Senin, 09 November 2015

Pemikiran Ahmad Dahlan

Pemikiran Ahmad Dahlan
Oleh: Sumanto
A.    Pendahuluan
Pada awal abad ke-20,[1] dunia pendidikan Islam masih ditandai oleh adanya system pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Di satu segi terdapat madrasah yang mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikanya yang tradisional.
K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pemabaru pendidikan Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut di atas. Dialah tokoh yang berusaha memasukan pendidikan umum ke dalam kurikulum madrasah, dan memasukan pendidikan agama kedalam lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan dan kecintaan kepada tanah air. Dialah tokoh yang telah berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern ke seluruh pelosok tanah air melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, dan hingga kini makin menunjukan eksitensi secara fungsional. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba untuk menelusuri torehan sejarah tokoh pembaharuan Islam, yang telah menyumbangkan pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan Islam pada masa lampau hingga kini. Salah satu tokoh yang senantiasa gigih dan ulet serta istiqomah terhadap jihadnya adalah K.H. Ahmad Dahlan.  




K.H. AHMAD DAHLAN;
 GERAKAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Kehidupan K. H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1868 di Kauman Yogyakarta dan wafat tanggal 23 Februari 1923. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis.[2] Ayahnya bernama KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya Siti Aminah (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.[3]
Permulaan pendidikan Muhammad Darwis adalah memperoleh pengajaran dan pendidikan membaca (mengaji) al-Qura’an dari ayahnya, K.H. Abu Bakar di rumah sendiri, dan pada usia 8 tahun dia sudah lancar dan tamat membaca al-Qur’an. Seiring dengan perkembangn usia yang semakin bertambah, M. Darwis yang sudah tambah remaja mulai belajar agama Islam tingkat lanjut. Tidak sekedar membaca al-Qur’an, dia jug belajar fiqih dari K.H. M. Soleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain itu M. Darwis juga belajar ilmu agama Islam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. M. Nuh. Ia juga belajar ilmu hadis kepada K.H. Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qira’ati dan falak kepada K.H. Dahlan Semarang.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903,[4] beliau bertolak kembali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua, dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin, menjadikan beliau tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan. Rasa ingin tahu yang cukup besar mendorong Ahmad Dahlan memanfaatkan waktu untuk belajar. Ketika menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau memanfaatkan waktunya setelah menunaikan umrah untuk bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Ia juga rajin belajar menambah ilmu antara lain kepada K.H. Mahfud Termas, K.H. Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga belajar pada Imam Syafi’I Sayyid Bakri Syata’ dan mendapat sebutan nama Haji Ahmad Dahlan.[5]
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
2.   Pemikiran Ahmad Dahlan mengenai masalah sosial
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang oleh masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ­tangan dengan memerintahkan menghapus garis-garis itu.[6]
K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Pendirian organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H. Turut memoercepat pendirian sekolah-sekolah baru dengan model yang baru. Selain membengun sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dipimpin oleh Ahmad Dahlan juga mengembangkan program pendidikan agama untuk mesyarakat umum, baik yang dilakukan melalui pengajian-pengajian maupun kursus-kursus yang lebih formal. Misalnya, Mauhammadiyah menyelenggarakan kursus pendidikan agama untuk siswa sekolah pemerintah yang tidak mendapatkan pendidikan agama. Muhammadiyah juga menyelanggarakan pengejaian-pengajian mingguan atau bulanan disamping menjalankan usaha penerbitan yang berkaiatan dengan persoalan-persoalan agama.
Selain melakukan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam pembeinaan kehidupan beragama yang juga berkaiatan erat dengan bidang pendidikan dalam ari informal tapi actual, karena hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Semangan dan cita-cita pembaharuannya dalam bidang keagamaan telah tertanam sejak ia kembali dari Mekkah pada kunjungannya yang pertama. Ia mamperkenalkan cita-citanya mulai dari pembetulan posisi kiblat, kemudian mengorganisasi kawan-kawannya di daerah Kauman untuk melakukan kerja sosial dalam pemperbaiki kesehatan lingkungan seperti membersihkan jalan dan parit.
            Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
            Tahun 1914  pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
            Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Tahun 1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisyiyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
            Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji.
Selain itu mendirikan pula mushala yang pertama di Indonesia untuk kaum wanita Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah.
Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo). Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka). Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini. Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Adapun pokok-pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai berikut:[7]
1.      Ulama adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup (kreatif), serta mengembangkan ilmunya dengan ikhlas.
2.      Untuk mencari kebenaran, orang tidak boleh merasa benar sendiri.
3.      Bersediah merubah pikiran dengan sikap terbuka.
4.      Dalam mencapai tujuan hidup, manusia harus bekerjasama dan dengan mempergunakan akal.
5.      Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi, membandingkan, menimbang, dan kemudian memutuskan sesuai akal fikiran.
6.      Berani mengorbankan harta-benda untuk membela dan menegakan kebenaran.
7.      Mempelajari teori-teori pengetahuan dan keterampilan melalui proses bertingkat.

3.  Pemikiran Ahmad Dahlan mengenai masalah Pendidikan
Menurut Ahmad dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berfikir yang yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala proritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, memahami ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin Ilmu pengetahuan.  Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan.[8]
Kata Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia Muslim yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan umat. Menurutnya, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, dan menggambar. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materill. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.[9]
4. Faktor yang melatar belakangi pemikiran Ahmad Dahlan
 Adapun  faktor yang melatar belakangi pemikirannya, yaitu berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan. Hal ini juga dilatar belakangi juga oleh politik Kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia.[10]
5. Gerakan Pembaharuan yang dilakukan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunyai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan).[11] Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercayaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.[12]
Sementara itu, dalam upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut diatas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, salah satu kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.[13]
Disamping itu, cintanya kepada ilmu juga ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi pada tahun 1892. pada tahun tersebut seseorang memberi uang sebesar 500 gulden dengan maksud untuk modal berniaga. Namun demikian, uang yang semestinya untuk modal kerja itu beliau gunakan untuk membeli buku dan kitab.
Ketika ayahnya wafat, tahun 1896 M, K.H. Ahmad Dahlan menjabat sebagai Khatib masjid besar Kesultanan Yogyakarta, yang diberi tugas :
1. Khutbah Jum’at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.
2. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu.
3.  Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang baru kemudian memutuskan sesuai akal pikiran. Keputusan ini juga harus diikuti dengan etika serta akhlak yang baik berdasarkan hati yang jernih. Bermusyawarah dalam suatu urusan merupakan perilaku yang dicontohkan Rasulullah dalam mengambil keputusan. Bernusyawarah mengajarkan kita untuk memanfaat potensi serta pemikiran orang lain.
Semangat untuk menggali ilmu disetiap kesempatan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan mencerminkan kepribadian yang terbuka dan selalu merasa bahwa persediaan ilmu yang dimilikinya masih kurang. Beliau juga berusaha untuk mentransformasikan ilmu kepada orang lain sehingga pengetahuan terhadap ilmu tersebut semakin terasah. Pekerjaan K.H. Ahmad Dahlan sebagai Khatib Masjid Besar tidak banyak menyita waktu. Maka beliau memanfaatkan waktunya untuk berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Dalam perjalanannya beliau menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi dengan alim setempat serta membicarakan kondisi masyarakat serta ajaran islam. Hal ini dilakukan beliau untuk mempelajari kemunduran umat islam dan berusaha untuk mencari solusi pemecahannya. Sementara pada saat itu telah berjalan misi Katolik dan Zending Kristen untuk menyebarkan ajarannya.[14]
Dalam perjalanan dan pengalamannya, Dahlan mencoba memahami realitas kehidupan umat Islam yang pada saat itu memerlukan pembaharuan dan pencerahan. Dahlan adalah seorang yang gelisah dalam memahami agamanya. Kenapa Islam yang dianut sebagian besar bangsa Indonesia menunjukkan wajahnya yang terbelakang, bodoh dan miskin. Padahal, dalam keyakinan dan pemahaman beliau, Islam adalah agama yang hidup, dinamis dan menggerakkan kehidupan, bukan agama yang mati dan statis.
Dari kegelisahan religius itu, Ahmad Dahlan kemudian menemukan jawaban, bahwa karena Islam tidak dikembalikan secara langsung pada sumbernya yang murni yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dipahami dengan menggunakan akal pikiran yang sehat melalui ijtihad, untuk kemudian ditransformasikan ke dalam realitas kehidupan para pemeluknya, maka umat islam Indonesia akan tetap dalam keadaan serba terbelakang. Karena itu, harus ada gerakan transformasi sosial struktural dan kultural yang merupakan responsif kreatif atas realitas zaman yang dihadapi saat itu. Usaha transformasi tersebut tidak akan berhasil jika tidak ada dekonstruksi atas cara meyakini dan memahami Islam yang selama itu dipandang jumud (stagnasi) dan dikungkung tradisi. Responsif kreatif Islam itu kemudian menemukan saluran konkret dan strategis dalam bentuk karya sosial kemasyarakatan yang sekaligus dipandang merupakan simpul kemajuan peradaban Islam.
Keinginan K.H. Ahmad Dahlan untuk memiliki sekolah sendiri dimulai dengan memiliki dua buah meja, lalu dibuatlah dua bangku, tempat duduk dibuat dari papan bekas kotak kain mori. Papan tulis dibuat dari kain suren. Setelah selesai diaturlah di ruang tamu yang hanya seluas 2,5 m x 6 m. Mula-mula Dahlan mendapatkan murid delapan orang dan setiap bulan tambah tiga orang dan seterusnya sehingga pada awal bulan keenam, muridnya menjadi dua puluh orang. Dahlan mengajarkan agama dan mendapatkan bantuan guru dari Budi Utomo untuk mengajarkan ilmu-ilmu sekolah biasa. Sekolah ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat, tetapi hanya disambut dengan senyum oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.[15]
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius.
Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
6. Terobosan dan Gerakan yang dilakukan Ahmad Dahlan
Ketika umur 40 th, K.H. Ahmad Dahlan melakukan trobosan; yaitu dengan gerakan melalui strategi dakwah, dan ia juga memiliki ketertarikan tentang organisasi. Pada tahun 1909, beliau bertamu ke rumah Dr. Wahidin Sudiro Husodo di Ketandan, Yogyakarta. Beliau menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan dan tujuannya. Setelah mendapatkan jawaban beliau berfikir bahwa Budi Utomo merupakan organisasi yang memiliki visi serta cita-cita yang sesuai dengan pemikiran beliau, maka beliau menyatakan kesediaan untuk bergabung menjadi anggota Budi Utomo. Disinilah beliau belajar berorganisasi dan beliau dimintakan untuk memberikan santapan rohani Islam pada setiap akhir rapat pengurus. Pada tahun 1910, beliau pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jam’iat Khair Jakarta. Beliau tertarik bergabung dalam perkumpulan ini karena selain membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab serta bergerak dalam bidang sosial juga sangat giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju.
Dahlan juga menyampaikan di rapat Pengurus Budi Utomo keinginan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool di luar jam sekolah,[16] yang dikepalai oleh R. Boediharjo yang juga merupakan pengurus Budi Utomo. Selama setahun beliau mempelajari seluk-beluk penyelenggaraan sekolah, maka terdoronglah K.H. Ahmad Dahlan ingin memiliki sekolah sendiri yang mengajarkan ilmu biasa dan agama Islam. Mereka juga menyarankan agar Ah­mad Dahlan membuka sendiri sekolah se­cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi­fat permanen.[17]
7. K.H. Ahmad Dahlan Wafat
Pada waktu beliau sakit menjelang wafat, atas nasehat dokter beliau beristirahat di Tosari, dalam peristirahatan itu beliau tetap bekerja keras, hingga istri beliau memperingatkan berkali-kali agar beliau  beristirahat. Akhirnya beliau menjawab: “Saya mesti bekerja keras untuk meletakan batu pertama dari amal yang besar ini. Kalau saya lambatkan atau saya hentikan karena sakitku, tidak ada nanti yang sanggup meletakan dasar itu. Saya merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan lekas yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang datang kemudian menyempurnakannya”. Beliau wafat umur 55 tahun pada tanggal 23 Pebruari 1923 M.[18]
C.    Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta, isrtinya bernama Siti Walidah.
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin, menjadikan beliau tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan. Rasa ingin tahu yang cukup besar mendorong Ahmad Dahlan memanfaatkan waktu untuk belajar. Ketika menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau memanfaatkan waktunya setelah menunaikan umrah untuk bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Ia juga rajin belajar menambah ilmu antara lain kepada K.H. Mahfud Termas, K.H. Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga belajar pada Imam Syafi’I Sayyid Bakri Syata’ dan mendapat sebutan nama Haji Ahmad Dahlan.





DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT  Raja Grafindo Persada, 2005).
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, ( 1990).
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, (2005).
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching, 2010).
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008).
http://www.hwalfurqon.byethost16.com/index.php/Sejarah/kh-amad-dahlan.html.







[1] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 98
[2] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 199.
[4] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 199
[6] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 200
[7] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, ( 1990) h, 11
[8] Ramayulis – Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching, 2010), hlm, 194
[9] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 102.
                [10] Ramayulis – Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching, 2010), hlm, 193
[13] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 103
[14] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, (2005), h, 94
[15] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 202
[16] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 201
[17] Ramayulis – Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat; Quantum Teaching, 2010), hlm, 192.
[18] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet ke-9, (Jakarta; Bumi Aksara, 2008), hlm, 202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar