Sumanto
PENDAHULUAN
Hadis merupakan harta berharga bekal akhirat yang ditinggalkan Rasulullah Saw kepada umatnya. Keberadaan hadis sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting kaum muslimin terdahulu dalam menerima dan menyebarluaskan. Di masa-masa awal islam, generasi pertama yang menerima dan menyebarluaskan hadis adalah generasi para sahabat. Satu-satunya generasi yang memiliki kesempatan emas yang tidak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sesudahnya, yakni bertemu dengan Rasulullah Saw dan menerima pengajaran langsung dari beliau. Generasi para sahabat inilah sebagai pintu gerbang awal perjalanan hadis Rasulullah Saw.[1] Sehingga hal itu menjadi sebab mengapa pembahasan penerimaan dan penyebaran hadis di masa sahabat dalam makalah ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah awal dalam mempelajari proses perjalanan hadis dari masa awal dan seterusnya.
Melalui makalah ini penulis berharap dapat membantu para pembaca
sekalian dalam rangka mencari tahu bagaimana perjalanan di dalam mencari hadits
dan periwayatan hadis di masa sahabat. Maka dari itu, atas selesainya makalah
ini mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dosen Pengampu, yang telah
menugaskan makalah ini kepada penulis sehingga timbulah dorongan pada diri penulis
untuk mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Perjalanan (rihlah) didalam Mencari Hadits
Didalam kitab Usulu al-hadits disebutkan bahwa perjalanan didalam
mencari hadits sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW, sebahagian orang yang
mendengarkan ajaran yang baru, langsung pergi ke Rasulullah SAW untuk
mendengarkan Al-Qur’an, dan memahami ajaran Islam, kemudian kembali kekaumnya
setelah mengumumkan keislamannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dhomam
ibn Tsa’labah.[2]
Perjalanan dalam mencari
hadits dimasa Rasulullah merupakan hal yang umum mulai dari mengenal ajaran
agama yang baru. Adapun dimasa sahabat dan Tabi’in sesungguhnya telah banyak perjalanan
yang ditempuh oleh para ulama-ulama
didalam mencari hadits yang terperinci, yang telah melewati perjalanan yang
jauh untuk mendengarkan hadits dan untuk menguatkan daripada kebenaran hadits
tersebut, dan untuk bertemu dengan para sahabat, dan memperoleh hadits darinya,
karna para sahabat dimasa Tabi’in-tabi’in berada di beberapa Negara dan mereka
memindahkannya kedalam sumber hadits Nabi, maka wajib bagi orang yang ingin
mengumpulkan hadits Nabi yaitu berpindah dari Negara yang satu kenegara yang lain,
belakangan para sahabat yang mendengar dari perawi-perawinya dan mengambil hukum-hukum
dari hadits tersebut, kemudian melakukan perjalanan mengikuti tabi’in kepada
tabi’in yang biasanya dan memperoleh hadits dari nya, sehingga berhasil mengumpulkan hadits dalam sumber
yang besar.[3]
Ketelitian serta kehati-hatian dalam menerima sebuah hadits tidak
hanya terlihat pada diri para Khulafa’ ar-Rasyidin, tetapi juga pada para
sahabat yang lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayub al-Anshari pernah
melakukan perjalanan ke Mesir, Hijaz, Basyrah, hanya dalam rangka untuk
mencocokan sebuah hadits yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memlihara hadits
diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat
sebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi’in di Basyrah. Mereka menganggap
perlu untuk mengkonfirmasikan Hadits yang diterima dari sahabat yang ada di
Basrah dengan sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu hadits itu
diterima mereka dari sahabat, para Tabi’in masih merasa perlu untuk mengecek
kebenaran Hadits tersebut dari para Sahabat yang lain.[4]
Dan dari apa yang diriwayatkan didalam perjalanan sahabat, apa yang
diceritakan oleh ‘Atha’ ibn abi Riyah ia berkata: Abu Ayub Al-anshari telah
keluar menemui ‘Uqbah ibn ‘Amir, menanyakan tentang hadits yang didengarnya dari
Rasulullah SAW, tidak ada seorangpun yang tetap mendengar dari Rasulullah SAW, selain
‘Uqbah, maka ketika Abu Ayub datang kerumah Musallamah ibn Mukhalid al-anshari
yaitu gubernur mesir, maka dia memberitahukan segera kepadanya, maka keluarlah
ia kemudian berkata : Apa sebabnya engkau datang kepadaku wahai abu Ayub? Maka
ia berkata : hadits yang saya dengar dari Rasulullah SAW, tidak ada salah seorangpun yang tepat mrndengarnya dari
Rasulullah SAW selain ‘Uqbah, maka di utuslah orang yang dia tunjuki
kerumahnya, ia berkata: pergilah bersama orang yang saya tunjuki kerumah
‘Uqbah, dan beritahukan kepada ‘Uqbah, maka segeralah ‘Uqbah keluar dan
berkata: ما جاء بك يا أبا أيوب ؟ maka dia berkata : saya mendengar ada hadits
dari Rasulullah SAW tidak ada seorangpun yang mendengar dari Rasulullah SAW
selain engkau yaitu tentang” sitrul al-mu’min”,[5] ‘Uqbah
berkata: iya saya mendengar Rasulullah SAW telah bersabda:
من ستر مؤمنا في الدنيا على خزية , ستره
الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi ‘A’ib(kehinaan) orang yang beriman di
dunia, Allah akan menutupi ‘A’ibnya(kehinaan) di akhirat kelak”.
Abu Ayub berkata : engkau benar. Kemudian Abu Ayub pulang ke
Madinah, maka dia diberi penghargaan oleh Musammah ibn Mukhalid al-ab’arisy di
Mesir.
Sesungguhnya Abu Ayub takut lupa akan hadits tentang”Sitrul
al-mu’min”, maka untuk lebih menguatkan dan menetapkan keshohehan
hafalannya dari Rasulullah, maka dia melakukan perjalan dari Hijaz ke Mesir.[6]
Subhi As-Shalih(2000),[7]
dalam bukunya Membahas Ilmu-ilmu Hadits juga menyebutkan bahwa para perawai
tidak merasa puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri, atau dari
satu kota saja, baik yang jauh maupun yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Karena itu, berkelana mencari hadits ke negeri-negeri yang jauh menjadi dambaan
utama mereka. Dengan begitu, mereka bias memperoleh ilmu dari sumbernya yang
pertama. Mereka juga bias mewujudkan keyakinnannya, yaitu bahwa “mendapatkan
kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif dan lebih mengakar.”[8]
Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku,
tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya
ketika berusia 15 tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun
ada pula tanpa rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh.
Ada yang melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya
adalah semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh
tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Jelas bahwa julukan pengembara atau pengelana itu pantas di kenakan
kepada para ahli hadits terkemuka. Karena mereka melakukan dengan menanggung
berbagai kepayahan, merambah kesegenap penjuru untuk mencari hadits, sedikit
atau banyak. Pantas kalau mereka mendapatkan penghargaan sepanjang zaman. Tak
pelak lagi sebagian dari pengembara itu telah berkali-kali mengelilingi penjuru
timur dan barat. Ada diantara mereka mengaku telah menjelajahi bagian timur dan
barat tak kurang dari empat kali. Bahkan Orientalis Goldziher, betapapun
ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin masih terpaksa membenarkan
bahwa pengakuan para pengembara sebagian tidak mengada-ada dan
berlebih-lebihan.[9]
Melakukan perjalanan (rihlah)[10]
dalam mencari sumber Hadits agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya
dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya. Hal tersebut juga dilakukan
oleh Jabir ibn ‘Abd Allah yang telah melakukan suatu perjalanan jauh dengan
waktu tempuh sekitar sebulan untuk menemui ‘Abd Allah ibn Unais, hanya untuk
mengecek kebenaran bahwa dia telah mendengar langsung satu Hadits tentang kisas
(qishash) dari Nabi SAW. Demikianlah para ahli Hadits, baik dari
kalangan sahabat dan demikian juga Ulama Hadits yang datang setelah mereka,
manakala mereka mendengar suatu Hadits, mereka berusaha untuk menemui sumber
pertama dari Hadits tersebut yang secara langsung mendengarnya dari Nabi SAW selama
hal tersebut memungkinkan. Meskipun untuk maksud itu mereka harus mengorbankan
harta kekayaan ataupun waktu mereka yang kadang-kadang berbulan-bulan lamanya.
Sahabat juga melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi
dengan riwayat perawi yang lain yang lebih tsiqat dan terpecaya dalam
rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadits. Hal
tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu Hadits yang kandungan maknanya
ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara
umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara
riwayat perawi itu dengan riwayat yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka
para ulama Hadits umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut,
yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.[11]
Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits untuk menghindari munculnya kegiatan pemalsuan
hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut
juga dalam rangka untuk memelihara
kemurnian dan ke shahihan hadits.
B. Masa pencarian hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat
bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada ketentuan yang
menghalangi mereka bergaul dengan belliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah
mereka langsung masuk kerumah Nabi. Dikala beliau tak ada di rumah, dan
berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di
rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata
beliau menjadi tumpuan para sahabat. Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan
pedoman hidup.
Berdasarkan kepada kesungguhan meniru dan meneladani beliau,
berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumah dari masjid, mendatangi
majlis-majlis Nabi.[12]
‘Umar Ibnu Khathathab, menurut riwayat Al Bukhary menerangkan:
كنت أناوجار لي من الأنصار في أمية بن
يزيد وهي من عوالي المدينة وكنا نتناوب النزول على عهد رسول الله صلعم ينزل يوما
وأنزل يوما فإذا أنزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي وغيره , وإذا نزل فعل مثل ذلك
. فنزل صاحبى الأنصاري يوم نوبته فضرب بابي شديدا فقال : أثم هو ؟ ففزعت فخرجت
إليه فقال : لقد حدث أمر عظيم : طلق رسول الله نسائه . قلت : قدكنت أظن أنذلك كائن
حتى إذا صليت الصبح , شددت على ثيابي ثم نزلت فدخلت على حفصة . فإذا هي تبكي فقلت
: أطلقكن رسول الله صلعم ؟ قالت : لا أدري . ثم دخلت على النبي صلعم , فقلت وأنا
قائم : أطلقت نساءك ؟ فقلت : الله أ كبر .
“
Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshor bertempat di kampung
Umaiyyah ibn Yazid, sebuah kampung jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti
datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi.
Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari
Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada hari
gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu rumahku dengan
keras serta berkata : “Adakah ‘Umar di dalam?” aku terkejut lalu keluar
mendaptinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul
telah mentalak isteri-isterinya. Aku berkata : “Memang sudah kuduga terjadi
peristiwa ini.”sesudah saya bersembahyang subuh, saya pun berkemas lalu pergi.
Sesampai dikota , saya masuk kerumah Hafshah. Saya dapati dia sedang menangis.
Maka saya bertanya :”Apakah engkau telah ditalak oleh Rasul ?”Hafshah menjawab
: “Saya tak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi, sambil berdiri
saya berkata :”Apakah anda telah mentalak isteri-isteri anda?”Nabi menjawab
:”Tidak”. Dia kala itu pun mengucapkan “Allahu Akbar”.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mengutus
salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum
agama. Dan sepulang mereka kekampungnya, mereka segera mengajar kawan-kawannya
sekampung.
Sebagai sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi
Nabi, hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.
Di beritakan Al-bukhary dalam shahihnya dari ‘Uqbah ibn Al Harits,
bahwa seorang wanita menerangkan kepadanya (‘Uqbah), bahwa dia telah menyusui
‘Uqbah dan istirinya. Mendengar itu ‘Uqbah yang dikalah itu berada diMakkah
terus berangkat menuju kemadinah.
Sesampainya kepada Nabi, ‘Uqbah pun bertanya tentang hukum Allah
mengenai seseorang yang memperisterikan saudara sesusunya, tanpa mengetahuinya,
kemudian baru diterangkan oleh yang menyusui mereka. Maka Nabi menjawab kaifa
wa qad qila = betapa, padahal telah diterangkan orang.[13]
Mendengar itu ‘Uqbah dengan serta merta menceraikan isterinya,
kemudian isterinya itu menikah kembali dengan orang lain.
Kerapkali para sahabat bertanya kepada para isteri Nabi tentang sesuatu hukum yang
berhubungan rapat antara seseorang dengan isterinya karena para isteri Rasul
itu mengetahui, betapa Nabi memperlakukan mereka.
Diriwayatkan oleh Malik dari Atha ibn Yassar bahwa seorang lelaki
dari sahabat mengirimkan isterinya untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum
mencium isteri di kala berpuasa. Maka Ummu Salamah memberitahukan kepada wanita
yang bertanya itu, bahwa Nabi pernah menciumnya di kala beliau sedang berpuasa.
Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada suaminya. Maka lelaki itu berkata,”
Aku bukan seperti Rasulullah. Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya apa yang dikehendaki”.
Perkataan ini sampai kepada Nabi, karena itu Nabi marah mendengarnya seraya
berkata:[14]
إني أتقاكم لله وأعلمكم بحدوده
“Bahwasanya aku lebih taqwa kepada Allah
daripada kamu dan lebih mengetahui hukum-hukumnya”. (hadits ini diriwayatkan juga oleh Asy Syafi’y dalam Ar Risalah.
Rasul juga pernah marah di ketika beliau menyuruh para sahabat
untuk mencukur rambut di Hudaibiyah. Mula-mulanya mereka tidak mau menuruti.
Sesudah Nabi sendiri mengerjakannya, barulah mereka menurutinya. Apabila Nabi
tak dapat berkata terus terang dalam memberikan sesuatu penjawaban, Nabi
meminta isterinya menerangkan soal itu dengan sejelas-jelasnya. Pernah seorang
wanita datang kepada Nabi bertanya tentang mandi haid. Nabi menjawab:
خذي
فرصة ممسكة فتوضئي بها
“Ambillah sepotong kain perca yang sudah
dikasturikan, lalu berwudulu’lah dengan dia”.
Mendengar jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi
pertanyaannya, “Betapa saya berwudlu dengan itu?” Nabi menjawab seperti
sebelumnya. Oleh karena wanita penanya terseebut tidak dapat memahami perkataan
Nabi, Nabi meminta ‘Aisya supaya menerangkannya. Maka ‘Aisyah berkata:[15]
خذي
قطعة قطن نظيفة فضعيها في مكان الدم, فإن خرجت بيضاء كان ذلك علامة طهرك
“Ambillah sepotong kapas yang bersih, lalu
letakkan di tempat darah, jika kapas itu tetap putih, tanda haid sudah
berhenti.”(H.R. Bukhory/Muslim dan An Nasa’y dari ‘Aisyah).
Para sahabat menerima hadits (syari’at) dari Rasul SAW. Adakala
langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari
Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi
menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala
tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima
dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka
sendiri malu untuk bertanya.
C.
Sahabat-sahabat yang gemar melakukan al-rihlah didalam
mencari Hadits
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa para shabat rela
menghabiskan waktu mereka, mengorbankan harta benda mereka, demi untuk
melakukan perjalanan dalam mencari hadits dan untuk mengecek kebenaran dan
keshahihan hadits tersebut, diantara mereka adalah; Abu Ayub al-Anshary, Abu ad-Darda’, Jabir
ibn Abdullah, Sai’id ibn al-Musayyab, Abi QalbahAbdurrahman ibn Mahdi.
KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Perjalanan
mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan
waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki. Ada yang melakukannya ketika berusia 15
tahun dan ada 20 tahun. Ada yang dengan susah payah, namun ada pula tanpa
rintangan berarti. Ada yang perjalanannya terus bertambah jauh. Ada yang
melakukannya dengan perhatian dan kesadaran bahwa tujuan perjalanannya adalah
semata-mata untuk mencari hadits. Ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh
tahun terus-menerus mereka kadang-kadang disebut pengembara atau pengelana.
Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadits
agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran
riwayat tersebut melaluinya.
Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Hadits
untuk menghindari munculnya kegiatan
pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh para ulama tersebut
juga dalam rangka untuk memelihara
kemurnian dan ke shahihan hadits.
Diantara para sahabat yang gemar melakukan perjalanan di dalam
mencari hadits ialah:
a.
Abu
Ayub al-Anshary
b.
Abu
ad-Darda’
c.
Jabir
ibn Abdullah
d.
Sai’id
ibn al-Musayyab
e.
Abi
QalbahAbdurrahman ibn Mahdi
DAFTAR PUSTAKA
M. ‘Ajaj al-Khatib, Usulul al-Hadits,(Bairut-Libanon; Darul
fikri, 1989).
Nawir Yuslem, Ulumul
Hadits, (Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
M. Hasbi
Ashidiqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra, 1997).
Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta;
Pustaka Firdaus, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar