Pemikiran Ahmad Dahlan
Oleh: Sumanto
A.
Pendahuluan
Pada awal abad ke-20,[1]
dunia pendidikan Islam masih ditandai oleh adanya system pendidikan yang
dikotomis antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Di satu segi terdapat
madrasah yang mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum,
dan di satu sisi terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama.
Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama
jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat Islam berada dalam
kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikanya yang tradisional.
K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pemabaru pendidikan Islam
dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut di atas. Dialah
tokoh yang berusaha memasukan pendidikan umum ke dalam kurikulum madrasah, dan
memasukan pendidikan agama kedalam lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan,
K.H. Ahmad Dahlan menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa
kebangsaan dan kecintaan kepada tanah air. Dialah tokoh yang telah berhasil
mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern ke seluruh pelosok
tanah air melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, dan hingga kini
makin menunjukan eksitensi secara fungsional. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini pemakalah akan mencoba untuk menelusuri torehan sejarah tokoh pembaharuan
Islam, yang telah menyumbangkan pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan Islam
pada masa lampau hingga kini. Salah satu tokoh yang senantiasa gigih dan ulet serta
istiqomah terhadap jihadnya adalah K.H. Ahmad Dahlan.
K.H. AHMAD DAHLAN;
GERAKAN SOSIAL DAN
PENDIDIKAN
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Kehidupan K. H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1868 di
Kauman Yogyakarta dan wafat tanggal 23 Februari 1923. Nama kecilnya adalah
Muhammad Darwis.[2]
Ayahnya bernama KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid
Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya Siti Aminah (puteri dari H. Ibrahim
yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat
dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di
Tanah Jawa.
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin
KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin
Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen)
bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.[3]
Permulaan pendidikan Muhammad Darwis adalah memperoleh
pengajaran dan pendidikan membaca (mengaji) al-Qura’an dari ayahnya, K.H. Abu
Bakar di rumah sendiri, dan pada usia 8 tahun dia sudah lancar dan tamat
membaca al-Qur’an. Seiring dengan perkembangn usia yang semakin bertambah, M.
Darwis yang sudah tambah remaja mulai belajar agama Islam tingkat lanjut. Tidak
sekedar membaca al-Qur’an, dia jug belajar fiqih dari K.H. M. Soleh dan belajar
nahwu dari K.H. Muhsin. Selain itu M. Darwis juga belajar ilmu agama Islam
lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. M. Nuh. Ia juga
belajar ilmu hadis kepada K.H. Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu
qira’ati dan falak kepada K.H. Dahlan Semarang.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah
selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888,
beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903,[4]
beliau bertolak kembali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua, dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh
Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup
berbagai disiplin, menjadikan beliau tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam
pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan. Rasa ingin tahu yang
cukup besar mendorong Ahmad Dahlan memanfaatkan waktu untuk belajar. Ketika
menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau memanfaatkan waktunya setelah
menunaikan umrah untuk bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab.
Ia juga rajin belajar menambah ilmu antara lain kepada K.H. Mahfud Termas, K.H.
Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab
di Masjidil Haram. Ia juga belajar pada Imam Syafi’I Sayyid Bakri Syata’ dan
mendapat sebutan nama Haji Ahmad Dahlan.[5]
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan
Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah,
janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu
Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau
pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
2. Pemikiran Ahmad Dahlan mengenai masalah sosial
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan
ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah
menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti
arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan
ini ditentang oleh masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk
menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2
derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan
menghapus garis-garis itu.[6]
K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena
peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya.
Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain
dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa
yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal
pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan
dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Pendirian organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November
1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H. Turut memoercepat pendirian sekolah-sekolah
baru dengan model yang baru. Selain membengun sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
dipimpin oleh Ahmad Dahlan juga mengembangkan program pendidikan agama untuk
mesyarakat umum, baik yang dilakukan melalui pengajian-pengajian maupun
kursus-kursus yang lebih formal. Misalnya, Mauhammadiyah menyelenggarakan
kursus pendidikan agama untuk siswa sekolah pemerintah yang tidak mendapatkan
pendidikan agama. Muhammadiyah juga menyelanggarakan pengejaian-pengajian
mingguan atau bulanan disamping menjalankan usaha penerbitan yang berkaiatan
dengan persoalan-persoalan agama.
Selain melakukan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut
diatas, Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam pembeinaan kehidupan beragama yang
juga berkaiatan erat dengan bidang pendidikan dalam ari informal tapi actual,
karena hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Semangan dan cita-cita
pembaharuannya dalam bidang keagamaan telah tertanam sejak ia kembali dari
Mekkah pada kunjungannya yang pertama. Ia mamperkenalkan cita-citanya mulai
dari pembetulan posisi kiblat, kemudian mengorganisasi kawan-kawannya di daerah
Kauman untuk melakukan kerja sosial dalam pemperbaiki kesehatan lingkungan
seperti membersihkan jalan dan parit.
Tahun
1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya
diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian
sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan
menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal.
Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama
kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20
orang.
Tahun
1914 pengakuan sah Muhammadiyah keluar
dari pemerintah Belanda, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu
yaitu Sapatresna. yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas
pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus
peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban
berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
Tahun
1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Tahun 1922 didirikan
Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisyiyah kalangan muda.
Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) diketuai Haji
Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal
Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at
sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat
simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang
bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan
yang sedang dilanda musibah.
Tahun
1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok
Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan
pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji.
Selain
itu mendirikan pula mushala yang pertama di Indonesia untuk kaum wanita Untuk
mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya
sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali
melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan
Muhammadiyah.
Tahun
1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa.
Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School
(Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School
(Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo). Pada tahun 1921 Muhammadiyah
sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta),
Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur).
Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta,
Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka).
Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM)
sejak tahun 1914. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun
1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk
menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping
karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari
tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan
tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan
nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini. Sesudah peristiwa itu,
pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan
dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan
menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua
tahun. Adapun pokok-pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai berikut:[7]
1. Ulama adalah orang yang berilmu dan
hatinya hidup (kreatif), serta mengembangkan ilmunya dengan ikhlas.
2. Untuk mencari kebenaran, orang tidak
boleh merasa benar sendiri.
3. Bersediah merubah pikiran dengan
sikap terbuka.
4. Dalam mencapai tujuan hidup, manusia
harus bekerjasama dan dengan mempergunakan akal.
5. Cara mengambil keputusan yang benar
harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi,
membandingkan, menimbang, dan kemudian memutuskan sesuai akal fikiran.
6. Berani mengorbankan harta-benda
untuk membela dan menegakan kebenaran.
7. Mempelajari teori-teori pengetahuan
dan keterampilan melalui proses bertingkat.
3. Pemikiran Ahmad
Dahlan mengenai masalah Pendidikan
Menurut Ahmad dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan
umat Islam dari pola berfikir yang yang statis menuju pada pemikiran yang
dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya
ditempatkan pada skala proritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka
hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki analisis yang tajam dalam
memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan
kemajuan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, memahami ajaran
Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin Ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan
melalui pendidikan.[8]
Kata Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia Muslim yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan umat. Menurutnya, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur’an dan
Hadits, membaca, menulis, dan menggambar. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa
pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mencapai kemajuan materill. Oleh karena itu, pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu
hidup.[9]
4. Faktor yang melatar belakangi pemikiran Ahmad Dahlan
Adapun faktor yang melatar belakangi pemikirannya,
yaitu berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat
Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan.
Hal ini juga dilatar belakangi juga oleh politik Kolonial Belanda yang sangat
merugikan bangsa Indonesia.[10]
5. Gerakan Pembaharuan yang dilakukan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan
masyarakat zamannya mempunyai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun
keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang
berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai
dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai
tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak
menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena
merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan
meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan
(penyekutuan Tuhan).[11]
Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada
(bid’ah). Ia juga menentang kepercayaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang
Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.[12]
Sementara itu, dalam upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan
pendidikan sebagaimana tersebut diatas dilaksanakan lebih lanjut melalui
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, salah satu kegiatan atau program
unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum
muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata
pelajaran umum.[13]
Disamping itu, cintanya kepada ilmu juga ditunjukkan oleh
peristiwa yang terjadi pada tahun 1892. pada tahun tersebut seseorang memberi
uang sebesar 500 gulden dengan maksud untuk modal berniaga. Namun demikian,
uang yang semestinya untuk modal kerja itu beliau gunakan untuk membeli buku
dan kitab.
Ketika ayahnya wafat, tahun 1896 M, K.H. Ahmad Dahlan
menjabat sebagai Khatib masjid besar Kesultanan Yogyakarta, yang diberi tugas :
1.
Khutbah Jum’at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.
2. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu.
3. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
2. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu.
3. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan
kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang
baru kemudian memutuskan sesuai akal pikiran. Keputusan ini juga harus diikuti
dengan etika serta akhlak yang baik berdasarkan hati yang jernih. Bermusyawarah
dalam suatu urusan merupakan perilaku yang dicontohkan Rasulullah dalam
mengambil keputusan. Bernusyawarah mengajarkan kita untuk memanfaat potensi
serta pemikiran orang lain.
Semangat untuk menggali ilmu disetiap kesempatan yang
dilakukan K.H. Ahmad Dahlan mencerminkan kepribadian yang terbuka dan selalu
merasa bahwa persediaan ilmu yang dimilikinya masih kurang. Beliau juga
berusaha untuk mentransformasikan ilmu kepada orang lain sehingga pengetahuan
terhadap ilmu tersebut semakin terasah. Pekerjaan K.H. Ahmad Dahlan sebagai
Khatib Masjid Besar tidak banyak menyita waktu. Maka beliau memanfaatkan
waktunya untuk berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Dalam perjalanannya beliau
menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi dengan alim setempat serta membicarakan
kondisi masyarakat serta ajaran islam. Hal ini dilakukan beliau untuk
mempelajari kemunduran umat islam dan berusaha untuk mencari solusi
pemecahannya. Sementara pada saat itu telah berjalan misi Katolik dan Zending
Kristen untuk menyebarkan ajarannya.[14]
Dalam perjalanan dan pengalamannya, Dahlan mencoba memahami
realitas kehidupan umat Islam yang pada saat itu memerlukan pembaharuan dan
pencerahan. Dahlan adalah seorang yang gelisah dalam memahami agamanya. Kenapa
Islam yang dianut sebagian besar bangsa Indonesia menunjukkan wajahnya yang
terbelakang, bodoh dan miskin. Padahal, dalam keyakinan dan pemahaman beliau,
Islam adalah agama yang hidup, dinamis dan menggerakkan kehidupan, bukan agama
yang mati dan statis.
Dari kegelisahan religius itu, Ahmad Dahlan kemudian
menemukan jawaban, bahwa karena Islam tidak dikembalikan secara langsung pada
sumbernya yang murni yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dipahami dengan
menggunakan akal pikiran yang sehat melalui ijtihad, untuk kemudian
ditransformasikan ke dalam realitas kehidupan para pemeluknya, maka umat islam
Indonesia akan tetap dalam keadaan serba terbelakang. Karena itu, harus ada
gerakan transformasi sosial struktural dan kultural yang merupakan responsif
kreatif atas realitas zaman yang dihadapi saat itu. Usaha transformasi tersebut
tidak akan berhasil jika tidak ada dekonstruksi atas cara meyakini dan memahami
Islam yang selama itu dipandang jumud (stagnasi) dan dikungkung tradisi.
Responsif kreatif Islam itu kemudian menemukan saluran konkret dan strategis
dalam bentuk karya sosial kemasyarakatan yang sekaligus dipandang merupakan
simpul kemajuan peradaban Islam.
Keinginan K.H. Ahmad Dahlan untuk memiliki sekolah sendiri
dimulai dengan memiliki dua buah meja, lalu dibuatlah dua bangku, tempat duduk
dibuat dari papan bekas kotak kain mori. Papan tulis dibuat dari kain suren.
Setelah selesai diaturlah di ruang tamu yang hanya seluas 2,5 m x 6 m.
Mula-mula Dahlan mendapatkan murid delapan orang dan setiap bulan tambah tiga
orang dan seterusnya sehingga pada awal bulan keenam, muridnya menjadi dua
puluh orang. Dahlan mengajarkan agama dan mendapatkan bantuan guru dari Budi
Utomo untuk mengajarkan ilmu-ilmu sekolah biasa. Sekolah ini diresmikan pada
tanggal 1 Desember 1911 dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat, tetapi hanya
disambut dengan senyum oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin
memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya
lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun
masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.[15]
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan
gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam
membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman
penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan
senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta
keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius.
Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang
sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin
kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa
depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad
Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan
inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih
proporsional.
6. Terobosan dan Gerakan yang dilakukan Ahmad Dahlan
Ketika umur 40 th, K.H. Ahmad Dahlan melakukan trobosan;
yaitu dengan gerakan melalui strategi dakwah, dan ia juga memiliki ketertarikan
tentang organisasi. Pada tahun 1909, beliau bertamu ke rumah Dr. Wahidin Sudiro
Husodo di Ketandan, Yogyakarta. Beliau menanyakan berbagai hal tentang
perkumpulan Budi Utomo dan dan tujuannya. Setelah mendapatkan jawaban beliau berfikir
bahwa Budi Utomo merupakan organisasi yang memiliki visi serta cita-cita yang
sesuai dengan pemikiran beliau, maka beliau menyatakan kesediaan untuk
bergabung menjadi anggota Budi Utomo. Disinilah beliau belajar berorganisasi
dan beliau dimintakan untuk memberikan santapan rohani Islam pada setiap akhir
rapat pengurus. Pada tahun 1910, beliau pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan
Jam’iat Khair Jakarta. Beliau tertarik bergabung dalam perkumpulan ini karena
selain membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab serta bergerak dalam
bidang sosial juga sangat giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di
negara-negara Islam yang telah maju.
Dahlan juga menyampaikan di rapat Pengurus Budi Utomo
keinginan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool di luar jam
sekolah,[16]
yang dikepalai oleh R. Boediharjo yang juga merupakan pengurus Budi Utomo.
Selama setahun beliau mempelajari seluk-beluk penyelenggaraan sekolah, maka
terdoronglah K.H. Ahmad Dahlan ingin memiliki sekolah sendiri yang mengajarkan
ilmu biasa dan agama Islam. Mereka juga menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka
sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh
suatu organisasi yang bersifat permanen.[17]
7. K.H. Ahmad Dahlan Wafat
Pada waktu beliau sakit menjelang wafat, atas nasehat dokter
beliau beristirahat di Tosari, dalam peristirahatan itu beliau tetap bekerja
keras, hingga istri beliau memperingatkan berkali-kali agar beliau beristirahat. Akhirnya beliau menjawab: “Saya
mesti bekerja keras untuk meletakan batu pertama dari amal yang besar ini.
Kalau saya lambatkan atau saya hentikan karena sakitku, tidak ada nanti yang
sanggup meletakan dasar itu. Saya merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi.
Maka jika saya kerjakan lekas yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang datang
kemudian menyempurnakannya”. Beliau wafat umur 55 tahun pada tanggal 23
Pebruari 1923 M.[18]
C. Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968
dan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923. Ia berasal dari keluarga yang
didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar,
seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama
Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta, isrtinya bernama Siti Walidah.
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup
berbagai disiplin, menjadikan beliau tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam
pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan. Rasa ingin tahu yang
cukup besar mendorong Ahmad Dahlan memanfaatkan waktu untuk belajar. Ketika
menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau memanfaatkan waktunya setelah
menunaikan umrah untuk bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab.
Ia juga rajin belajar menambah ilmu antara lain kepada K.H. Mahfud Termas, K.H.
Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab
di Masjidil Haram. Ia juga belajar pada Imam Syafi’I Sayyid Bakri Syata’ dan
mendapat sebutan nama Haji Ahmad Dahlan.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di
Indonesia, ( Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2005).
Abdul
Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, ( 1990).
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, (2005).
Ramayulis & Samsul Nizar,
Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia
Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching, 2010).
Zuhairini dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008).
http://www.hwalfurqon.byethost16.com/index.php/Sejarah/kh-amad-dahlan.html.
[1]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm, 98
[2]
Zuhairini
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008),
hlm, 199.
[4]
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi
Aksara, 2008), hlm, 199
[6]
Zuhairini
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008),
hlm, 200
[8]
Ramayulis
– Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching,
2010), hlm, 194
[9]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, (
Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 102.
[13]
Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 103
[17] Ramayulis – Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam
mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat;
Quantum Teaching, 2010), hlm, 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar