Makalah Hadis Maudu’i
Oleh: Sumanto
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Masalah hadits maudhu
berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah
Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang
tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu.
Akibat perpecahan politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits maudhu untuk
memperkuat golongannya masing-masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah satuanya adalah
mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi dalam keberadaannya. Suatu
pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya dengan
beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara
langsung.
Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang dituntut
untuk mengkaji dan memahami polemik problematika umat yang salah satunya
ditimbulkan dari adanya hadits maudhu.
2.
Rumusan masalah
a.
Apa yang dimaksyud dengan hadits maudhu?
b.
Mengapa muncul hadits maudhu?
c.
Bagaimana realitas hadis maudhu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
hadits Maudu’
Maudu’ berasal dari isim
maf’ul dari وضع
يضع وضعاmenurut bahasa
seperti (meletakan atau minyimpan).[1] Sedangkan menurut istilah hadits maudu’ adalah hadits yang dibuat-buatatau
diciptakan atau didustakan atas nama nabi.[2]
Dan para ahli hadits mendifinisikan
hadits maudu’ adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ إِلَى رَسُوْلِ اللّه
صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلاَقًا وَ كِذْبًا مِمَّا لَمْ
يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أَوْ يُقَرَّهُ
“hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan [3]
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ
الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زوْرًا
وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“hadits yang diciptakan
dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbahkan kepada
Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun tidak”
Dari pengertian diatas
tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan maupun
taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat
islam,hadits maudhu’ disebut juga dengan Hadits palsu.[4]
B. Sejarah
Munculnya Hadits Maudhu
Masuknya secara masal
penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan dari keberhasilan dakwah
islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor
munculnya hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka
keislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang
mennganut agama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada
waktu itu. Golomngan ini kita kenal dengan kaum Munafik.[5]
Golongan tersebut senantiasa
menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasa menunggu peluang yang
tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-orang islam.
Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan
benih-benih fitnah yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya
menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’,
seorang yahudi yang menyatakan telah memeluk Islam.
Dengan bertopengkan
pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah
kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari
pada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Hal itu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw.
Lalu, untuk mendukung propoganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu’
yang artinya “ setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima mwasiatku
dalahali”.
Namun penyebaran hadits
Maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama
yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatu kepalsuan suatu
hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi
SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits
secara tidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap
Rasulullah dan sebagian shahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik
antara umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan
tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan hadits.
C. Faktor-faktor
penyebab munculnya Hadits maudhu’
Terdapat beberapa faktor
tentang penyebab hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut:
1. Pertentangan
politik dalamm soal pemilihan khalifah
Kejadian ini timbul
sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak. Pada
masa itu Umat Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Diantara
golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka
membuat hadits palsu, yang pertama yang paling banyak membuat hadits
Maudhu’ adalah golongan Syiah dan Rafidhah.[6]
Diantara hadits-hadits
yang dibuat golongan syiah adalah:
مَنْ اَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى
اَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِي
عِلْمِهِ وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي عِبَادَتِهِ
فَلْيَنْظُرْ إِلَى عَلِيِّ
“ Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang
ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat
Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya,
ingin melihat isa tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali.
إِذَ رّأَيْتُمْ
مُعَاوِيَهَ فَاقْتُلُوْهُ
Apabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah
dia.
Gerakan-gerakan orang
syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat
dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat-buat hadits-hadits palsu. Contoh
hadits palsu
مَا فِى
الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ مَكْتُوْبٌ عَلَى كُلِّ وَرَقَةٍ مِنْهَا: لاَإِلَهَ
إِلاَّ اللَّه مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّه, أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ, عُمَرُ
الْفَارُوْقُ, عُثْمَانُ ذُوْ النُّوْرَيْنِ.
Tak ada satu pohon pun daklam syurga, melainkan
tertulis pada tiap-tiap dahannya: la ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Abu
bakar Ash-Shiddieq, Umar Al-faruq, dan Utsman Dzunnuraini.
Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat
pula hadits palsu yang menertangkan keutamaan Muawiyyah, diantaranya:
اَلأُمَنَاءُ
ثَلاَثَةٌ: أَنَا وَجِبْرِيْلُ وَ مُعَاوِيَةُ
Orang yang terpercaya itu
ada tiga, yaitu Aku, Jibril Dan Muawwiyah.
2.
Adanya Kesengajaan dari pihak lain untuk merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah dari
golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap
agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara
terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah
besar hadits Maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam.[7] Sejarah
mencatatAbdullah Bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk
Agama Islam. Oleh sebab itu, dia berani menciptakan hadits Maudhu’ pada saat
masih banyak sahabat utama masih hidup. Diantara hadits Maudhu’ yang diciptakan
oleh orang-orang zindiq tersebut, adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا
عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَ يُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Tuhan kami turunkan dari langit pada sore hari, di Arafah dengan bekendaraan
Unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan
memeluk orang-orang yang sedang berjalan.[8]
النَّظْرُ إِلَى
الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادّةٌ
Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah.
Tokoh-tokoh terkenal yang
membuat hadits Maudhu’ dari kalangan Zindiq, adalah:
a) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4.000
hadits Maudhu tentang hukum halal-haram.
b) Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu
Ja’far Al-Mansur
c) Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin Abdillah.
3. Mempertahankan
Mahzab dalam masalah Fiqh dan masalah Kalam
Mereka yang fanati
terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat mengagkut
kedua tangan shalat, membuat hadits Maudhu’sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ
يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam shalat,
tidak sah shalatnya.
4. Membangkitkan
gairah beribadah untuk Mendekatkan diri kepada Allah
Mereka membuat
hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah. Melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits
yang dibuat oleh Nuh ibn Maryam, seorang tokoh hadits maudhu,tentang keutamaan
Al-Qur’an. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “
Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat
hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.
5. Menjilat Para
Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.
Seperti kisah Ghiyats bin
Ibrahim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul mukminin Al-Mahdi, yang sedang
bermain merpati. Lalu iya mentyebut hadits dengan sanadnya secara
berturut-turut sampai kepada nabi Saw., bahwasanya beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ
إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah,
ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang bersayap.
Ia menambahkan kata, ‘atau
burung yang bersayap’, untuk meyenagkanAl-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya
sepuluh dinar. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa
tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu
memerintahkanuntuk menyembelih mengerti itu.
D. Ciri-ciri Hadits
Maudhu’
1. Ciri-ciri yang
terdapat pada Sanad
a) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada
seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia
b) Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru
tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an,
maka dijawab: “tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan
tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka
hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh
perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”[9]
c) Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu,
misalnya ada pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru,
padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah
guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku
bahwa ia menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu
Hibban bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250
H.” Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245
H.”
d) Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits
maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia
berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati yang
berkata:
لاَ سَبَقَ
إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah,
mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au
janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi
memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW,
lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.
2. Ciri-ciri yang
terdapat pada Matan
a) Keburukan susunan lafadznya. Ciri ini akan diketahui setelah
kita mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan
susunan kata, mana yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak
mungkin keluar dari mulut Rasulullah SAW.
b) Kerusakan maknanya.
1) Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
اَنَّ
سَفِيْنَةَ نَوْحٍ بِا لْبَيْتِ سَبْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ بِالْمَقَامِ
رَكْعَتَيْنِ
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling
ka’bah dan bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.
2)
Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan,
seperti Hadits:
لاَيُوْلَدُ
بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang
ada padanya keperluan bagi Allah.
3) Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ
شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu penawar bagi penyakit.
4) Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang
ditetapkan akal kepada Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari
serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut
ini:
إِنَّ الَّلهَ
خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia
memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari
kuda itu.
5)
Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits
yang menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq mempunyai panjang tigab ratus hasta.
Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata: “ketika topan terjadi, air
hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukan tangannya kedalam
laut, lalu membakar ikan yang diambilnya kepanas matahari yang tidak
seberapa jauh dari ujung tangannya.
6) Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal
sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ
الْأَبْيَضُ حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.
7) Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan
kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا
لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ إِلَى سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh
turunan.
Makna hadits diatas bertentangan
dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
وَلاَتَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang
lain.
Ayat diatas menjelaskan
bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orng lain. Seorang anak
sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
8) Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap
perbuatan yang kecil. Contohnya:
مَنْ وُلِدَ
لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا، كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan
tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung
yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang
dapat memintakan ampun kepadanya.
E. Hukum
membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’
Umat Islam telah sepakat
bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja
adalah haram secara mutkaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits itu
palsu. Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada
orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau
membacanya), tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu
sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut
karena tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi, sesudah mendapatkan
penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah
hadits palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan,
sedangkan dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya tidak
boleh.
F. Kitab-kitab yang
memuat hadits maudhu’
Para ulama muhaditsin,
dengan menggunakan berbagai kaidah studi kritis hadits, berhasil mengumpulkan
hadits-hadits maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak, di
antaranya;
1. Al-Maudhu’
Al-Kubra, karya Ibn Al-jauzi (ulama yang paling awal menulis dalam ilmu
ini).
2. Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti (Ringkasan Ibnu
Al-jauzi dengan beberapa tambahan).
3. Tanzihu
Asy-Syari’ah Al-marfu’ah an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya
Ibnu Iraq Al-kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifak, karya Al-albani
G. Cara mengetahui
hadits maudhu
a) Adanya pengakuan dari pembuatannya
b) Maknanya rusak, dalam arti bertentangan dengan alqur’an, hadits
mutawatir dan hadits shahih
c) Matannya menyebutkan janji yang besar untuk perbuatan kecil.
d) Rawinya pendusta.
H. Upaya
Pengenalan Matan Hadis
Suatu
matan Hadis yang sampai ke tangan kita sangat berkaitan dengan sanad nya,
sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat. Oleh
karena itu penelitian terhadap matan juga diperlukan, karena tidak hanya adanya
keterkaitan dengan sanad, tetapi karena adanya periwayatan Hadis secara makna.
Penelitian
matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan semantik dan dari segi
kandungan Hadis.[16]Bahwa penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak
mudah untuk kita lakukan, karena matan Hadis yang sampai ke tangan mukharrij
nya masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dan latar
belakang budaya serta kecerdasan, sehingga selanjunya adalah menyebabkan
terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah.
Meskipun demikian, pendekatan bahasa juga sangat diperlukan, karena bahasa Arab
lah yang digunakan oleh Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai Hadis selalu dalam
susunan yang baik dan benar.
Dan
dari segi kandungan Hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Oleh karenanya ke shahih an matan Hadis
dapat di lihat dari sisi rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam
disamping dari sisi bahasa.Namun pada umumnya, dalam penelitian (kritik matan)
dilakukan perbandingan-perbandingan, seperti : memperbandingkan antara Hadis
dengan Alquran, Hadis dengan Hadis dan sebagainya.
Perbandingan
antara Hadis dengan Alquran
Dalam
hal ini yang diteliti adalah kesesuaian antara matan Hadis dengan Alquran. Apabila
matan suatu Hadis bertentangan dengan ayat Alquran dan keduanya tidak mungkin
dikompromikan, dan tidak dapat pula diketahui kronologi datangnya, seperti,
mana yang datang duluan dan mana yang kemudian sehingga dapat dijadikan dasar
dalam penetapan nash, serta keduanya juga tidak mengandung takwil, maka Hadis
tersebut tidak dapat diterima dan dinyatakan sebagai Hadis dhaif.
Hadis-hadis
yang berkemungkinan mengandung pertentangan dengan Alquran meliputi
bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, pembalasan amal perbuatan manusia
dan masalah-masalah ke akhiratan. Contoh Hadis tersebut adalah yang
diriwayatkan Abu Dawud dari Shalih:
و لد الزنا شر الثلا ثة “ Anak
zina adalah salah satu dari tiga keburukan “
Hadis tersebut
ditolak karena karena kandungan hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah
SWT dalam al Quran surat al An’am ayat 164 :
“ Seorang yang membuat dosa kemudharatannya tidak lain hanyalah
kembali kepadadirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain “
Sehingga
para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa hadis Abu Hurairah diatas adalah
tidak shahih. Perbandingan Beberapa Riwayat Tentang Suatu Hadis, Yaitu
Perbandingan Suatu Riwayat dengan Riwayat Lain. Caranya adalah dengan
membandingkan antara beberapa riwayat yang berbeda mengenai suatu Hadis. Dengan
cara ini seorang kritikus akan dapat mengetahui beberapa hal, yaitu :
1. Adanya
idraj, yaitu lafadz Hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang disisipkan
oleh salah satu dari perawinya, baik perawi yang berasal dari kalangan sahabat
atau yang lainnya
2. Adanya
idhthirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih tehadap salah satunya.
3. Adanya al
Qalb, yaitu pemutarbalikan matan Hadis, hal ini terjadi karena tidak dhabit nya
salah seorang perawi dalam hal matan Hadis. Sehingga dia mendahulukan atau
mengakhirkan lafadz yang seharusnya tidak demikian atau ada pengubahan (tashif
dan tahrif) yang merusak matan Hadis.
4. Adanya
penambahan lafazh dalam sebagian riwayat atau disebut dengan ziyadah al tsiqat.
Perbandingan
Matan Hadis denngan Hadis Yang lainnya.
Para
ulama Hadis telah sepakat bahwa tidak diterimanya suatu Hadis yang bertentangan
dengan Hadis yang telah mempunyai status yang tetap dan jelas (al Sharihah al
Tsabithah), bahwa sabda Nabi SAW tidak bertentangan antara yang satu dengan
yang lainnya, oleh karena itu apabila ditemukan pertentangan antara satu sabda
Nabi SAW dengan sabda beliau yang lain maka dalam hal ini pasti terjadi suatu kekeliruan
dalam penukilannya atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda
atau perbuatan Nabi tersebut, atau karena periwayatan dengan makna yang jauh
menyimpang dari teks aslinya atau karena perawi merafa’ kan (menyandarkan
kepada Nabi SAW) sesuatu yang bukan merupakan sabda Nabi SAWزUntuk mengatasi (menolak ) riwayat seperti tersebut diatas maka
terlebih dahulu terpenuhi dua syarat berikut :
1. Apabila
kedua Hadis tersebut dapat dikompromikan tanpa adanya kesan pemaksaan maka
keduanya dapat dijadikan hujjah. Apabila tidak dapat dikompromikan maka harus
dilakukan tarjih, dengan menentukan mana Hadis yang kuat (marjuh) dan mana yang
lemah (rajih).
2. Melihat
salah satu Hadis yang sifat periwayatannya mutawatir, apabila telah jelas
status Hadis tersebut maka dapat dijadikan sebagai sandaran dibandingkan Hadis
yang status periwayatannya kurang jelas. Perbandingan Matan Hadis Dengan Berbagai Peristiwa Yang
Dapat Diterima Akal Sehat, Panca Indera atau Berbagai Peristiwa Sejarah
Apabila
matan Hadis bertentangan dengan akal sehat, pengamatan panca indera dan
berbagai fakta sejarah yang kejadiannya tidak jelas maka matan Hadis tersebut
tidak dapat dijadikan hujjah. Contoh hadis yang bertentangan dengan akal sehat,
dirawikan adalah :
عن ابي هر يرة قالي قال رسول الله لا يد خل الفقر بيتا فيه اسمى :
Contoh Hadis
yang bertentangan dengan pengamatan panca indera, dirawikan at Tirmidz adalah :
عن
ابن عباس ان رسول الله قال الحجر السود من الجنة وهوا اشد بياصا من اللبن فسودته
خطايا بنى ادم
Contoh Hadis yang
bertentangan dengan fakta sejarah, dirawikan al Hakim adalah :
عن
على رضى الله عنه قال عبدت ا لله مع رسول الله سبع سنين قبل ان يعبده احد من هذه
الامة
Para
ulama Hadis sepakat menolak matan Hadis tersebut karena bertentangan dengan
fakta sejarah sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Dzahabi, bahwa setelah Nabi
SAW menerima wahyu kemudian beliau langsung menyampaikannya kepada Khadijah,
Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah dan juga Ali. Oleh Karena itu mereka semuanya
masuk Islam dalam waktu yang hampir berdekatan, tidak hanya seorang Ali sendiri
saja yang menerimanya pada waktu itu.
BABIII
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian hadits maudhu mempunyai
bermacam-macam pendapat, walaupun demikian dapat ditarik kesimpulah bahwa
hadits maudhu adalah hadis palsu yang dibuat oleh seseorang dan disandarkan
kepada nabi Muhammad saw. Adapun latar belakangnya hadits maudhu tersebut
hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap suatu golongan tertentu.
Hadits maudhu dapat diidentifikasi
keberadaannya dengan mengetahuinya berdasarkan metode-metode tertentu, misalnya
mengetahui ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matannya.
Menyikapi terhadap adanya hadits maudhu sangat
beragam, ada sekelompok orang yang menyikapinya dengan menerima tanpa
pertimbangan tertentu, ada pula yang menerimanya dengan berbagai catatan
tertentu, bahkan ada pula yang tidak menerimanya sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah Abu Ghuddah, lamhat
Min Tarikh As-Sunnah wa Ulum Al-Hadits
Fathur Rahman, Ikhtisar
Musthalahahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974
Drs. Munzier suprapto. M.
A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada,
Jakarta, 1993
Drs. M. Agus Solahudin, M.
Ag, dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia,
2009
Khusniati Rofiah, studi
ilmu Hadits, stain po prees, bandung, 2010
Mahmud abu rayah,
adlwa’ ‘ala sunnah al muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Mekah, 1997
Mahmud At-Tahhan, Tafsir
Musthalah Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979
M. ‘Ajjaj Al-Khatib.
Ushul Al-Hadits. Terj. H. M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya
Media Pratama. 1997
M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987
Subhi as-Salih, ‘ulum
al-hadits wa Mustalahahuh, Dar al-ilm al-malayin, 1997
[1] Munzier suprapto. M. A,
dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada, Jakarta,
1993, hal, 191
[4] M. ‘Ajjaj Al-Khatib. Ushul Al-Hadits. Terj. H. M. Qodirun dan
Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama. hal, 352.
[6] M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta:
Bulan Bintang, 1987. hal 246.
[9] M. Agus Solahudin, M. Ag,
dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009,
hal. 182