Mu’tazilah menjadi landasan teologis kaum rasionalis.

Untuk mengetahui corak rasional ajaran Mu’tazilah, dapat dicermati dalam ajaran-ajaran pokok mereka yang disebut al-Ushûl al-Khamsah, yaitu lima dasar keyakinan sebagai berikut: Keesaan Tuhan (at-Tauhid) menurut Mu’tazilah, Keadilan Tuhan (al-‘Adl) menurut Mu’tazilah, Janji baik dan Janji buruk (al-wa’d wa al-wa’îd) menurut Mu’tazilah, posisi di antara dua posisi (al-Manzilah bainal Manzilatain) dan al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar menurut Mu’tazilah.

Al-Ushul al-Khamsah; Lima Dasar Keyakinan Mu’tazilah
Al-Tauhid (Keesaan Tuhan)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta al-Qur`an adalah makhluq.

Dengan demikian, mereka pun disebut kaum Mu’aththilah yaitu penganut faham yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah.
Mereka berkata:
“Kami menghendaki sifat-sifat Ma’any”. Juga mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan Dzatnya sendiri (yakni tanpa perantara sifat-sifatNya). (DR. Mahmud Basuni Faudah, at-Tafsîr wa Manâhijuh, hal. 101)
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:

“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”

Dengan kecenderungan tauhidnya yang sungguh-sungguh, maka mereka dikenal dengan Ahli Tauhid atau Ashâbut Tauhîd wal Adl (Ahmad Hanafi, hal. 42 dan as-Syahrastani, al-Milal wan Nihal, hal. 43)

Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Berdasarkan prinsif ini, mereka membina keyakinannya bahwa Allah bukanlah yang menciptakan semua makhluq yang ada dalam alam ini. Maksudnya paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.

Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri (Abudin Nata, hal. 65)

Berkaitan dengan al-Adl ini, Imam al-Asy’ari mengatakan dalam Maqalatnya sebagaimana dikutip oleh Prof. Majid Fachry dalam bukunya A History of Islamic Philosophy; adalah diantara tokoh Mu’tazilah Baghdad Tsumamah bin Asras (w. 828), dia begitu terpesona oleh karakter dilema tindakan moral yang sulit dipahami, sehingga ia mengatakan sebagai masalah yang tidak dapat dipecahkan dan jatuh kembali ke dalam posisi kemustahilan dapat membuktikan ada dan tidak adanya Tuhan (agnostisisme) yang sempurna. Seperti sebagai tokoh Mu’tazilah yang lain, ia dimasukkan ke dalam (kelompok) yang mempertahankan keadilan Tuhan dan keharusan yang konsekwen untuk meletakkan tanggung jawab diatas pundak manusia. Manusia katanya “bertindak” hanya dalam wilayah kehendak, tetapi diluar wilayah ini ia tidak dapat berbuat apa-apa. Lalu tanggung jawab siapa akibat tindakan manusia yang disengaja. (Prof. Majid Fachry, A History of Islamic Philosophy, hal. 91)

Al-Wa’d wal Wa’îd (Janji baik dan Janji buruk)
Menurut keyakinan mereka, Allah Jalla wa ‘Alâ  akan memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan dan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan yang buruk, berkewajiban memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa orang yang melakukan dosa besar. Dia tidak boleh mengampuni pelaku dosa-dosa besar, jika dia mati sebelum bertaubat. Pemberian balasan pahala dan siksa bersifat wajib bagi Allah Jalla wa ‘Alâ.

Ajaran ini merupakan kelanjutan dari ajaran keadilan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalam keadilannya itu nampak terlihat betapa besarnya peranan manusia dan akal menurut kaum Mu’tazilah dalam memecahkan masalah, sehingga ada kesan seolah-olah manusia dan akallah yang mengatur kekuasaan Tuhan. Tuhan sepertinya harus mengikuti kemauan manusia.

Al-Qur`an mengatakan bahwa Allah Jalla wa ‘Alâ tidak akan menyalahi janjinya. Hal ini  dijadikan dalil oleh kaum Mu’tazilah untuk membangun alasannya dalam mensucikan Tuhan dari perbuatan dan tindakan yang tidak sepantasnya terjadi padaNya. Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang pendapat golongan Murji’ah sebagaimana keta’atan tidak akan berguna disamping kekafiran. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya sama sekali, sesuatu hal yang mustahil bagi Allah. (Ahmad Hanafi, hal. 45)

Al-Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar. (Yahya Hasyim Farghal, hal. 204)

Menurut Ahmad Hanafi dalam hal jalan tengah ini, Mu’tazilah dipengaruhi oleh adanya keyakinan sebagai berikut:
1.    Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu
2.    Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah; virture) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan
3.    Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.

Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘Anil Munkar
Dengan berpegang kepada al-Qur`an Surat Ali Imran ayat 104 dan Surat Luqman ayat 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan.

Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.

Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, dan jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsif tersebut haruslah dilaksanakan dengan senjata. Dalam hal ini, mereka tidak pandang bulu antara penguasa dan rakyat biasa. (DR. Basuni Faudah, hal. 102)

Dengan demikian tidaklah seseorang dikatakan sebagai penganut Mu’tazilah, melainkan memegang lima prinsif tersebut.
http://pusdiklat-dewandakwah.com/artikel-pengasuh/82-mutazilah-dan-perkembangannya.html




[2] Lihat Mahmud Yunus, Kamus ‘Arabic, (Jakarta; PT. Hidakarya Agung, 1990), h, 265
[3] Lihat A. Kadir Sobur, Teologi Progresif, (Jambi; CV. Tanggamas, 2008, h, 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar