Senin, 12 Januari 2015

Jurnal Perjalanan dalam Mencari Hadis




Sejarah Perjalanan dalam Mencari Hadis Nabi
Oleh: Sumanto
Abstrak

            Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran. Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.
            Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif. Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.
            Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an.
            Al-Qur'an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu keduanya. Banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al-Qur'an yang wajib d iikuti dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
            Periwayatan hadist dimasa sahabat di bagi menjadi dua, yakni perawatan hadist dengan lafal aslinya dan periwayatan hadist dengan maknanya saja. Dari segi bahasa yang digunakan para sahabat dalam meriwayatkan hadis juga membantu para ulama hadis dalam menetukan derajat kekuatan hadis. Pada masa itu, para shabiyah juga berperan dalam meriwayatkan hadis. Makalah ini juga menyertakan tujuh nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, yaitu Abu Hurairah, Abdulah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah Binti Abu Bakar, Abdulah Ibn Abbas, Jabr Ibn Abdillah, dan Abu Sa’d al-Khudry. Cara sahabat meriwayatkan hadis, penggunaan lafal oleh sahabat, peran shabiyah, dan sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis.
Key Word: Sejarah, Perjalanan, Mencari Hadis

A. Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari ilmu hadits kita juga perlu mengetahui sejarah hadits, penukilan, penyampaian, kualitas , keadaan dll. Kenapa ? hadits juga merupakan dalil yang bisa dijadikan penyelesaan sebuah masalah, tapi supaya hadits itu dapat kita yakini. Ya, kita harus mengetahui keadaan hadits, kualitas dll. Suatu nasehat dapat kita percayai apabila kita mempercayai orang yang menyampaikannya, kita akan mempercayai oaring yang menyampaikannya kita harus mengetahui dulu tingkah lakunya.
Sama juga halnya dengan sebuah hadits agar kita mempercayainya, kita terlebih dahulu mengenal siapa yang mengeluarkannya dan bagamana keadaan orang yang mengeluarkanya itu. Mungkin dalam pembahasn kami kali ini menekankan pada cara mengeluarkan hadits baik dengan keadaan perawinya, maupun terhadap kualitas haditsnya, dengan mentakhrij kita dapat mengetahui keadaan hadits dan kualitasnya. Untuk mengetahuinya lebih dalam kita harus menggunakan metode-metode.
            Setelah para sahabat mendengar dari Rasul, merekapun mengisahkan kembali apa yang mereka lihat atau dengar kepada keluarga, teman-teman, tetangga atau siapa saja yang mereka temui. Sebagian sahabat bahkan sengaja datang ke kediaman Nabi meskipun jauh letaknya hanya untuk bertanya. Diriwayatkan ada Kabilah di luar kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
            Para sahabat yang sudah menerima hadist-hadist dari Nabi, sebagian besar menghafalnya,dan hanya beberapa yang menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Ketika menghafal terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Diantara sahabat yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi Saw antara lain Abu Hurairah yang meriwayatkan hadist (dalam kitab-kitab hadist sekarang) sebanyak 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
            Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadist antara lain:
  Para sahabat selalu mendatangi majelis ilmu yang diselanggarakan Rasulullah Saw. Beliaupun selalu menyediakan waktu untuk mengajar para sahabat. Jika ada seorang sahabat absen, sahabat lain yang hadir akan memberitahukan pengajaran yang di dapat. Bahkan banyak sahabat yang diam-diam memperhatikan kehidupan Nabi meskipun harus bertanya kepada istri-istri beliau
  Rasulullah sendiri yang mengalami persoalan kemudian memberitakan kepada sahabat. Sahabat lain yang mendengar langsung menyampaikan lagi pada keluarganya dan sahabat lainnya. Sehingga sabda Nabi ini cepat tersebar luas. Jika yang hadir sedikit, Rasulullah memerintahkan agar yang tidak hadir diberitahu
  Para sahabat sendiri yang langsung bertanya kepada Nabi tanpa malu-malu ketika ada persoalan yang menimpa mereka. Ataupun jika ada seorang sahabat yang merasa malu untuk bertanya, iapun mengutus sahabat lainnya.Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
  Dinyatakan secara tegas oleh Allah, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Allah berfirman:
“ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab: 21) 
  Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang pengetahuan (ilmu Islam khususnya). Seperti yang terdapat dalam Qur’an:

"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az Zumar : 9)

Para sahabat berusaha memperoleh ilmu yang banyak yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
·  Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
            Hadis merupakan harta berharga bekal akhirat yang ditinggalkan Rasulullah Saw kepada umatnya. Keberadaan hadis sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting kaum muslimin terdahulu dalam menerima dan menyebarluaskan. Di masa-masa awal islam, generasi pertama yang menerima dan menyebarluaskan hadis adalah generasi para sahabat. Satu-satunya generasi yang memiliki kesempatan emas yang tidak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sesudahnya, yakni bertemu dengan Rasulullah Saw dan menerima pengajaran langsung dari beliau. Generasi para sahabat inilah sebagai pintu gerbang awal perjalanan hadis Rasulullah Saw. Sehingga hal itu menjadi sebab mengapa pembahasan penerimaan dan penyebaran hadis di masa sahabat dalam makalah ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah awal dalam mempelajari proses perjalanan hadis dari masa awal dan seterusnya.
             Hadis merupakan harta berharga bekal akhirat yang ditinggalkan Rasulullah Saw kepada umatnya. Keberadaan hadis sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting kaum muslimin terdahulu dalam menerima dan menyebarluaskan. Di masa-masa awal islam, generasi pertama yang menerima dan menyebarluaskan hadis adalah generasi para sahabat. Satu-satunya generasi yang memiliki kesempatan emas yang tidak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sesudahnya, yakni bertemu dengan Rasulullah Saw dan menerima pengajaran langsung dari beliau. Generasi para sahabat inilah sebagai pintu gerbang awal perjalanan hadis Rasulullah Saw. Sehingga hal itu menjadi sebab mengapa pembahasan penerimaan dan penyebaran hadis di masa sahabat dalam makalah ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah awal dalam mempelajari proses perjalanan hadis dari masa awal dan seterusnya.
A.  Perjalanan (rihlah) didalam Mencari Hadits
Didalam kitab Usulu al-hadits disebutkan bahwa perjalanan didalam mencari hadits sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW, sebahagian orang yang mendengarkan ajaran yang baru, langsung pergi ke Rasulullah SAW untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan memahami ajaran Islam, kemudian kembali kekaumnya setelah mengumumkan keislamannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dhomam ibn Tsa’labah. ( M. ‘Ajaj al-Khatib, 1989: 129)
 Perjalanan dalam mencari hadits dimasa Rasulullah merupakan hal yang umum mulai dari mengenal ajaran agama yang baru. Adapun dimasa sahabat dan Tabi’in sesungguhnya telah banyak perjalanan yang  ditempuh oleh para ulama-ulama didalam mencari hadits yang terperinci, yang telah melewati perjalanan yang jauh untuk mendengarkan hadits dan untuk menguatkan daripada kebenaran hadits tersebut, dan untuk bertemu dengan para sahabat, dan memperoleh hadits darinya, karna para sahabat dimasa Tabi’in-tabi’in berada di beberapa Negara dan mereka memindahkannya kedalam sumber hadits Nabi, maka wajib bagi orang yang ingin mengumpulkan hadits Nabi yaitu berpindah dari Negara yang satu kenegara yang lain, belakangan para sahabat yang mendengar dari perawi-perawinya dan mengambil hukum-hukum dari hadits tersebut, kemudian melakukan perjalanan mengikuti tabi’in kepada tabi’in yang biasanya dan memperoleh hadits dari nya, sehingga   berhasil mengumpulkan hadits dalam sumber yang besar.
Ketelitian serta kehati-hatian dalam menerima sebuah hadits tidak hanya terlihat pada diri para Khulafa’ ar-Rasyidin, tetapi juga pada para sahabat yang lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayub al-Anshari pernah melakukan perjalanan ke Mesir, Hijaz, Basyrah, hanya dalam rangka untuk mencocokan sebuah hadits yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memlihara hadits diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat sebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi’in di Basyrah. Mereka menganggap perlu untuk mengkonfirmasikan Hadits yang diterima dari sahabat yang ada di Basrah dengan sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu hadits itu diterima mereka dari sahabat, para Tabi’in masih merasa perlu untuk mengecek kebenaran Hadits tersebut dari para Sahabat yang lain. (M. ‘Ajaj al-Khatib,1989: 129)
Dan dari apa yang diriwayatkan didalam perjalanan sahabat, apa yang diceritakan oleh ‘Atha’ ibn abi Riyah ia berkata: Abu Ayub Al-anshari telah keluar menemui ‘Uqbah ibn ‘Amir, menanyakan tentang hadits yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tidak ada seorangpun yang tetap mendengar dari Rasulullah SAW, selain ‘Uqbah, maka ketika Abu Ayub datang kerumah Musallamah ibn Mukhalid al-anshari yaitu gubernur mesir, maka dia memberitahukan segera kepadanya, maka keluarlah ia kemudian berkata : Apa sebabnya engkau datang kepadaku wahai abu Ayub? Maka ia berkata : hadits yang saya dengar dari Rasulullah SAW, tidak ada salah  seorangpun yang tepat mrndengarnya dari Rasulullah SAW selain ‘Uqbah, maka di utuslah orang yang dia tunjuki kerumahnya, ia berkata: pergilah bersama orang yang saya tunjuki kerumah ‘Uqbah, dan beritahukan kepada ‘Uqbah, maka segeralah ‘Uqbah keluar dan berkata: ما جاء بك يا أبا أيوب ؟  maka dia berkata : saya mendengar ada hadits dari Rasulullah SAW tidak ada seorangpun yang mendengar dari Rasulullah SAW selain engkau yaitu tentang” sitrul al-mu’min”, (M. ‘Ajaj al-Khatib, 1989: 130)‘Uqbah berkata: iya saya mendengar Rasulullah SAW telah bersabda:
من ستر مؤمنا في الدنيا على خزية , ستره الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi ‘A’ib(kehinaan) orang yang beriman di dunia, Allah akan menutupi ‘A’ibnya(kehinaan) di akhirat kelak”.
Abu Ayub berkata : engkau benar. Kemudian Abu Ayub pulang ke Madinah, maka dia diberi penghargaan oleh Musammah ibn Mukhalid al-ab’arisy di Mesir.
Sesungguhnya Abu Ayub takut lupa akan hadits tentang”Sitrul al-mu’min”, maka untuk lebih menguatkan dan menetapkan keshohehan hafalannya dari Rasulullah, maka dia melakukan perjalan dari Hijaz ke Mesir. ( M. ‘Ajaj al-Khatib, 1989: 130)
Subhi As-Shalih(2000), dalam bukunya Membahas Ilmu-ilmu Hadits juga menyebutkan bahwa para perawai tidak merasa puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri, atau dari satu kota saja, baik yang jauh maupun yang dekat dengan tempat tinggalnya. Karena itu, berkelana mencari hadits ke negeri-negeri yang jauh menjadi dambaan utama mereka. Dengan begitu, mereka bias memperoleh ilmu dari sumbernya yang pertama. Mereka juga bias mewujudkan keyakinnannya, yaitu bahwa “mendapatkan kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif dan lebih mengakar.” (Subhi As-shalih, 2000: 55)
Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya ketika berusia 15 tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun ada pula tanpa rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh. Ada yang melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya adalah semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Jelas bahwa julukan pengembara atau pengelana itu pantas di kenakan kepada para ahli hadits terkemuka. Karena mereka melakukan dengan menanggung berbagai kepayahan, merambah kesegenap penjuru untuk mencari hadits, sedikit atau banyak. Pantas kalau mereka mendapatkan penghargaan sepanjang zaman. Tak pelak lagi sebagian dari pengembara itu telah berkali-kali mengelilingi penjuru timur dan barat. Ada diantara mereka mengaku telah menjelajahi bagian timur dan barat tak kurang dari empat kali. Bahkan Orientalis Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara sebagian tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan. (Subhi As-shalih, 2000: 57)
Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadits agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya. Hal tersebut juga dilakukan oleh Jabir ibn ‘Abd Allah yang telah melakukan suatu perjalanan jauh dengan waktu tempuh sekitar sebulan untuk menemui ‘Abd Allah ibn Unais, hanya untuk mengecek kebenaran bahwa dia telah mendengar langsung satu Hadits tentang kisas (qishash) dari Nabi SAW. Demikianlah para ahli Hadits, baik dari kalangan sahabat dan demikian juga Ulama Hadits yang datang setelah mereka, manakala mereka mendengar suatu Hadits, mereka berusaha untuk menemui sumber pertama dari Hadits tersebut yang secara langsung mendengarnya dari Nabi SAW selama hal tersebut memungkinkan. Meskipun untuk maksud itu mereka harus mengorbankan harta kekayaan ataupun waktu mereka yang kadang-kadang berbulan-bulan lamanya.
Sahabat juga melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi yang lain yang lebih tsiqat dan terpecaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadits. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu Hadits yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama Hadits umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu. (Nawir Yuslem, 2001: 26). Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits untuk  menghindari munculnya kegiatan pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur’an. Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya. Mengingat pentingnya hadis dalam dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut juga  dalam rangka untuk memelihara kemurnian dan ke shahihan hadits.
B. Masa pencarian hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada ketentuan yang menghalangi mereka bergaul dengan belliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk kerumah Nabi. Dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan para sahabat. Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Berdasarkan kepada kesungguhan meniru dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumah dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi. ( M. Hasbi Ashidiqi, 1997: 28-29)
‘Umar Ibnu Khathathab, menurut riwayat Al Bukhary menerangkan:
كنت أناوجار لي من الأنصار في أمية بن يزيد وهي من عوالي المدينة وكنا نتناوب النزول على عهد رسول الله صلعم ينزل يوما وأنزل يوما فإذا أنزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي وغيره , وإذا نزل فعل مثل ذلك . فنزل صاحبى الأنصاري يوم نوبته فضرب بابي شديدا فقال : أثم هو ؟ ففزعت فخرجت إليه فقال : لقد حدث أمر عظيم : طلق رسول الله نسائه . قلت : قدكنت أظن أنذلك كائن حتى إذا صليت الصبح , شددت على ثيابي ثم نزلت فدخلت على حفصة . فإذا هي تبكي فقلت : أطلقكن رسول الله صلعم ؟ قالت : لا أدري . ثم دخلت على النبي صلعم , فقلت وأنا قائم : أطلقت نساءك ؟ فقلت : الله أ كبر .
“ Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshor bertempat di kampung Umaiyyah ibn Yazid, sebuah kampung jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu rumahku dengan keras serta berkata : “Adakah ‘Umar di dalam?” aku terkejut lalu keluar mendaptinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul telah mentalak isteri-isterinya. Aku berkata : “Memang sudah kuduga terjadi peristiwa ini.”sesudah saya bersembahyang subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai dikota , saya masuk kerumah Hafshah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya :”Apakah engkau telah ditalak oleh Rasul ?”Hafshah menjawab : “Saya tak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi, sambil berdiri saya berkata :”Apakah anda telah mentalak isteri-isteri anda?”Nabi menjawab :”Tidak”. Dia kala itu pun mengucapkan “Allahu Akbar”.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kekampungnya, mereka segera mengajar kawan-kawannya sekampung.
Sebagai sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi Nabi, hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.
Di beritakan Al-bukhary dalam shahihnya dari ‘Uqbah ibn Al Harits, bahwa seorang wanita menerangkan kepadanya (‘Uqbah), bahwa dia telah menyusui ‘Uqbah dan istirinya. Mendengar itu ‘Uqbah yang dikalah itu berada diMakkah terus berangkat menuju kemadinah.
Sesampainya kepada Nabi, ‘Uqbah pun bertanya tentang hukum Allah mengenai seseorang yang memperisterikan saudara sesusunya, tanpa mengetahuinya, kemudian baru diterangkan oleh yang menyusui mereka. Maka Nabi menjawab kaifa wa qad qila = betapa, padahal telah diterangkan orang. ( M. Hasbi Ashidiqi, 1997: 30)
Mendengar itu ‘Uqbah dengan serta merta menceraikan isterinya, kemudian isterinya itu menikah kembali dengan orang lain.
Kerapkali para sahabat bertanya kepada para  isteri Nabi tentang sesuatu hukum yang berhubungan rapat antara seseorang dengan isterinya karena para isteri Rasul itu mengetahui, betapa Nabi memperlakukan mereka.
Diriwayatkan oleh Malik dari Atha ibn Yassar bahwa seorang lelaki dari sahabat mengirimkan isterinya untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum mencium isteri di kala berpuasa. Maka Ummu Salamah memberitahukan kepada wanita yang bertanya itu, bahwa Nabi pernah menciumnya di kala beliau sedang berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada suaminya. Maka lelaki itu berkata,” Aku bukan seperti Rasulullah. Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya apa yang dikehendaki”. Perkataan ini sampai kepada Nabi, karena itu Nabi marah mendengarnya seraya berkata: ( M. Hasbi Ashidiqi, 1997: 29-30)
إني أتقاكم لله وأعلمكم بحدوده
“Bahwasanya aku lebih taqwa kepada Allah daripada kamu dan lebih mengetahui hukum-hukumnya”. (hadits ini diriwayatkan juga oleh Asy Syafi’y dalam Ar Risalah.
Rasul juga pernah marah di ketika beliau menyuruh para sahabat untuk mencukur rambut di Hudaibiyah. Mula-mulanya mereka tidak mau menuruti. Sesudah Nabi sendiri mengerjakannya, barulah mereka menurutinya. Apabila Nabi tak dapat berkata terus terang dalam memberikan sesuatu penjawaban, Nabi meminta isterinya menerangkan soal itu dengan sejelas-jelasnya. Pernah seorang wanita datang kepada Nabi bertanya tentang mandi haid. Nabi menjawab:
خذي فرصة ممسكة فتوضئي بها
“Ambillah sepotong kain perca yang sudah dikasturikan, lalu berwudulu’lah dengan dia”.
Mendengar jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi pertanyaannya, “Betapa saya berwudlu dengan itu?” Nabi menjawab seperti sebelumnya. Oleh karena wanita penanya terseebut tidak dapat memahami perkataan Nabi, Nabi meminta ‘Aisya supaya menerangkannya. Maka ‘Aisyah berkata:
خذي قطعة قطن نظيفة فضعيها في مكان الدم, فإن خرجت بيضاء كان ذلك علامة طهرك
“Ambillah sepotong kapas yang bersih, lalu letakkan di tempat darah, jika kapas itu tetap putih, tanda haid sudah berhenti.”(H.R. Bukhory/Muslim dan An Nasa’y dari ‘Aisyah).
Para sahabat menerima hadits (syari’at) dari Rasul SAW. Adakala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
C.                Sahabat-sahabat yang gemar melakukan al-rihlah didalam mencari Hadits
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa para shabat rela menghabiskan waktu mereka, mengorbankan harta benda mereka, demi untuk melakukan perjalanan dalam mencari hadits dan untuk mengecek kebenaran dan keshahihan hadits tersebut, diantara mereka adalah;  Abu Ayub al-Anshary, Abu ad-Darda’, Jabir ibn Abdullah, Sai’id ibn al-Musayyab, Abi QalbahAbdurrahman ibn Mahdi.
D.  Kesimpulan
Dari pembahsan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya ketika berusia 15 tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun ada pula tanpa rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh. Ada yang melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya adalah semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadits agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits untuk  menghindari munculnya kegiatan pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut juga  dalam rangka untuk memelihara kemurnian dan ke shahihan hadits.
Diantara para sahabat yang gemar melakukan perjalanan di dalam mencari hadits ialah:
a.       Abu Ayub al-Anshary
b.      Abu ad-Darda’
c.       Jabir ibn Abdullah
d.      Sai’id ibn al-Musayyab
e.       Abi QalbahAbdurrahman ibn Mahdi

















DAFTAR PUSTAKA

M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits,(Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989).
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
                             
M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka       Rizki Putra, 1997).

Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000).