Mekanisme
Disiplin dalam Manajemen Pendidikan Islam
A.
Disiplin dalam Islam
Disiplin
mempunyai makna yang luas dan berbeda – beda, oleh karena itu disiplin
mempunyai berbagai macam pengertian. Pengertian tentang disiplin telah banyak
di definisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Ahli yang satu mempunyai
batasan lain apabila dibandingkan dengan ahli lainnya. Menurut Djamarah disiplin adalah "Suatu
tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pridadi dan kelompok”.[1]
Disiplin adalah kepatuhan untuk
menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk
kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain,
disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa
pamrih. Dengan kata
lain, disiplin adalah kepatuhan mentaati peraturan dan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al
Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada
peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’:59).
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdö‘x‹÷n$#ur br& š‚qãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAt“Rr& ª!$# y7ø‹s9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߉ƒÌムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
Artinay:Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah
bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah:49)
Berkaitan dengan ayat di atas,
sepanjang penulusuran yang penulis lakukan bahwa kata ا أَطِيعُوا
sangat sering berulang dalam Al-Qur’an. Kata berulang sampai 79
kali dengan segala perubahan katanya. Khusus untuk kata di atas berulang sampai
19 kali.[2]
Mengapa kami memilih kata tersebut untuk dikaji, kata tersebut merupakan inti
dari ayat tersebut.
Kemudian kata selanjutnya yang
penulis teliti adalah kata احْكُمْ yang merupakan potongan dari ayat 49
surah Al-maidah. Kata ini berulang sampai 7 kali dan berulang sampai 203 kali
dengan seluruh perubahan katanya.[3]
Menurut hemat penulis bahwa ayat
yang berkaitan dengan taat dan hukum merupakan hal yang sangat menarik, karena
sebagian besar isi dalam Al-Qur’an membahas tentang hukum. Itu berarti membahas
tema ini sama halnya membahas sebagian besar isi dalam Al-Qur’an. Buktinya saja
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ini begitu banyak. Kami dapat mengambil
kesimpulan bahwa berulang sampai beberapa kali karena begitu pentingnya dalam
masyarakat.
B. Penafsiran
para Ulama Tafsir
1. Surat
An-nisa ayat 59
Pada Ayat 59 surat An-nisa dan ayat
sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat ayat yang lalu, mulai dari ayat
yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah serta berbakti kepada orang
tua. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan masyarakatyang
adil dan makmur, taat kepada Allah dan Rasul serta tunduk kepada ulil Amri,
menyelesaikan perkara berdasrkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah.
Ketika menafsrkan QS Al-imran ayat
35 Prof Quraish Shihab mengemukakan bahwa kalau diamati ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan taat kepada Allah dan rasulnya, ditemukan
dua redaksi yang berbeda.[4]
Sekali perintah taat kepada Allah dirangkaikan perintah taat kepada Rasul tanpa
mengulangi kata taatilah seperti pada QS. Al-imran ayat 35 dan pada surat
An-nisa ayat 59 kata taatilah diulangi , masing-masing sekali
ketika memerintahkan taat kepada Allah dan sekali memerintahkan taat kepada
Rasulnya.
Para pakar Al-Qur’an menerangkan
bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasulnya digabung dengan menyebut
dengan hanya satu kali kata taatilah, maka hal itu mengisyaratkan bahwa
ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah , baik yang
diperintahkan secarea langsung di dalam Al-Qur’an maupun perintahnya yang dijelaskan
oleh Rasul menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah, bukan beliau
perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat diulangi, maka disitu
rasul mempunyai wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya
dari Al-Qur’an. Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri tidak disertai kata
taat karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan terhadap
mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah atau Rasulnya.
Pendapat ulama berbeda tentang makna
kata ulil Amri . dari segi bahasa kata Uli adalah bentuk jamak dari
Wali yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk
jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa kalau mereka banyak. Sedangkan
kata Al-amri adalah perintah atau urusan. dengan demikian ulil
Amri adalah orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin.[5]
Perlu dicatat bahwa kata Al Amru
berbentuk makrifat. ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang
pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan
persoalan aqidah.
Dari penjelasan ulama di atas
penulis dapat menyimpulkan bahwa taat terhadap ulil amri hanya taat karena
adanya pelimpahan wewenang hukum yang berguna untuk mengatur kesejahteraan
rakyat. Berbeda dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasulnya. Kemudian
arti taat bukan berarti menerimah mentah-mentah perintah tersebut. Tetapi
kritis dan ikhlas sepenuh hati melakukannya.
Di lain pendapat pada ayat ini
dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan di sini
dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada
peraturan. Peraturan yang maha tinggi ialah peraturan Allah. Inilah yang pertama
kali wajib ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus
rasul-rasul dan penutup segala rasul itu adalah Nabi Muhammad SAW.
Rasul-rasul membawa undang-undang tuhan yang termaktub di dalam
kitab-kitab suci seperti taurat, zabur, injil, dan Al-Qur’an. Maka isi kitab
suci itu semua pokoknya ialah untuk kesalamatan dan kebahagiaan kehidupan
manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika
tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih dahulu
taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena
takut terhadap manusia dan bukann pula karena semata-mata mengharapkan
keuntungan duniawi dan jika dia meninggalkan berbuat suatu pekerjaan yang
tercela, bukan pula takut terhadap ancaman manusia. Dengan taat kepada
Allah menurut agama, berdasar iman kepada tuhan dan hari akhirat
manusia dengan sendirinya menjadi baik. Dia merasa bahwa siang dan malam
tidak lepas dari penglihatan dan pengamatan tuhan.[6]
Kemudian itu orang yang
beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada rasul
adalah merupakan lanjutan dari taat kepada Allah. Banyak perintah tuhan yang
wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan tanpa melihat contoh yang teladan.
Maka contoh teladan itu adalah rasul. Derngan taat kepada Rasul barulah
sempurna beragama. Sebab banyak orang yang percaya kepada Tuhan tetapi dia
tidak beragama. Sebab dia tidak percaya kepada Rasul. Maka dapatlah
disimpulkan bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul itu dengan teguh
memegang Al-Qur’an dan As-sunnah.
Menurut pendapat Prof Hamka bahwa
kata minkum pada ayat 59 surat An-nisa mempunyai dua arti yaitu,
pertama di antara kamu yang kedua daripada kamu. Maksudnya yaitu yang
berkuasa itu adalah dari kamu juga, naik dan terpilih atas kamu juga dan kamu
mengakui kekuasaannya.
Sejak Rasulullah berhijrah
dari Makkah ke Madinah, sehari setelah sampai di Madinah itu telah berdiri
suatu kekuasaan atau pemerintahan islam yang Nabi sendiri yang memegang tampuk
pemerintahan itu. Di kiri kanannya berdirilah beberapa pembantu. Pembantu utama
ialah para sahabat yang termasuk Khulafah Ar-Rasyidin.
Urusan kenegaraan dibagi dua
bahagian. Yang mengenai agama semata-mata dan yang mengenai urusan umum. Urusan
semata-mata menunggu wahyu dari tuhan tetapi urusan umum seumpama peran dan
damai ,membangunkan tempat beribadat dan bercocok tanam diserahkan kepada kamu
sendiri. Tetapi dasar utamanya adalah syura yaitu permusyawaratan. Dari hasil
syura ialah menjadi keputusan yang wajib ditaati oleh seluruh orang
beriman. Yang bertugas menjaga hasil syura ialah Ulil Amri.[7]
Supaya ketaatan kepada Ulil Amri itu
dapat dipertanggungjawabkan , urusan-urusan duniawi hendaklah di musyawaratkan.
Bahkan perintah-perintah Allah sendiripun, mana kelancarannya berkehendak
pada duniawi hendaklah dimusyawaratkan.
Tentang Ulil Amri setengah ulama
berpendapat bukan ulama agama saja bahkan termasuk juga panglima-panglima
perang dan penguasa-penguasa besar, petani-petani dalam Negara. Moh Abduh
berpendapat di zaman modern kita ini direktur-direktur pengusaha besar,
professor, sarjana di berbagai bidang, wartawan dan lain-lain yang terkemuka
di masyarakat adalah Ahlul Halli Wal Aqdi (ahli mengikat dan menguraikat ikat).
Berhak diajak bermusyawarah.[8]
Oleh sebab itu maka jelaslah bahwa
islam memberikan lapangan luas sekali tentang siapa yang patut dianggap Ulil
amri, yang patut diajak musyawarah pemungutan suara atau kepala pemerintahan
saja menunjuk siapa yang patut, yaitu lalu diakui dan ditaati oleh orang
banyak.
Dari sinilah penulis mencoba
memaparkan bahwa inti dari ayat ini adalah kesejahteraan terhadap suatu Negara,
apabila urusan urusan itu adalah urusan kenegaraan maka urusan itu juga menjadi
urusan keagamaan. Karena memperjuangkan Negara adalah hal yang diperintahkan
oleh agama. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang yang lebih membutuhkan
penjelasan peersoalan-persoalan kenegaraan maka hal yang paling urgen yang
perlu dibahas dalam hal ini adalah pemerintah dan pemerintahan. Pemerintahan
sekarang sangat berkaitan erat dengan agama, karena negaralah yang menjadi
penggerak utama dalam masyarakat.
Begitu pentingnya persoalan Negara
sampai ketika nabi wafat maka pemakamannya ditunda sampai ada pemimpin yang
menggantikan beliau. Begitupula ketika Abu Bakar yang berwasiat supaya umar
menjadi penggantinya.
Namun bagaiman ketika seorang Ulil
Amri yang berlaku zalim maka itupula harus ditindak keras, karena nasib
masyarakat sangat bergantung pada akhlak seoorang pemimpin.
Seperti yang dialami oleh Negara
kita sekarang yang pemerintahan yang terombang-ambing sehingga lahirlah ketidak
jelasan terhadap Negara ini. Contohnya saja dalam hal keadilan, Negara kita
masih jauh dari nilai-nilai keadilan. Bayangkan seorang nenek yang mengambil
sebiji buah coklat dihukum sampai beberapa bulan sedangkan koruptor yang
mengambil uang rakyat atau Negara yang sampai teriliunan dan miliaran begitu alur
dan lambat dalam menanganinya. Ketika memutuskan sebuah perkara itupun tidak
sesuai dengan hukuman yang seharusnya diterima. Maka dari itu hendaklah
kita sebagai umat mampu mengikuti dengan baik apa yang menjadi aturan Allah,
Rasul dan para ulil Amri. Sehingga Negara kita damai, aman, dan sentosa.
2. Surat
Al-maidah ayat 49.
Sekali lagi melalui ayat ini, Allah
mengulangi perintahnya menetapkan hokum sesuai dengan apa yang diturunkannya,
yang telah diperintahkannya pada ayat yang lalu. Ayat yang lalu menunjukkan
konsekuensi turunnya petunjuk ilahi, dan perintah pada ayat ini adalah karaena
apa yang telah diturunkan itu merupakan kemaslahatan manusia. Perintah ini
ditekankan, karena orang-orang yahudi dan yang semacam mereka tidak
henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan berbagai cara.
Kemudian potongan ayat yang berarti:
supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan
kepadamu, ayat ini menekankan kewajiban berpegan teguh terhadap apa yang
diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikitpun.. di
sisi lain hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat islam senantiasa
berusaha memalingkan umat islam dari ajaran islam walaupun hanya sebagian saja.
Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagaman umat islam akan runtuh.
Karena sel-sel ajaran isalam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang
terkecil sekalipun dengan Allah SWT.
Menurut sepengetahuan penulis, bahwa
setiap ayat yang turun pasti terkhusus kepada Nabi. Dari sinilah kita dapat menyimpulkan
bahwa Rasul saja yang kita anggap ma’shum menerimah ayat ini apa tah lagi kita
sebagai umat yang jauh dari kesempurnaan. Di sisi lain ayat ini membuktikan
bahwa adanya pemeliharaan Allah terhadap hambanya.
Kemudian lanjutan ayat selanjutnya
yaitu maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada
mereka, merupakan hiburan kepada Nabi SAW. Yang menghadapi keengganan orang
yahudi dan nasrani menerimah ajakan beliau. Selanjutnya penggalan kata
selanjutnya pada potongan ayat tersebut, sengaja dicantumkan untuk
mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai pengajaran kepada
Nabi dan siapapun tentang kehendak Allah dalam pengertian di atas,
sehingga karena itu merupakan kehendaknya, maka tidak wajar keenggana mereka beriman
melahirkan kesedihan.
Kemudian penggalan kalimat:
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, mengandung makna bahwa sebagian dosa
mereka yang lain, Allah abaikan karena memang rahmatnya sedemikian luas dan
pengampunannya sedemikian besar, sehingga sebagian dosa manusia diampuni sesuai
dengan firmannya.[9]
Selanjutnya potongan ayat sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik. Artinya tidak sedalam-dalamnya mengikuti tuntunan agama kebanyakan
manusia menyalahi tuntunan Allah yang menentang yang hak.[10]
Muhammad bin ishak meriwayatkan dari
ibnu Abbas berkata: terjadi percakapan anatara Ka’ab bin Asad dan Abdullah bin
Syiria dan Syas bin Qais mereka berkata: marilah pergi
menemui Muhammad kalau dapat mempengaruhi atau menyelewenkan dia dari agamanya
maka mereka dating kembali dan berkataya Muhammad anda telah mengetahui bahwa
kami pendeta, guru dari kaum yahudi dan terkemuka di antara mereka dan bila
kami ikut kepadamu pasti orang yahudi mengikuti kami dan tidak ada yangt menentang
kami dan kini terjadi sengketa antara kami dengan suku yang lain kami akan
mengajak mereka bertahkim kepadamu jika kamu berjanji memenangkan kami, kami
akan percaya kepadamu namun Nabi menolak.
Memenangkan yang salah dan
mengalahkan yang benar adalah hokum jahiliyyah yang sekarang lebih favorit
disebut hokum rimba. Siapa yang kuat, kaya dan punya kekuasaan maka
itulah yang menang. Pengaruh karena ketinggian kedudukan , karena dia
pemuka agama, karena mungkin bangsawan, karena dia disegani menjadikan
semuanya menjadi fakta utama di dalam mempertimbangkan hokum.
Di sinilah terasa beratnya memikul
tugas menjadi ulama dalam islam. Disamping memperdalam ilmu tentang hokum,
memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniruulama pelopor zaman dahulu.
Melihat inti dari ayat ini adalah
bagaiman menegakkan hokum setegas-tegasnya, mampu menentukan kebenaran dan
kesalahan. Dalam hal ini mampu berlaku adil terhadap semua golongan tanpa
memandang bulu warna dan martabat. Suatu perkara yang melanda Negara kita
sekarang adalah banyaknya terjadi KKN yang mana banyak membuat Negara ini
melarat dan tertinggal jauh dari Negara-negara maju lainnya. Tugas kita sebagai
penerus bangsa harus mampu memerangi masalah KKN itu.
C.
Munasabah ayat.
Berbicara soal munasabah ayat, tentu
saja kita akan membahas dan berusaha mekorelasikan ayat ini sesuai dengan
makna, kandungan dan asbabun nuzul ayat tersebut.
Berdasarkan asbabun nuzul, ayat 59
surat An-nisa turun mengenai Abdullah bin Hudzafah bin Qais sewaktu di utus oleh
nabi memimpin suatu pasukan tempur. Ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Ibni Abbas.[11]
Ad-dawudi berkata: riwayat ini
mereka menyalah gunakan nama Ibni Abbas, karena sesungguhnya Abdullah bin
Hudzafah ketika berangkat dan keluar bersama pasukannya, ia marah-marah,
lalu ia menyalakan api dan berkata: terjunlah kalian, maka sebagian mereka banyak
yang menolak dan sebagian lagi banyak yang terjun ke dalamnya. Ad-dawudi
berkata lagi: sekiranya ayat ini diturunkan sebelumnya, mengapa dikhususkan
pada Abdullah bin Hudzafah untuk mentaatinya bukan yang lain. Ini berarti bahwa
ayat ini turun karna adanya sebagian pasukan yang menolak untuk turun
berperang.
Kemudian sebabb turun ayat 49 surat
Al-maidah, diriwayatkan oleh ibnu ishak yang bersumber dari ibni Abbas bahwa
Ka’ab bin Usaid Abdullah bin suraya dan Saisy bin Qais berkata: pergilah
kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kami dapat memalingkannya
dari agamanya. Sesampainya di tempat Nabi mereka berkata; ya Muahammad
sesungguhnya kamu tau bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang
terhormat, ketika kami mengikuti jejakmu maka orang yahudi akan mengikuti
jejakmu ketika kamu memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, lalu Nabi
menolaknya.
Ketika kita mekorelasikan ayat ini
maka pada ayat pertama turun karna penolakan atas orang yang tidak mau turun
peran dan ayat kedua adalah perintah untuk berlaku adil terhadap semua
perkara. Nah letak kesesuaian ayat tersebut adalah bagaiman seorang rakyat
menaati atas perintah Allah, Rasul dan para pemimpin mereka. Kemudian
sebaliknya para pemimpin tersebut bagaimana berlaku adil terhadap
rakyat-rakyatnya tanpa memandang bulu dan warna. Ketika para rakyat yang
disimbolkan dalam asbabun nuzul adalah pasukan mampu untuk menaati
aturan-aturan yang telahh ditetapkan oleh pemerintah begitupun pemerintah mampu
untuk berlaku adil terhadap raklyatnya, maka apa yang disebutkan opleh akhir
ayat ke 59 surat An-nisa yaitu keutamaan dan akibat yang baik dapat
terealisasikan. Keutamaan menurut hemat kami dalam hal ini adalah adanya
keseimbangan antara pemerintah dan rakyat biasa. Kemudian akibat adalah
kesejahteraan, damai dan makmur.
Inilah korelasi di antara dua ayat
tersebut. Bagaimana sesorang pemimpin mampu berklaku adil terhadap rakyatnya,
begitupun rakyat mampu mematuhi rambu-rambu pemerintahan.
Kedamaian, kesejahteraan dan
ketentraman tergantung terhadap siapa yang menjalani. Artinya kita ini semua
menginginkan hal tersebut, maka dari itu hendaklah kita mampu merubah diri kita
masing-masing minimal dengan merubah paradigma kita, cara berpikir kita,
sehingga kita dapat bersaing dengan Negara- Negara yang lebih maju daripada
Negara kita. Kita mampu berubah ketiak kita memulai dari sekarang.
قال الزحيلي
في تفسير المنير , ولما أمر الله الولاة والحكام بأداء الأمنات والحكم بين الناس
بالعدل , أمر الرعية بطاعة عزوجل أولا بامتثال أوامره واجتناب نواهيه , ثم بطاعة
الرسوله ثانيا فيما أمربه ونهى عنه , ثم بطاعة الأمراء ثالثا , لكن تجب طاعة
الأمراء أوالسلطان فيما فيه طاعة , ولا تجب فيما كان الله فيه معصية . وكذلك تجب طاعة أهل القرآن والعلم أي الفقهاء
والعلماء في الدين .[12]
قال
القاسيمي في تفسير القاسيمي , اعلم أنه تعالى , لما أمر الله الرعاة والوالاة بأداء الأمنات إلى أهلها والحكم بالعدل , أمر
الرعية من الجيوس وغيرهم بطاعة أولي الأمر الفاعلين لذلك في قسمهم وحكمهم ومغازيهم
وغير ذلك . إلّا أن يأمر بمعصية الله فلا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.[13]
قال المراغي في تفسيره , أي أطيعوا الله
واعملوا بكتابه , وأطيعوا الرسول لأنه يبين للناس ما نزل إليهم , فقد جرت سنة الله
بأن يبلغ عنه شرعه رسل منهم تكفل بعصمتهم وأوجب علينا طاعتهم.[14]
`¨B ÆìÏÜムtAqß™§9$# ô‰s)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4’¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=y™ö‘r& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (An-Nisa’: 80)
ô‰s)s9ur tA$s% öNçlm; ãbrã»yd `ÏB ã@ö6s% ÉQöqs)»tƒ $yJ¯RÎ) OçF^ÏFèù ¾ÏmÎ/ ( ¨bÎ)ur ãNä3/u‘ ß`»oH÷q§9$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù (#þqãè‹ÏÛr&ur “ÌøBr& ÇÒÉÈ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Harun Telah Berkata kepada mereka sebelumnya:
"Hai kaumku, Sesungguhnya kamu Hanya diberi cobaan dengan anak lembu. itu
dan Sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) yang Maha pemurah, Maka ikutilah Aku dan
taatilah perintahku". (QS. Thaha:
90)
(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó™$# (#qãèyJó™$#ur (#qãè‹ÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #ZŽöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka
mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghabun: 16)
Dari ayat di atas
jelaslah bahwa mekanisme disiplin dalam islam yaitu pertama, mematuhi dan
mentaati perintah Allah SWT serta meninggalkan larangan-Nya, kedua, mematuhi
apa-apa yang diperintahkan oleh Rasullah SAW, ketiga, wajib mentaati segala
aturan yang dibuat oleh pemimpin (al-umaro’).
Disiplin adalah kunci sukses, sebab
dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam
usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk
kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa
pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan,
baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun kehidupan
bernegara.
D.
Disiplin Dalam Penggunaan Waktu
Disiplin dalam penggunaan waktu
perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat
kembali lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa menyatakan
penghargan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan Time is money (waktu
adalah uang), peribahasa Arab mengatakan” الوقت كالسيف
(waktu adalah pedang) atau waktu adalah peluang emas, dan kita
orang Indonesia mengatakan:‘’sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak
berguna’’.
Tak dapat dipungkiri bahwa
orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang
yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak
akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam
kehidupan pribadinya. Allah SWT berfirman:
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-Ashr: 1-3)
Ada empat cara agar kita tidak
menjadi orang-orang yang melalaikan waktu, antara lain: (1)beriman, (2) beramal
saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam
kesabaran.
Inilah yang dijelaskan dalam ayat
terakhir surat Al-Ashr. ‘’Illal ladziina amanu wa’amilushshaalihaati
watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta
menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.’’
1. Beriman
Iman, secara bahasa bermakna
“membenarkan”. Maksudnya membenarkan segala hal yang disampaikan oleh Nabi
Muhammadsaw., yang pokok-pokoknya tersistematisasikan dalam rukun iman. Iman
sifatnya abstrak, dimensinya batiniah alias tidak terlihat. Karenanya, yang
paling tahu apakah iman seseorang itu kuat atau lemah hanyalah Allah swt. Zat
yang Maha Mengetahui masalah ghaib. Walaupun iman itu abstrak, namun Allah swt.
Menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar. Firman-Nya:
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMu‹Î=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y— $YZ»yJƒÎ) 4’n?tãur óOÎgÎn/u‘ tbqè=©.uqtGtƒ ÇËÈ šúïÏ%©!$# šcqßJ‹É)ムno4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZムÇÌÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_u‘yŠ y‰YÏã óOÎgÎn/u‘ ×otÏÿøótBur ×-ø—Í‘ur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ
Artinya: ‘’Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.
Orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang
Kami berikan pada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya serta ampunan dan nikmat yang mulia.’’ (QS. Al Anfal 8:2-4).
Iman itu bersifat fluktuatif,
artinya kadang-kadang meningkat dan kadang-kadang menurun. Dalam suatu riwayat,
disebutkan bahwa Al immanu yaziidu wa yanqushu (iman itu dapat bertambah dan
bisa juga berkurang). Oleh sebab itu kita wajib merawat iman agar tetap prima
supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang merugi.
2. Beramal
Saleh
Kedua yang bisa menyelamatkan
manusia dari kerugian adalah beramal saleh. Kata amiluu berasal dari kata
amalun artinya pekerjaan yang dilakukan denganpenuh kesadaran. Kata shalihaat
berasal dari kata shaluha artinyabermanfaat atau sesuai. Jadi, amal saleh
adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu
memberi manfaat untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan
tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan
amal saleh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga,
kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Jadi, karya atau kreativitas apapun
yang kita lakukan dengan penuh kesadaran demi kemaslahatan diri sendiri,
keluarga ataupun masyarakat, dapat disebut amal saleh. Harus diingat, amal
saleh itu harus dibarengi dengan iman, karena amal saleh tanpa dilandasi iman
kepada Allah swt. akan menjadi sia-sia,
!$uZøBωs%ur 4’n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·‘qèWY¨B ÇËÌÈ
Artinya: ‘’Dan Kami hadapi segala
amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang
beterbangan”. (Q.S. Al Furqan 25:23)
3. Saling
Berwasiat dalam Kebenaran
Watawaashau bil haq, Orang yang saling
berwasiat dalam kebenaran. Berarti saling menasihati untuk berpegang teguh pada
kebenaran. Kata Al haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu Ajaran
Islam. Maka syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui
hakikat kebenaran Islam, mengamalkannya, dan menyampaikannya kepada orang lain.
Siapa saja yang tidak mau mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran
Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.
Mengajak orang lain berada di jalan
kebenaran bukan sekadar tugas para kiai, ulama, ustadz ataupun lembaga dakwah,
namun merupakan kewajiban setiap individu. Rasulullah bersabda:
‘’Siapa yang
melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan
lisan, dan kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati, dan itulah iman
yang paling lemah.’’
Kewajiban ini ditujukan kepada
setiap individu muslim, kapan dan di mana pun melihat kemunkaran, kita wajib
mengubahnya sesuai kadar kemampuan kita. Saling menasihati untuk berpegang
teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu, penuh kearifan, dan
menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana Firman-Nya:
äí÷Š$# 4’n<Î) È@‹Î6y™ y7În/u‘ ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9ω»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u‘ uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#‹Î6y™ ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïωtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(Q.S An-Nahl 16:125)
4. Saling
Berwasiat dalam Kesabaran
Wa tawaashau bishshabr,
saling menasihati supaya tetap dalam kesabaran. Kesabaran adalah suatu kekuatan
jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai ujian. Sabar begitu penting untuk
kita miliki. Allah swt. menyebut sabar sebanyak 103 kali dalam Al-Qur’an dengan
berbagai konteks. Jiwa sabar harus kita miliki karena ujian akan selalu
mewarnai kehidupan kita,
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ÌÏe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ
Artinya: “Dan
sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah 2:155).
E.
Disiplin dalam beribadah.
Menurut bahasa, ibadah berarti
tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam,
ibadah berarti tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah yang disertai dengan
perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
disiplin dalam dalam beribah itu mengandung dua hal: (1) berpegang teguh apa
yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun
ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah, makruh dan subhat; (2)
sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa
takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat
kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 31:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ
Artinya: “Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Ali Imran 31).
Sebagaimana telah kita ketahui,
ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Ibadah Mahdah (murni) yaitu
bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah; (2) Ibadah Ghaira Mahdah
(selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan
melalui hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah mahdah (disebut juga
ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus
mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang
mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari
terus-menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah,
karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia
termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.
Dalam ibadah Ghaira mahdah (disebut
juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang
jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah
kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin
mendapatkan pujian orang lain.
F.
Disiplin dalam Bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat adalah fitrah
manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar
belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku
yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat (animal
education/hayawunnatiq), mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai
kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama yang harus dihormati dan
dihargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.
Agama Islam mengibaratkan anggota
masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang di dalamnya terdapat beberapa
komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, manakala salah
satu komponen rusak atau binasa. Hadist Nabi SAW menegaskan:
“Seorang Mukmin
dengan Mukminlainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat
bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari tangan sebelah lainnya’’. (H.R. Bukhori Muslkim dan Turmudzi)
G.
Disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara adalah alat untuk
memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh para
anggota atau warganegaratersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi
warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan
prasyarat untuk berdirinya suatu Negara. Tujuan dibentuknya suatu negara
adalahseluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat
dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya:
‘’Seorang
muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang
dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia
diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat’’. (H.R. Bukhori Muslim)
H. Disiplin di Sekolah/Madrasah
Membicarakan
tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku
negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada
akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan
sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan
yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri
sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah
pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering
ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan
pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek,
pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku
lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan
penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah.
Perilaku
siswa terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor
lingkungan, keluarga dan sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah
merupakan salah satu faktor dominan dalam membentuk dan mempengaruhi
perilakusiswa. Di sekolah seorang siswa berinteraksi dengan para guru yang
mendidik danmengajarnya. Sikap, teladan, perbuatan dan perkataan para guru yang
dilihat dandidengar serta dianggap baik oleh siswa dapat meresap masuk begitu
dalam ke dalamhati sanubarinya dan dampaknya kadang-kadang melebihi pengaruh
dari orangtuanya di rumah. Sikap dan perilaku yang ditampilkan guru tersebut
pada dasarnyamerupakan bagian dari upaya pendisiplinan siswa di sekolah. Brown
dan Brown mengelompokkan beberapa penyebab perilaku siswa yang tidak disiplin,
sebagai berikut :
1. Perilaku
tidak disiplin bisa disebabkan oleh guru
2. Perilaku
tidak disiplin bisa disebabkan oleh sekolah; kondisi sekolah yang kurang
menyenangkan, kurang teratur, dan lain-lain dapat menyebabkan perilaku
yang kurang atau tidak disiplin.
3. Perilaku
tidak disiplin bisa disebabkan oleh siswa , siswa yang berasal darikeluarga
yang broken home.
4. Perilaku
tidak disiplin bisa disebabkan oleh kurikulum, kurikulum yang
tidak terlalu kaku, tidak atau kurang fleksibel, terlalu dipaksakan dan
lain-lain bisa menimbulkan perilaku yang tidak disiplin, dalam proses belajar
mengajar pada khususnya dan dalam proses pendidikan pada umumnya.
Pendekatan
peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran
untuk membantu siswa memahami mengapa diharapkanmematuhi dan menaati peraturan
yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman.
Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada yang menolak atau melanggar
tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya menyadarkan,
mengoreksi dan mendidik.
Dalam
disiplin sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat
berkembang. Siswa patuh dan taat karenadidasari kesaadaran dirinya. Mengikuti
peraturan yang ada bukan karena terpaksa,melainkan atas kesadaran bahwa hal itu
baik dan ada manfaat.
Sanksi adalah hukuman
yang diberikan kepada siswa atau warga sekolahlainnya yang melanggar tata
tertib atau kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah,yang secara eksplisit
berbentuk larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas, Sanksi yang diterapkan
agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukumanfisik, dan tidak menimbulkan
trauma psikologis.´ Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang
paling ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa:[15]
1. Teguran
lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadapketentuan
sekolah yang ringan.
2. Hukuman
pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuatrangkuman buku
tertentu, menterjemahkan tulisan berbahasa Inggris dan lain-lain.
3. Melaporkan
secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yangdilakukan
putera-puterinya.
4. Memanggil
yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutantidak mengulangi
lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5. Melakukan
skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran
peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6. Mengeluarkan
yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutantersangkut perkara
pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
2.3 Upaya Meningkatkan Kedisiplinan Siswa
Reisman dan Payne (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan
strategi umum merancang disiplin siswa, yaitu :
1. Konsep diri;
untuk menumbuhkan konsep diri siswa sehingga siswa dapat berperilaku disiplin,
guru disarankan untuk bersikap empatik, menerima,hangat dan terbuka;
2. Keterampilan
berkomunikasi; guru terampil berkomunikasi yang efektif sehingga mampu
menerima perasaan dan mendorong kepatuhan siswa;
3. Konsekuensi-konsekuensi
logis dan alami; guru disarankan dapat menunjukkan secara tepat perilaku yang
salah, sehingga membantu siswa dalam mengatasinya; dan memanfaatkan
akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah;
4. Klarifikasi
nilai; guru membantu siswa dalam menjawab pertanyaannyasendiri tentang
nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri;
5. Analisis
transaksional; guru disarankan guru belajar sebagai orang dewasa terutama
ketika berhadapan dengan siswa yang menghadapi masalah;
6. Terapi
realitas; sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan danmeningkatkan
keterlibatan. Guru perlu bersikap positif dan bertanggung jawab; dan
7. Disiplin
yang terintegrasi; metode ini menekankan pengendalian penuh olehguru untuk
mengembangkan dan mempertahankan peraturan;
8. Modifikasi
perilaku; perilaku salah disebabkan oleh lingkungan. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif;
9. Tantangan
bagi disiplin; guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam
pengendalian yang tegas.
Pendekatan
ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai
keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan
mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin.
[2]
Muhammad
fuad Abdul Baqi, Al mu’jam Al mufahras li Al fadz Al Qur’an Al karim (
Mesir; Darul Kutub , 1945), h. 430.
[4] Muhammad
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jilid II ( cet. IX; Jakarta: lentera
Hati, 2007), h. 483.
[5] Ibid., h. 484.
[8] Ibid., h. 132.
[9] Ibid., h.
119.
[10] H .
Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier,
Jilid II( Kuala Lumpur: Victory Agencie, 2003), h. 113.
[11] Al
Imam Jalaluddin As Suyuti, lubabun Nuqul fii Asbab An nuzul, ( Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1986), h. 163.
[13] Qosim, Tafsir
al-Qosimi, (Libanon: Daar al-Katab, 1992), hal. 184
[14] Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, (Libanon: Daar al-Katab, 2006), hal. 243
[15] Depdiknas, 2001 ayat 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar