Rabu, 10 Februari 2016

Membendung Aliran Sesat



Membendung Pemahaman dan Aliran Sesat
Oleh: Ust. Sumanto, M. Pd.I
اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، سَيِّدِنَا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ وَمَوَّالَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَتِهِ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَائِلِيْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (آل عمران: 102).
وَأَنَّ هٰذَا صِرٰطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذٰلِكُمْ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿الأنعام:١٥٣
Hadirin Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah, Di dalam surah Al An’am Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هٰذَا صِرٰطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذٰلِكُمْ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿الأنعام:١٥٣
 Artinya: “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ayat ini di depan sahabat-sahabat beliau, Rasulullah menggaris dengan telunjuk beliau di atas tanah sebuah garis lurus sambil membaca ayat tersebut: “Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah jalan yang lurus tersebut”.
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris lagi beberapa garis disamping kiri dan kanan dari garis yang lurus tadi dengan jari telunjuk beliau sambil membaca: …وَلَا تَتَّبِعُوا۟ السُّبُلَ  janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain ini karena kalian akan bercerai berai dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus tadi.
Hadirin yang dirahmati Allah…
Dari ayat ini dan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ayat ini kepada sahabat-sahabat beliau menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, sedangkan jalan kebatilan dan kesesatan banyak dan berbilang. “Wa anna hadza shiratii mustaqimaa”, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengawali ayat ini dengan kata “anna” yang dalam Bahasa Arab disebut sebagai huruf nasab dan tahqiq untuk mempertegas bahwa sama sekali jalan kebenaran, jalan lurus adalah yang ditunjukkan oleh nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jalan kebenaran hanya Islam yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah beliau. Kemudian disebutkan “shirati mustaqimaa” disamping dia dipertegas dengan huruf “wa anna” kata-kata “shirat” itu adalah isim mufrad, bentuk tunggal. Shiratun-shirathaani-shurut, kalau banyak jalan disebut “shurut”. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan isim mufrad “shirat-shirati” sama dengan apa yang kita baca dalam surah Al Fathihah “idhinas shirathal mustaqim” menunjukkan bahwasanya jalan kebenaran hanya satu yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan itu dipertegas dengan dalil-dalil yang lain termasuk dari penjelasan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamketika beliau memprediksi perpecahan yang akan terjadi setelah beliau meninggal dunia.
“Sesungguhnya siapa yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan (perpecahan) yang banyak…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dan dalam hadits beliau yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di  dalam Neraka dan satu yang didalam Surga..” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Inilah yang menjadi salah satu dalil dari nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang menunjukkan bahwasanya thariqul haq atau jalan kebenaran hanya satu. Sementara jalan kebatilan, jalan kesesatan, jalan kebinasaan berbilang dan begitu banyak. Dari penjelasan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa kelompok sesat itu begitu banyak termasuk di dalam isyarat ayat tadi kata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “wa la tattabius subul” janganlah kamu mengikuti subul. “Subul” itu jamak daripada “sabil”, “Sabilun-sabilani-subul”. Menunjukkan bahwa jalan kesesatan,jalan kebinasaan, jalan kebatilan berbilang dan banyak.
Hadirin yang dirahmati Allah…
Jalan kebenaran yang disebutkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh sahabat maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban, “ma ana ‘alaihi was shahabah”, apa yang aku berjalan di atasnya bersama dengan sahabat-sahabatku. Berarti jalan kebenaran adalah apa yang ditinggalkan dan diwariskan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dan itu terjaga, alhamdulillah, sampai saat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ
 “Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. Malik dan Al-Hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kepada kita agama yang haq begitu terangnya dan begitu jelasnya jalan kebenaran yang ditinggalkan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Rasulullah meninggalkan kepada kita agama begitu jelas, begitu terang. Saking terang dan jelasnya malamnya sama dengan siangnya tidak ada yang berpaling dari agama yang jelas yang ditinggalkan nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dia termasuk orang-orang yang binasa dan orang-orang yang merugi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan perpecahan dan pertikaian yang terjadi setelah beliau meninggal dunia maka beliau juga berwasiat dengan berpesan pada kita sebagai jalan keselamatan beliau mengatakan,
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat“. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah, Al Hakim, dan lainnya.)
Hadirin yang dirahmati Allah…
Apa yang disinyalir dalam ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala tadi dan penjelasan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau hendaknya menjadi perhatian kita secara serius. Betapa tidak, kita berada di satu zaman dimana pendapat, paham bahkan aliran yang menyimpang dari apa yang diwariskan oleh nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak. Di negeri kita ini, yang penduduknya mayoritas dari kaum muslimin ternyata berkembang begitu pesat aliran-aliran dan paham yang menyimpang. Bahkan dalam persoalan-persoalan yang termasuk musallamat, masalah yang telah selesai dibahas oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga oleh para ulama kita dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini lalu kemudian diselisihi oleh sebagian orang ternyata direstui oleh kaum muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّـهِ الْإِسْلٰمُ
 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (Qs. Ali Imran: 19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imrah: 85)
Persoalan yang sudah jelas sekali di dalam ayat ini bahwa Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih juga disebutkan,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini yakni Yahudi dan Nashrani yang telah mendengar (kedatangan)ku, kemudian sampai matinya dia tidak beriman dengan kerasulanku, melainkan dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Banyak dalil-dalil yang shahih yang menerangkan hal tersebut, lalu hari ini kita mendengarkan pernyataan orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai professor dan doktor agama mengatakan bahwa nasrani juga benar, yahudi juga benar.
Di antara contoh berikutnya, hadirin yang sama berbahagia ialah persoalan yang sudah baku dan jelas dalilnya dalam al-Qur’an bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang terakhir.
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلٰكِن رَّسُولَ اللَّـهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّۦنَ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (Qs. Al-Ahzab : 40)
Dan di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak menjelaskan tentang khatbun nubuwah, bahwa beliau adalah penutup semua nabi dan semua rasul, diantaranya beliau mengatakan,
“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (HR. Tirmidzi)
Dalil-dalil yang faqiyatuts tsubut dan faqiyatud dhalala, seperti ini dengan tegas tapi ternyata ketika di zaman kita ini ada yang mengklaim dirinya sebagai nabi yang terakhir diikuti oleh kaum muslimin.
Hadirin yang dirahmati Allah…
Semuanya kita tahu bagaimana Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, yang mengklaim dirinya sebagai nabi yang terakhir lalu kemudian mengembangkan paham dan ajarannya ini ternyata direspon oleh kaum muslimin hampir di seluruh dunia bahkan di tempat kita pada hari ini. Karenanya, hendaknya kita prihatin, kita selama ini hanya bangga bahwa kita adalah mayoritas mutlak di negeri ini tapi ternyata tidak ada nilainya, menjadi sasaran empuk dari seluruh aliran sesat dan paham yang menyimpang.
Mungkin ada yang bertanya kenapa negeri kita ini adalah negeri yang subur penyebaran aliran sesat dan paham yang menyimpang. Paling tidak ada dua penyebabnya. Yang pertama tingkat keawaman kaum muslimin pada agamanya sangat tinggi. Awamnya kaum muslimin terhadap Islam, awamnya kaum muslimin terhadap al-Qur’an yang menjadi sumber dan perwujudan pada Islam yang merupakan warisan dari nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tinggi. Mari kita menginstropeksi diri kita sejauh mana kita berinteraksi dengan al-Qur’an ini. Berapa waktu yang kita sisihkan untuk kita duduk bersama dengan al-Qur’an. Untuk kita baca al-Qur’an, untuk kita kaji al-Qur’an, untuk kita baca al-Qur’an dan berapa persen dari kaum muslimin di Indonesia yang tadi kita mengatakan penduduknya mayoritas mutlak kaum muslimin, berapa persen diantara mereka yang akrab dengan al-Qur’an. Ketika kita awam dengan al-Qur’an, tidak paham al-Qur’an maka di saat itulah kita akan menjadi sasaran empuk penyebaran aliran dan paham yang menyimpang dari agama yang diwariskan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadirin yang dirahmati Allah…
Al-Qur’an ini adalah al-Furqon, membedakan antara yang haq dan bathil. Bagaimana kita bisa membedakan yang ini benar dan yang salah, pendapat yang ini haq dan yang ini bathil ketika kita tidak memahami al-Qur’an ini. Umat Islam tatkala mereka meninggalkan dan menjauhi agamanya, meninggalkan al-Qur’annya maka mereka akan awam dengan agama tersebut dan mereka akan menjadi sasaran yang empuk penyebaran aliran dan paham yang menyimpang.
Faktor yang kedua atau sebab yang kedua kenapa negeri kita ini adalah negeri yang sangat subur penyebaran aliran yang sesat karena pemerintah kita kurang serius menindaki seluruh paham dan seluruh aliran yang menyimpang dari agama Islam yang benar. Diberikannya kebebasan setiap orang untuk mengacak-acak dan menodai Islam ini. Sehingga wajar di sana sini kita dengarkan ada pendapat baru, ada paham baru dan berkembang di dunia kaum muslimin tapi tidak ditindaki oleh pemerintah kita ini. Mungkin karena berprinsip bahwa negara kita ini menganut paham demokrasi dan memberikan kebebasan kepada setiap pemeluknya untuk memeluk agama. Betul para hadirin, bahkan dalam undang-undang 45 pasal 29 disebutkan seperti itu bahwa negara memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk agama. Akan tetapi sekali lagi tidak ada jaminan dan tidak ada undang-undang yang mengatur kepada siapa yang ingin mengutak-atik dan ingin menodai kesucian dan kehormatan daripada agama Islam yang dasarnya al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karenanya ini menjadi tanggung jawab kita semua tanpa kecuali untuk bagaimana bisa membendung aliran dan paham yang sesat yang berkembang di negeri kita ini seperti jamur di musim hujan. Karena kalau tidak kita akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala nanti di hari kemudian.
أقول قولي هذا و أستغفر الله لي و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم






الخطبة الثانية

الحمدلله رب العالمين حمدا كثيرا كما امراشهد ان لااله الا الله وحده لا شريك له ادغاما لمن جهد به وكفر واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله سيد الخلائق والبشر اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه الاخيار. امابعد...
فيا عباد الله اتقوا الله ماستطعتم وسارعوا الى مغفرة رب العالمين واعلموا ان الله سبحانه وتعالى امركم بامر بدأ فيه بنفسه و ثنى بملائكته المسبحة بقدسه. فقال تعالى فى كتابه الكريم ان الله وملائكته يصلون على النبي ياايها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد سيد المرسلين وعلى اله واصحابه وقرابته وازواجه وذريته اجمعين وارض اللهم على اربعة الخلفاء الراشدين سيدنا ابى بكر وعمر وعثمان وعلى وعلى بقية الصحابة والتابعين وتابع التابعين ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا ارحم الراحمين. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات و المؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات ياقاضي الحاجات اللهم اصلح امة محمد صلى الله عليه وسلم وفرج عن امة محمد صلى الله عليه وسلم وارحم امة محمد صلى الله عليه وسلم واغفر امة محمد صلى الله عليه وسلم
عباد الله ان الله يأمر بالعدل والاحسان وايتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون فاذكروا الله العظيم يذكركم وادعوه يستجب لكم ولذكر الله اكبر




























Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه و الشكر له على توفيقه و امتنانه، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه و أشهد أن محمدا عبده و رسوله الداعي إلى رضوانه. اللهم صل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
Hadirin yang sama berbahagia…,
Ada beberapa upaya yang kita harus lakukan untuk membendung penyebaran aliran dan paham yang sesat. Yang pertama adalah hendaknya setiap kita diantara kaum muslimin ada upaya dan usaha untuk mempelajari al-Qur’an ini. Mari kita sisihkan waktu kita untuk bisa berinteraksi dengan al-Qur’an dengan akrab. Paling tidak, mari kita menghadiri pengajian-pengajian, taklim-taklim, tarbiyah-tarbiyah yang di dalamnya menjadi sarana untuk bisa memahami al-Qur’an ini dan kita tidak menjadi awam terhadap al-Qur’an yang menyebabkan kita menjadi sasaran empuk penyebaran aliran dan paham yang sesat tadi.
Yang kedua, mari kita mengambil peran di dalam dakwah dan penyebaran Islam ini tanpa kecuali. Karena dakwah merupakan kewajiban terhadap kaum muslimin secara keseluruhan tanpa kecuali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوْا عَنيِّ وَلَوْ آيَةٍ
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Bukhari),
Seluruh kaum muslimin tanpa kecuali hendaknya mengambil bahagian yang jelas, proaktif di dalam mengajak orang lain, membimbing orang lain dan memberikan pencerahan orang lain terhadap Islam ini agar kemudian mereka mengerti dan memahami Islam ini agar kemudian aliran sesat tidak mendapatkan tempat di negeri kita ini.
Dengan usaha yang maksimal dan usaha yang sungguh-sungguh insya Allah kita bisa membendung aliran dan paham yang begitu marak dan banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin di negeri kita hari ini.
Mari kita bersalawat kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya,
أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.
 “Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Baihaqi)

Selasa, 02 Februari 2016

Makalah Perjalanan Dalam Mencari Hadis




Sumanto 

PENDAHULUAN

             Hadis merupakan harta berharga bekal akhirat yang ditinggalkan Rasulullah Saw kepada umatnya. Keberadaan hadis sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting kaum muslimin terdahulu dalam menerima dan menyebarluaskan. Di masa-masa awal islam, generasi pertama yang menerima dan menyebarluaskan hadis adalah generasi para sahabat. Satu-satunya generasi yang memiliki kesempatan emas yang tidak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sesudahnya, yakni bertemu dengan Rasulullah Saw dan menerima pengajaran langsung dari beliau. Generasi para sahabat inilah sebagai pintu gerbang awal perjalanan hadis Rasulullah Saw.[1] Sehingga hal itu menjadi sebab mengapa pembahasan penerimaan dan penyebaran hadis di masa sahabat dalam makalah ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah awal dalam mempelajari proses perjalanan hadis dari masa awal dan seterusnya.
           Melalui makalah ini penulis berharap dapat membantu para pembaca sekalian dalam rangka mencari tahu bagaimana perjalanan di dalam mencari hadits dan periwayatan hadis di masa sahabat. Maka dari itu, atas selesainya makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dosen Pengampu, yang telah menugaskan makalah ini kepada penulis sehingga timbulah dorongan pada diri penulis untuk mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini.






PEMBAHASAN
A.    Perjalanan (rihlah) didalam Mencari Hadits
Didalam kitab Usulu al-hadits disebutkan bahwa perjalanan didalam mencari hadits sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW, sebahagian orang yang mendengarkan ajaran yang baru, langsung pergi ke Rasulullah SAW untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan memahami ajaran Islam, kemudian kembali kekaumnya setelah mengumumkan keislamannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dhomam ibn Tsa’labah.[2]
 Perjalanan dalam mencari hadits dimasa Rasulullah merupakan hal yang umum mulai dari mengenal ajaran agama yang baru. Adapun dimasa sahabat dan Tabi’in sesungguhnya telah banyak perjalanan yang  ditempuh oleh para ulama-ulama didalam mencari hadits yang terperinci, yang telah melewati perjalanan yang jauh untuk mendengarkan hadits dan untuk menguatkan daripada kebenaran hadits tersebut, dan untuk bertemu dengan para sahabat, dan memperoleh hadits darinya, karna para sahabat dimasa Tabi’in-tabi’in berada di beberapa Negara dan mereka memindahkannya kedalam sumber hadits Nabi, maka wajib bagi orang yang ingin mengumpulkan hadits Nabi yaitu berpindah dari Negara yang satu kenegara yang lain, belakangan para sahabat yang mendengar dari perawi-perawinya dan mengambil hukum-hukum dari hadits tersebut, kemudian melakukan perjalanan mengikuti tabi’in kepada tabi’in yang biasanya dan memperoleh hadits dari nya, sehingga   berhasil mengumpulkan hadits dalam sumber yang besar.[3]
Ketelitian serta kehati-hatian dalam menerima sebuah hadits tidak hanya terlihat pada diri para Khulafa’ ar-Rasyidin, tetapi juga pada para sahabat yang lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayub al-Anshari pernah melakukan perjalanan ke Mesir, Hijaz, Basyrah, hanya dalam rangka untuk mencocokan sebuah hadits yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memlihara hadits diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat sebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi’in di Basyrah. Mereka menganggap perlu untuk mengkonfirmasikan Hadits yang diterima dari sahabat yang ada di Basrah dengan sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu hadits itu diterima mereka dari sahabat, para Tabi’in masih merasa perlu untuk mengecek kebenaran Hadits tersebut dari para Sahabat yang lain.[4] 
Dan dari apa yang diriwayatkan didalam perjalanan sahabat, apa yang diceritakan oleh ‘Atha’ ibn abi Riyah ia berkata: Abu Ayub Al-anshari telah keluar menemui ‘Uqbah ibn ‘Amir, menanyakan tentang hadits yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tidak ada seorangpun yang tetap mendengar dari Rasulullah SAW, selain ‘Uqbah, maka ketika Abu Ayub datang kerumah Musallamah ibn Mukhalid al-anshari yaitu gubernur mesir, maka dia memberitahukan segera kepadanya, maka keluarlah ia kemudian berkata : Apa sebabnya engkau datang kepadaku wahai abu Ayub? Maka ia berkata : hadits yang saya dengar dari Rasulullah SAW, tidak ada salah  seorangpun yang tepat mrndengarnya dari Rasulullah SAW selain ‘Uqbah, maka di utuslah orang yang dia tunjuki kerumahnya, ia berkata: pergilah bersama orang yang saya tunjuki kerumah ‘Uqbah, dan beritahukan kepada ‘Uqbah, maka segeralah ‘Uqbah keluar dan berkata: ما جاء بك يا أبا أيوب ؟  maka dia berkata : saya mendengar ada hadits dari Rasulullah SAW tidak ada seorangpun yang mendengar dari Rasulullah SAW selain engkau yaitu tentang” sitrul al-mu’min”,[5] ‘Uqbah berkata: iya saya mendengar Rasulullah SAW telah bersabda:
من ستر مؤمنا في الدنيا على خزية , ستره الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi ‘A’ib(kehinaan) orang yang beriman di dunia, Allah akan menutupi ‘A’ibnya(kehinaan) di akhirat kelak”.
Abu Ayub berkata : engkau benar. Kemudian Abu Ayub pulang ke Madinah, maka dia diberi penghargaan oleh Musammah ibn Mukhalid al-ab’arisy di Mesir.
Sesungguhnya Abu Ayub takut lupa akan hadits tentang”Sitrul al-mu’min”, maka untuk lebih menguatkan dan menetapkan keshohehan hafalannya dari Rasulullah, maka dia melakukan perjalan dari Hijaz ke Mesir.[6]
Subhi As-Shalih(2000),[7] dalam bukunya Membahas Ilmu-ilmu Hadits juga menyebutkan bahwa para perawai tidak merasa puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri, atau dari satu kota saja, baik yang jauh maupun yang dekat dengan tempat tinggalnya. Karena itu, berkelana mencari hadits ke negeri-negeri yang jauh menjadi dambaan utama mereka. Dengan begitu, mereka bias memperoleh ilmu dari sumbernya yang pertama. Mereka juga bias mewujudkan keyakinnannya, yaitu bahwa “mendapatkan kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif dan lebih mengakar.”[8]
Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya ketika berusia 15 tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun ada pula tanpa rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh. Ada yang melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya adalah semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Jelas bahwa julukan pengembara atau pengelana itu pantas di kenakan kepada para ahli hadits terkemuka. Karena mereka melakukan dengan menanggung berbagai kepayahan, merambah kesegenap penjuru untuk mencari hadits, sedikit atau banyak. Pantas kalau mereka mendapatkan penghargaan sepanjang zaman. Tak pelak lagi sebagian dari pengembara itu telah berkali-kali mengelilingi penjuru timur dan barat. Ada diantara mereka mengaku telah menjelajahi bagian timur dan barat tak kurang dari empat kali. Bahkan Orientalis Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara sebagian tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan.[9] 
Melakukan perjalanan (rihlah)[10] dalam mencari sumber Hadits agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya. Hal tersebut juga dilakukan oleh Jabir ibn ‘Abd Allah yang telah melakukan suatu perjalanan jauh dengan waktu tempuh sekitar sebulan untuk menemui ‘Abd Allah ibn Unais, hanya untuk mengecek kebenaran bahwa dia telah mendengar langsung satu Hadits tentang kisas (qishash) dari Nabi SAW. Demikianlah para ahli Hadits, baik dari kalangan sahabat dan demikian juga Ulama Hadits yang datang setelah mereka, manakala mereka mendengar suatu Hadits, mereka berusaha untuk menemui sumber pertama dari Hadits tersebut yang secara langsung mendengarnya dari Nabi SAW selama hal tersebut memungkinkan. Meskipun untuk maksud itu mereka harus mengorbankan harta kekayaan ataupun waktu mereka yang kadang-kadang berbulan-bulan lamanya.
Sahabat juga melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi yang lain yang lebih tsiqat dan terpecaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadits. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu Hadits yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama Hadits umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.[11] Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits untuk  menghindari munculnya kegiatan pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut juga  dalam rangka untuk memelihara kemurnian dan ke shahihan hadits.
B. Masa pencarian hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada ketentuan yang menghalangi mereka bergaul dengan belliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk kerumah Nabi. Dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan para sahabat. Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Berdasarkan kepada kesungguhan meniru dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumah dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi.[12]
‘Umar Ibnu Khathathab, menurut riwayat Al Bukhary menerangkan:
كنت أناوجار لي من الأنصار في أمية بن يزيد وهي من عوالي المدينة وكنا نتناوب النزول على عهد رسول الله صلعم ينزل يوما وأنزل يوما فإذا أنزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي وغيره , وإذا نزل فعل مثل ذلك . فنزل صاحبى الأنصاري يوم نوبته فضرب بابي شديدا فقال : أثم هو ؟ ففزعت فخرجت إليه فقال : لقد حدث أمر عظيم : طلق رسول الله نسائه . قلت : قدكنت أظن أنذلك كائن حتى إذا صليت الصبح , شددت على ثيابي ثم نزلت فدخلت على حفصة . فإذا هي تبكي فقلت : أطلقكن رسول الله صلعم ؟ قالت : لا أدري . ثم دخلت على النبي صلعم , فقلت وأنا قائم : أطلقت نساءك ؟ فقلت : الله أ كبر .
“ Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshor bertempat di kampung Umaiyyah ibn Yazid, sebuah kampung jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu rumahku dengan keras serta berkata : “Adakah ‘Umar di dalam?” aku terkejut lalu keluar mendaptinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul telah mentalak isteri-isterinya. Aku berkata : “Memang sudah kuduga terjadi peristiwa ini.”sesudah saya bersembahyang subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai dikota , saya masuk kerumah Hafshah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya :”Apakah engkau telah ditalak oleh Rasul ?”Hafshah menjawab : “Saya tak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi, sambil berdiri saya berkata :”Apakah anda telah mentalak isteri-isteri anda?”Nabi menjawab :”Tidak”. Dia kala itu pun mengucapkan “Allahu Akbar”.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kekampungnya, mereka segera mengajar kawan-kawannya sekampung.
Sebagai sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi Nabi, hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.
Di beritakan Al-bukhary dalam shahihnya dari ‘Uqbah ibn Al Harits, bahwa seorang wanita menerangkan kepadanya (‘Uqbah), bahwa dia telah menyusui ‘Uqbah dan istirinya. Mendengar itu ‘Uqbah yang dikalah itu berada diMakkah terus berangkat menuju kemadinah.
Sesampainya kepada Nabi, ‘Uqbah pun bertanya tentang hukum Allah mengenai seseorang yang memperisterikan saudara sesusunya, tanpa mengetahuinya, kemudian baru diterangkan oleh yang menyusui mereka. Maka Nabi menjawab kaifa wa qad qila = betapa, padahal telah diterangkan orang.[13]
Mendengar itu ‘Uqbah dengan serta merta menceraikan isterinya, kemudian isterinya itu menikah kembali dengan orang lain.
Kerapkali para sahabat bertanya kepada para  isteri Nabi tentang sesuatu hukum yang berhubungan rapat antara seseorang dengan isterinya karena para isteri Rasul itu mengetahui, betapa Nabi memperlakukan mereka.
Diriwayatkan oleh Malik dari Atha ibn Yassar bahwa seorang lelaki dari sahabat mengirimkan isterinya untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum mencium isteri di kala berpuasa. Maka Ummu Salamah memberitahukan kepada wanita yang bertanya itu, bahwa Nabi pernah menciumnya di kala beliau sedang berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada suaminya. Maka lelaki itu berkata,” Aku bukan seperti Rasulullah. Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya apa yang dikehendaki”. Perkataan ini sampai kepada Nabi, karena itu Nabi marah mendengarnya seraya berkata:[14]
إني أتقاكم لله وأعلمكم بحدوده
“Bahwasanya aku lebih taqwa kepada Allah daripada kamu dan lebih mengetahui hukum-hukumnya”. (hadits ini diriwayatkan juga oleh Asy Syafi’y dalam Ar Risalah.
Rasul juga pernah marah di ketika beliau menyuruh para sahabat untuk mencukur rambut di Hudaibiyah. Mula-mulanya mereka tidak mau menuruti. Sesudah Nabi sendiri mengerjakannya, barulah mereka menurutinya. Apabila Nabi tak dapat berkata terus terang dalam memberikan sesuatu penjawaban, Nabi meminta isterinya menerangkan soal itu dengan sejelas-jelasnya. Pernah seorang wanita datang kepada Nabi bertanya tentang mandi haid. Nabi menjawab:
خذي فرصة ممسكة فتوضئي بها
“Ambillah sepotong kain perca yang sudah dikasturikan, lalu berwudulu’lah dengan dia”.
Mendengar jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi pertanyaannya, “Betapa saya berwudlu dengan itu?” Nabi menjawab seperti sebelumnya. Oleh karena wanita penanya terseebut tidak dapat memahami perkataan Nabi, Nabi meminta ‘Aisya supaya menerangkannya. Maka ‘Aisyah berkata:[15]
خذي قطعة قطن نظيفة فضعيها في مكان الدم, فإن خرجت بيضاء كان ذلك علامة طهرك
“Ambillah sepotong kapas yang bersih, lalu letakkan di tempat darah, jika kapas itu tetap putih, tanda haid sudah berhenti.”(H.R. Bukhory/Muslim dan An Nasa’y dari ‘Aisyah).
Para sahabat menerima hadits (syari’at) dari Rasul SAW. Adakala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
C.                Sahabat-sahabat yang gemar melakukan al-rihlah didalam mencari Hadits
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa para shabat rela menghabiskan waktu mereka, mengorbankan harta benda mereka, demi untuk melakukan perjalanan dalam mencari hadits dan untuk mengecek kebenaran dan keshahihan hadits tersebut, diantara mereka adalah;  Abu Ayub al-Anshary, Abu ad-Darda’, Jabir ibn Abdullah, Sai’id ibn al-Musayyab, Abi QalbahAbdurrahman ibn Mahdi.
KESIMPULAN

Dari pembahsan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya ketika berusia 15 tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun ada pula tanpa rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh. Ada yang melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya adalah semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadits agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya.
Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits untuk  menghindari munculnya kegiatan pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut juga  dalam rangka untuk memelihara kemurnian dan ke shahihan hadits.
Diantara para sahabat yang gemar melakukan perjalanan di dalam mencari hadits ialah:
a.       Abu Ayub al-Anshary
b.      Abu ad-Darda’
c.       Jabir ibn Abdullah
d.      Sai’id ibn al-Musayyab
e.       Abi QalbahAbdurrahman ibn Mahdi



DAFTAR PUSTAKA

M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits,(Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989).
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
                             
M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka       Rizki Putra, 1997).

Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000).
           




                [2] M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits, (Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989), hlm, 129
                [3] M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits, (Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989), hlm, 129
                [4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits,(Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001). Hlm, 113
                [5] M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits, (Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989), hlm, 130
                [6] M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits, (Bairut-Libanon; Darul fikri, 1989), hlm, 130
                [7] Lihat Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits
                [8] Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits,( Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 55
                [9] Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits,( Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 57
                [10] Lihat M. ‘Ajaj Khatib, Usulul Al-Hadist
                [11] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits,(Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001). Hlm,26
                [12] M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 28-29
                [13] M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),hlm, 30
                [14] M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 29-30

                [15] M. Hasbi Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)