Senin, 09 November 2015

Pemikiran Filsafat dalam Islam

Pemikiran Filsafat dalam Islam
Oleh: Suamnto
PENDAHULUAN

            Filsafat bertugas memahami realitas untuk memahami esensinya, asasnya yang fundamental atau apa yang menjadi substansi dasar dari segala realitas, segala yang ada. Upaya memahami realitas diperlukan pemikiran yang mendalam, radikal dan sistematik. Di sini diperlukan keinsafan berpikir. Insaf artinmya: teliti dan teratur menurut prosedur yang jelas.
            Islam memberikan ruang bagi dinamika pemikiran yang melahirkan pemikiran filosofis. Islam sebagai agama bukan semata fenomena sui-generis yang tidak dapat ditelaah dengan sistem pemikiran dan filosof sepanjang sejarahnya. Tugas kita sekarang adalah memelihara dan menelaah pemikiran-pemikiran filosofis para filosof muslim masa lalu. Tetapi dalam telaah pemikiran tersebut bukan hanya dalam hal konsep-konsep substansialnya saja, tetapi yang lebih penting adalah tata-pikir yang digunakan dalam melahirkan konsep itu. Dengan hanya mewarisi konsep-konsep kefilsafatan itu kita memang menjadi kagum dan bangga, tetapi kita tidak bisa bersikap kritis untuk melakukan rekonstruksi pemikiran yang dibutuhkan untuk saman sekarang. Inilah masalah yang kami pandang mendesak untuk direnungi oleh generasi muslim dewasa ini.










PEMBAHASAN
A.                Pengertian Filsafat Islam dan Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Arab yakni Falsafa,[1] yang memiliki arti al-hikmah, dalam bahasa Inggris filsafat disebut philosophy, sedang akar katanya berasal dari bahasa Yunani berupa kata majemuk terdiri dari kata Philos berarti cinta atau suka, dan kata Sophia artinya bijaksana. Jadi secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom), orangnya disebut philosopher, failasuf atau filosof.
Secara terminologis, filsafat mempunyai begitu banyak defenisi dan arti, sebanyak para filosof memberikan pengertian dan batasan, berikut penulis coba mengemukakan beberapa defenisi :
Ø  Pythagoras (572-497 SM) adalah filosof pertama yang menggunakan kata filsafat dan berpandangan bahwa filsafat adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).
Ø  Plato (427-347 SM) berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
Ø  Aristoteles (384-332 SM) memandang filsafat sebagai ‘teologi’ karena filsafat menurutnya menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari wujud yaitu Aktus Murni (dalam Islam ialah Allah pen.)
Ø  Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) mengungkapkan bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
Ø  Al Farabi (W. 950 M), merumuskan filsafat sebagai ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Ø  Ibnu Rusdy (1126-1198 M) menyatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan ‘otonom’ yang harus ditelaah oleh manusia karena dikaruniai akal, dan Al-Qur’an mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkokoh keimanan kepada Allah.
Ø  Al Juwaini (W.438 H) membagi filsafat kedalam dua hal yaitu wujud dan alam.
Immanuel Kant (1724-1804 M), memformulasikan filsafat sebagai ilmu pokok atau dasar dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat masalah, yaitu :
Apa yang dapat kita ketahui ? (dijawab oleh metafisika)
Apa yang boleh kita kerjakan ? (dijawab oleh etika/norma)
Sampai dimana harapan kita ? (agama yang menjawab)
Apa yang dinamakan manusia ? (antropologi yang menjawab)
Deng Fung Yu Lan mendefenisikan filsafat sebagai pikiran yang sistematis dan refleksi tentang hidup.
H. Hamersama memberi pengertian filsafat sebagai pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (bertalian) tentang seluruh kenyataan.
Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat ialah berfikir menurut logika (tata tertib) dengan bebas tidak terikat tradisi, dogma atau agama serta dengan sedalam-dalamnya sehingga mencapai dasar persoalan.[2]
Sidi Gazalba memberi pandangan bahwa filsafat ialah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
I.R Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah ingin mengerti kepada sesuatu hal dengan mendalam dan cinta akan kebijaksanaan.
Dari beberapa defenisi yang diungkapkan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa filsafat adalah berfikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya. Filsafat juga berfikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran.
Sedangkan Filsafat Islam merupakan penggabungan dua suku kata filsafat dan Islam, Islam secara semantic berasal dari kata salima yang artinya selamat sejahtera atau terpelihara dari sesuatu yang menimpanya. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah dan dengan kata menyerahkan diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka semua makhluk ciptaan Allah, gunung, samudra, udara, air, cahaya dan bahkan setan pun, pada hakikatnya adalah Islam, dalam arti tunduk dan menyerah kepada Penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku pada dirinya sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).
Filsafat Islam juga biasa disebut dengan hukkam al-Islam, hukkam berasal dari kata al-hikmah,[3] berarti perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan alat tertentu, yaitu akal dan metode berpikir. Dalam surat Al-Baqarah ayat 269 Allah menegaskan dalam Firman-Nya yang artinya :
“ Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) “
Jadi filsafat Islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan filsafat tentang Islam. Filsafat Islam artinya berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Dengan demikian, filsafat Islam berada dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral. Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian.
B.                 Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam
Berbicara sejarah filsafat Islam tidak bisa lepas dari pengaruh yang masuk ke dalamnya baik dari tradisi filsafat Yunani, maupun tradisi filsafat timur. Karena filsafat Yunani juga terpengaruh oleh filsafat timur, hal ini secara genuin, dijelaskan oleh Joel L. Kraemer bahwa :[4]
“ Filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, telah belajar kepada Luqman ‘sang filosof’ (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud, atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi ‘filosofis’ yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut”.
Darius penguasa Persia pada abad 1 SM dikalahkan oleh Alexander Agung (Zulkarnaen.pen),lalu dimulailah babak baru penyatuan kebudayaan Yunani dan Persia, dan menjadikan Iskandariah pusat sains dan filsafat Yunani dengan mempertemukan Hellenisme dan Neo-Platonisme serta berkembang ke daerah Antiokia Nissibis dan Edessa yang disebarkan oleh kelompok Monophysit dan Kristen Nestorian.
Menurut Ibrahim Madkour bahwa aliran Alexanderia (Iskandariah.pen) adalah benang merah yang menghubungkan peradaban Yunani dengan pemikiran Timur (Islam.pen), hubungan ini semakin kuat setelah Justanius menutup sekolah Athena (529 M) yang eksesnya banyak guru Athena beralih dan mengajar keberbagai Madrasah Timur seperti di Ruhha, Nasibin, Hiran dan Jundisrahpur.[5]
Tradisi pemikiran dalam Islam sendiri terus mengalami dinamika perkembangan baik pada masa Rasulullah, sahabat, tabiin, tabiin tabiin sampai sekarang. Doktrin penghargaan yang tinggi kepada akal sebagai salah satu sumber pengetahuan dan kebenaran, penyuaraan urgensi penalaran dalam Al-Qur’an dan Hadist, “ikut berjasa” menjaga dinamika perkembangan dalam tradisi pemikiran Islam walaupun nanti terlihat perbedaan corak dan warna yang mendasar pada masa Rasulullah dan dua generasi setelahnya, dengan generasi berikutnya yang akan penulis terangkan lebih lanjut. Istilah dalam Al-Qur’an atau Hadist sendiri yang terkait urgensi penalaran seperti nazhar, tadabur, tafakkur dan sebagainya.
Pada masa Rasul dan satu generasi setelahnya, corak dan warna perkembangan pemikiran sangat terbatas. Masalah ketuhanan, kenabian dan al-Sam’iyyat , sangat jarang dibicarakan apalagi realitas alam, manusia, dan kehidupan dengan pemikiran radikal dan menimbulkan perbedaan, karena setiap masalah yang timbul akan langsung dipecahkan oleh Rasul. Setelah Rasul wafat, hal tersebut diselesaikan oleh para sahabat generasi awal.
Kaum muslimin generasi awal menghadapi semua masalah, baik masalah ketuhanan (adanya ayat yang memberi kesan tasbih dan tajsim) dihadapi dengan ketundukan hati dan pasrah diri, tanpa perlu mengkaji, analisa apalagi sampai mentakwil ayat tersebut, karena pada kenyataannya akidah Islam sangat mudah dan sederhana, hanya menuntut pemeluknya beriman bahwa Allah Esa, Muhammad adalah Rasul-Nya.
Fakta sejarah menunjukkan, timbulnya firqah dalam Islam yang merupakan cikal bakal terbentuknya aliran pemikiran bukan diawali problematika ketuhanan, tetapi lebih disebabkan persoalan politik yang melahirkan topik dosa besar, sabar, iktiar, imamah dan khalifah, serta saling mengkafirkan.[6] Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, asimilasi mengambil bagian, berbagai gelombang asing menyusup ke dalam dunia Islam.
Bangsa Persia yang awalnya memeluk agama Zoroaster dan Mazdakiah, memeluk Islam karena daerahnya ditaklukan dan secara tak langsung membawa pemikiran dan ide ketuhanan agama lama. Selain itu ada juga bangsa Yahudi Jazirah Arab yang masuk Islam dan mulai berbicara masalah sam’iyat, sehingga terbukalah pintu untuk cerita Isra’iiliyat dan hadist palsu dalam bidang ini. Ada lagi hubungan yang terjadi antara Daulah Abbasiyah dan tokoh-tokoh dari sekte agama Nasrani di Syam, Mesir atau Syam dalam menterjemahkan peradaban Suryani dan Yunani. Adapun beberapa orang yang terpengaruh dengan hal diatas dan melontarkan idenya antara lain :
Al-Ja’ad bin Dirham, melontarkan isu yang membentangkan jalan bagi problem “ apakah Al-Qur’an itu Makhluk “
Al-Jahm bin Safwan (127 H-745 M),[7] yang mengingkari sifat-sifat tuhan walaupun bertentangan dengan nas-nas Al-Qur’an.
Berikut Fase tumbuh dan berkembangnya filsafat dalam Islam :
Fase pertama                                                                                  
Fase ini dimulai dari peristiwa tahkim Ali dan Muawiyah yang melahirkan firqah dalam Islam akibat ketidak puasan dari hasil takim tersebut. Pada awalnya mereka hanya berbicara politik, namun merembet kemasalah teologi seperti dosa besar, imamah, khalifah. Teologi ini dibicarakan lebih untuk menjustifikasi kebenaran kelompoknya. Khawarij, Syiah dan Murjiah lahir pada masa ini.
Fase kedua
Masa ini ditandai dengan asimilasi terutama pemikiran antara umat Islam (Arab), dengan kaum ajam (non Arab seperti Parsi, Nasrani, Yahudi yang masuk Islam ) pada daerah taklukan yang masing-masing sudah lebih dahulu menggunakan akal dalam membahas masalah dalam agamanya yang lama. Periode ini juga ditandai dengan masuknya filsafat Yunani tanpa sengaja ke dalam dunia Islam. Maksud tidak sengaja karena umat Islam memang tidak sengaja mencari filsafat Yunani untuk dipelajari, namun secara alami melalui interaksi, terutama pada tiga kota yang sudah berasil ditaklukan yaitu Iskandariah, Syiria dan Yundi Shapur.
Pada masa ini yang awal sekali dipelajari umat Islam adalah ilmu Kedokteran ketika dokter Maserqueh menerjemahkan kitab Pastur Ahran bin Ayun yang berbahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Kegiatan berlangsung pada masa Khalifah Marwan bin Hakam (64-64 H), yang tetap disimpan dan dijaga diperpustakaan sampai Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) mengeluarkannya agar dapat dimanfaatkan umat Islam. Saat ini juga muncul aliran pemikiran Mu’tazillah yang diprakarsai oleh Wasil bin Atha, sangat kental dengan pemujaan akal yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Tokoh-tokohnya banyak belajar dan membaca buku-buku filsafat Yunani, seperti Abu Al-Hudzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazhzham, Bishr Ibn al-Mu’tamir dan lainnya. Aliran ini sering dianggap sebagai pendiri ilmu teologi Islam, yang banyak berbicara tentang filsafat dalam Islam.
Fase ketiga
Periode ini bisa juga disebut masa filsafat Yunani diterjemahkan secara besar-besaran dan serius, karena setelah dinasti Abbasiyah berkuasa dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Baghdad, hal tersebut dilakukan. Diprakarsai oleh al- Makmun hal ini serius dilaksanakan, karena menurutnya ada dua alasan yang mendesak :[8]
·         Terdapat banyak perdebatan soal agama antara umat Islam dengan Nasrani beserta Yahudi dilain pihak yang memakai ilmu Yunani yaitu logika, oleh karena itu umat Islam juga sangat membutuhkan filsafat Yunani sebagai “senjata” mengimbangi orang Nasrani dan Yahudi.
·         Banyaknya kepercayaan dan pikiran Parsi masuk kepada umat Islam, orang Parsi dalam menguatkan kepercayaan memakai ilmu berpikir berlandaskan filsafat Yunani.
Secara umum, penerjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam terbagi dalam
dua tahap, yaitu :
·         Penerjemahan secara tidak langsung, yaitu filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh orang ahli bahasa Suryani, Yunani, Syiria dan Parsi yang kebanyakan beragama Nasrani.
·         Pensyarahan terhadap hasil karya terjemahan sebagaimana yang disebutkan pada poin 1 (satu) oleh para ahli atau pemikir Islam yang pada gilirannya melahirkan filosof muslim seperti : al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusdy dan lainnya.
C.     Urgensi danTinjauan Singkat Pemikiran Filsafat dalam Islam
Islam adalah agama yang mewajibkan penganutnya menuntut ilmu pengetahuan. Al-Qur'an merangsang manusia agar memanfaatkan segala instrumen pengetahuannya untuk memahami realitas. Al-Qur'an memerintahkan pancaindera (sensual) melalui pengamatan empiris (observasi dan eksprerimen) (Q.S.7: 179, 32:28, 10:68, 30:23 dsb.). Al-Qur'an juga memerintahkan menggunakan akal dengan telaah rasional terhadap fenomena alam (Q.S. 3:190-192 dsb.); disamping itu juga memerintahkan menggunakan intuisi batin (Q.S. 7:171, 22:46).[9] Jadi, Islam mengakui realitas empirik, rasional dan supra-rasional, tidak mengenal yang irrasional.
Perintah-perintah al-Qur'an tersebut di atas menanda-kan bahwa dalam tubuh Islam sendiri dapat menjadi sumber lahirnya pemikiran filosofis untuk memahami esensi, memahami maksud ciptaan Allah di alam semesta dan memahami maksud Allah dalam al-Qur'an. Umar bin Khattab seorang pemikir dan khalifah kedua melahirkan pemikiran-pemirkan sebagai hasil telaah terhadap realitas sosial dan berupaya menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur'an. Beliau menelorkan tidak kurang dari 70 buah pikiran hasil ijtihadnya yang sudah berbeda jauh dari pemahaman masyarakat Islam sebelum-nya. Banyak pemikir muslim pertama yang mampu menelorkan pemikiran-pemikiran berani.
Filsafat Islam berkembang pesat ketika wilayah Islam meluas sehingga bersentuhan dengan budaya Persia, India, Mesir, Yunani dsb. Budaya tersebut merangsang lahirnya filsafat dalam Islam yang diwakili oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Kecuali al-Ghazali, corak pemikiran mereka bersifat sinkritisme-kreatif antara filsafat Yunani dan ajaran Islam. Filsafat tersebut banyak tertarik pada soal kosmologi, asal usul alam semesta. Sayang sekali, pemikiran mereka sangat rasionalis-tik, lebih menonjolkan telaah rasional dengan cara deduktif, baik dalam pemikiran tentang alam semesta, pemaknaan ayat al-Qur'an maupun dalam penghayatan mistik.
Di abad ke-10/11 muncul al-Ghazali mengeritik pemakaian rasio oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali mengerik habis-habisan kemampuan inderawi (empiri) dan rasio (nalar) sebagai instrumen yang tidak mampu memahami realitas. Al-Ghazali mengandalkan penghayatan intuitif (qalb) sebagai kekuatan satu-satunya yang handal dalam menangkap realitas dan memakrifah Allah. Pandangan al-Ghazali tersebut oleh sementara kalangan sebagai penyebab kematian pemikiran dalam Islam.
Di abad ke-14 muncul Ibnu Khaldun (di Spanyol) mengeritik filosof sebelumnya yang hanya mengandalkan rasio sebagai alat pengetahuan yang absah.[10] Ibnu Khaldum tidak mengandalkan rasionalitas yang deduktif, tetapi cenderung pada pemakaian empiri yang induktif. Ia tidak tertarik pada spekulasi metafisi dalam soal kosmologi penciptaan alam, tetapi lebih tertarik pada realitas sosial dan historis. Dia seorang filosof sejarah dan sosial yang sampai sekarang masih tetap dikaji pemikiran-pemikirannya oleh sarjana Barat. Meskipun teori-teorinya tidak luput dari kritikan karena menganut teori sejarah-siklus, tetapi pemikirannya banyak mempengaruhi pemikir Barat seperti Toynbee. Madjid Fakhri menyebutnya sebagau seorang positivis Islam karena lebih tertarik pada realitas sosial yang empiri sensual. Meskipun dia juga tidak mengabaikan intuisi batin sebagai alat penghayatan mistik. Di sini Ibnu Khaldum kelihatan dualisme dalam teori pengetahuannya.
Di masa kemudian (abad ke-18) metode empiris lebih dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah. Menurutnya, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ditangkap oleh empiri sensual (inderawi), bukan oleh rasio. Muhammad Abduh muncul pada abad ke-19 juga sangat empiri di samping rasional. Ia memadukan empiri dan rasio dalam pemikirannya. Fenomena supernatural seperti malaikat ditafsirkan sebagai wujud yang non-personal tetapi merupakan hukum alam.
Di abad ke-20 muncul Muhammad Iqbal menggabungkan semua tata-pikir sebelumnya. Iqbal menghargai dunia empirik, dunia rasional dan intuisi qalb. Penghayatan intuisi batin sebagai kristalisasi dalam pengamatan empiris dan telaah rasional. Intuisi menangkap realitas secara holistik berdasarkan input empirik sensual dan telaah rasional. Sayang sekali bahwa paradigma Iqbal tersebut tidak diperkokoh dalam suatu bangunan epistemologi filsafat Islam secara utuh. Kami melihat Iqbal sebagai seorang filosif humanis Islam karena sangat mengandalkan kemampuan manusia (muslim) untuk bisa "menyamai" Tuhan dalam porsi yang terbatas sebagaimana dalam teori Insan Kamilnya.
D. Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam (Tokoh-tokoh dan Corak Pemikirannya).
d. Pemikiran Filsafat Islam.
            Berikut tokoh-tokoh pemikir filsafat dalam Islam, antara lain :[11]
1)      Al-Kindi (801-873 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.
2)      Abu Bakar Ar-Razi (864-925 M)[12]
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi.
3)      Al-Farabi (870-950 M)[13]
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat, metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian.
4. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1058-1111 M,[14] (Tahafutut al-Falasifah)
Pokok pemikiran dari al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah (kerancuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.
5.      Ibnu Maskawih (932-1020 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa.
6. Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda)
Salah satu Pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam berfikirnya.[15]
7. Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.
8.      Ibnu Bajjah (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri).
9.      Ibnu Yaufal (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.
E.     Perkembangan Pemikiran Modern
1. Islam Tekstual
Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.
2. Islam Revivalism
Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai Ke-Islamanya.
3. Islam Modern
Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madji, Abdurrahman Wahid, dll.
4. Islam Neo-Modernis
Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada Liberalis, Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya, artinya sudah menyatu.[16]
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Filsafat Islam artinya berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Dengan demikian, filsafat Islam berada dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral. Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian.
Al-Qur'an merangsang manusia agar memanfaatkan segala instrumen pengetahuannya untuk memahami realitas. Al-Qur'an memerintahkan pancaindera (sensual) melalui pengamatan empiris (observasi dan eksprerimen). Al-Qur'an juga memerintahkan menggunakan akal dengan telaah rasional terhadap fenomena alam,  disamping itu juga memerintahkan menggunakan intuisi batin. Jadi, Islam mengakui realitas empirik, rasional dan supra-rasional, tidak mengenal yang irrasional.
Filsafat Islam berkembang pesat ketika wilayah Islam meluas sehingga bersentuhan dengan budaya Persia, India, Mesir, Yunani dsb. Budaya tersebut merangsang lahirnya filsafat dalam Islam yang diwakili oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.















DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Al-Qur’an Terjemahan Al-Hikmah, (Bandung; Diponegoro, 2004)
Ahmad Badawi Thabanah,” Muqadimmah Al-Ghazali wa Ihya’ ‘Ulum Ad-Din” dalam Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Juz I, (Jakarta; Maktabah Daru Ihya’I Al-Kutub Al-‘Arabiyyah).
Ahmad Muthohar, Teologi Islam Konsep Iman antara Mu’tazilah & Asy’ariyah, (Yogyakarta; Teras, 2008).
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009)
Harun Nasution,  Filsafat Agama, Cet. 3, (Jakarta : Bulan Bintang), 1979
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Cet.3, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004)







[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009), hlm, 15
[2] Harun Nasution,  Filsafat Agama, Cet. 3, (Jakarta : Bulan Bintang), 1979
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009), hlm,16
[5] Ibrahim Madkour,  Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Cet.3, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004)

[6] Ahmad Muthohar, Teologi Islam Konsep Iman antara Mu’tazilah & Asy’ariyah, (Yogyakarta; Teras, 2008), hlm, 2 -9
[7] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Cet.3, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hlm,156

[9] Anonim, Al-Qur’an Terjemahan Al-Hikmah, (Bandung; Diponegoro, 2004)
[11] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009), hlm,49
[12] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009), hlm, 68
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009), hlm, 80
[14] Ahmad Badawi Thabanah,” Muqadimmah Al-Ghazali wa Ihya’ ‘Ulum Ad-Din” dalam Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Juz I, (Jakarta; Maktabah Daru Ihya’I Al-Kutub Al-‘Arabiyyah), hlm, 7
                [15] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009).

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus