Makalah Mukhtalafil Hadits
Oleh: Sumanto, S.Pd.I, M.Pd.I
BAB I
A. Pendahuluan
Al-Quran yang secara lahir bertentangan, harus
dikompromikan dengan menggunakan beberapa metode dalam ta’arudh. Begitu
juga dengan hadis. Ada beberapa teks sunnah yang secara lahir tampak
bertentangan. Hal ini dapat terjadi pada hadis yang validitasnya tidak dapat
diragukan lagi. Misalnya, dua hadis yang berkualitas sahih, hasan, atau
dengan bahasa maqbul. Berbeda jika salah satu dalil itu ada yang lemah (dha’if)
baik dari segi sanad (perawi) atau matan (tekstualnya). Maka hal
itu tidak perlu diselesaikan masalahnya. Tinggal dinon-aktivkan salah satunya.
Ada beberapa langkah dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan hadis yang tampak bertentangan. Banyak pula ulama
yang merumuskan dan memperbincangkannya. Hal ini mereka kerangkakan dalam
disiplin ilmu mukhtalifil hadis. Yaitu sebuah ilmu yang memperbincangkan
tentang bagaimana menangani hadis ‘bermasalah’ secara lahirnya. Dengan beberapa
langkah dan metode tertentu. Di mana fungsi dan tujuan ilmu ini adalah
menghancurkan tuduhan dan fitnah kaum ‘a’da’ Islam. Ilmu ini berkembang
saat ilmu-ilmu Islam lainnya dalam puncak kejayaan. Yaitu al-‘ushur
adz-dzahabiyyah (masa-masa keemasan).
Problematika yang timbul adalah perumusan dan
pembatasan sampai mana metode yang harus diaplikasikan dalam hadis-hadis
tersebut. Bagaimana mengklasifikasikan hadis ini masuk dalam mutlak, ‘amm, dan
mujmal. Sehingga langkah dan kode yang dipakai mudah diterapkan. Secara rielnya,
kadang ditemukan hadis yang sulit dipastikan eksistensinya. Tampak seperti
lafaz umum, khusus, dan lainnya. Berikut makalah ini akan menjelaskan tentang
substansi ilmu mukhtalifil hadis, obyek kajiannya, kitab-kitab yang
membicarakan, dan contoh-contoh pengaplikasiannya untuk memudahkan perumusannya
sebagaimana berikut ini.
BAB II
B. Pembahasan
Pembahasan
ini meliputi bagaimana definisi dan obyek kajian ilmu mukhtalifil hadis, apa
urgensi, dan kitab-kitab apa saja yang membahas ilmu tersebut, serta bagaimana
contoh pengaplikasian ilmu mukhtalifil hadis ini.
1. Pengertian dan
Obyek Ilmu Mukhtalafil Al-Hadis
Secara garis besar, ilmu ini mencakup seluruh
hadis yang secara lahir bertentangan. Yaitu dengan cara jam’u (mengompromikan
dua hadis atau lebih tersebut) dan taufiq (mencocokkan) dengan cara taqyid
(membatasi teks yang mutlak), takhsis (menentukan cakupan teks yang
umum), atau dengan memposisikan hadis sesuai dengan asbabul wurudnya, atau
lainnya. Sebagaimana metode ini kadang-kadang juga diaplikasikan pada hadis
yang sulit dipahami dengan mentakwil atau menjelaskannya, meskipun tidak
ada hadis lain yang menentangnya.
Dari sini dapat dipahami, bahwa ilmu mukhtaliful
hadis adalah sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana memahami
hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu dan
mencocokkannya. Seperti halnya pembicaraan tentang hadis yang sulit dipahami
dan digambarkan. Dan hal ini akan mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan
substansinya.[1]
Definisi lain yang membedakan keduanya adalah
bahwa mukhtalif itu dimaksudkan pada hadis yang bertentangan dengan
hadis lainnya. Ada yang membaca mukhtalaf, dan maksudnya adalah
pertentangan antara dua hadis tersebut. Sedang terminologi musykil artinya
hadis yang sulit dipahami disebabkan beberapa faktor. Di antaranya makna yang
tidak mudah ditangkap, bertentangan dengan ayat-ayat Quran, hadis lain, ijmak, qiyas,
maupun akal inderawi. Secara mudah perbedaan dua term itu terletak pada
beberapa hal. Pertama, dua istilah yang beda tekstualnya. Kedua, obyek
term. Jika mukhtalif untuk dua hadis saja, maka musykil bisa dua
atau lebih. Ketiga, orientasi mukhtalif adalah dua hadis sebagai
dalil. Sedang musykil dua dalil secara umum. Bisa memasukkan qiyas dan
rasional.[2]
Begitu juga dalam hal hukum. Untuk hadis mukhtalif
cukup mengaplikasikan teori kaidah yang dirumuskan ulama. Sedang musykil
harus dikomparasikan dengan beberapa teks atau dalil-dalil lain. Misalnya
penyesuaian dengan akal pikiran kita. Maka hadis musykil itu sifatnya
lebih umum dari pada hadis mukhtalif.
2. Urgensi Ilmu
Mukhtalafil Al-Hadis
Ilmu ini termasuk hal penting dalam study
hadis. Sebuah ilmu yang dibutuhkan oleh ahli hadis, ahli fikih, dan ulama lain.
Orang yang mempelajarinya harus mempunyai daya tangkap tinggi, pemahaman
mendalam, pengetahuan luas, dan pengalaman baik. Merekalah yang piawai dalam
ilmu hadis dan fikih. As-sakhowi mengatakan, “Ilmu ini sangat penting dan
dibutuhkan oleh setiap ulama dalam bidang apapun. Yang bisa sempurna
melaksanakan ilmu ini adalah seseorang yang benar-benar pandai mengumpulkan
ilmu hadis dan fikih, serta bisa menyelami arti dari kata-kata sulit”.[3]
Bahkan As-Sakhowi mengatakan berikut:
ولذا كان إمام
الأئمة أبو بكر بن خزيمة من أحسن الناس فيه كلاما لكنه توسع حيث قال لا أعرف
حديثين صحيحين متضادين فمن كان عنده شيء من ذلك فليأتني به لأؤلف بينهما
“Oleh karena
itu (yang menangani ilmu ini hanyalah mereka yang piawai bidangnya), Imam Abu
Bakar bin Khuzaimah termasuk orang terbaik dalam hal ini. Tetapi beliau terlalu
berlebihan, sampai beliau berkata, “aku tidak pernah menjumpai dua hadis yang
bertentangan. Jika seseorang pernah menemukannya, maka datangkanlah padaku agar
aku selesaikan (pengumpulannya)”.
Al-Bulqini
menyanggah statemen Ibnu Khuzainah ini dengan mengatakan:
لو فتحنا باب
التأويلات لاندفعت أكثر العلل
“Andai kita
membiarkan pintu takwil, niscaya tertolak (tidak ada) kebanyakan illat hadis” [4]
Ulama telah
berantusias lebih dalam hal ini. Terbukti mereka menangani ilmu ini sejak
periode sahabat. Yaitu mereka yang menjadi referensi seluruh ummat dalam
menangani problematika hidupnya. Mereka berijtihad untuk mengumpulkan hadis,
menggali hukumnya, dan mengompromikan beberapa hadis yang kelihatannya
bertentangan. Begitu juga dengan ulama-ulama hadis yang telah menghancurkan
tuduhan-tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh Islam, seperti golongan Syi’ah dan
Muktazilah. Dan mereka merumuskannya dalam karya besar yang akan kami sebutkan
sebagiannya.[5]
3. Sejarah perkembangan Ilmu mukhtalafil al-hadis
Perkembangan Ilmu Hadist
Didalam
pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “dikatakan, pada
awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi
peristiwa fitnah maka mereka berkata, “sebutkanlah pada kami orang-orang yang
meriwayatkan hadist kepadamu”.
Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadist itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil hadistnya . jika orang-orang yang meriwayatkan hadistitu adalah ahli bidah maka mereka tidak mengambilnya.
Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadist itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil hadistnya . jika orang-orang yang meriwayatkan hadistitu adalah ahli bidah maka mereka tidak mengambilnya.
Berdasarkan hal
ini, maka suatau berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya.
Karena itu muncullah ilmu jarah wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi,
cara untuk mengetahui bersambung (Muttasil) atau terputus (munqati)-nya sanad,
mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Mmuncul pula ucapan-ucapan sebagai
tambahan dari hadist sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih
sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal. Kemudian para ulama
dalam bidang itu semakin banyak, sehinggga muncul berbagai pembahasaan didalam
banayak cabang ilmu yang terkait denag hadist, baik dari aspek kedhabitannya,
tata cara menerima dan menyampaikannnya, pengetahuan tentang hadist-hadist yang
nasikh dari hadist-hadist yang mansukh dll. Semua itu masih disampaikan ulama
secara lisan.
Lalu masalah itu pun semakin berkembang lam kelamaan ilmu hadist ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserap diberbagai tempat didalam kitab-kitab lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqih dan ilmu hadist contohnya ilmu Ar Risalah dan Al Umm Imam Syafi’I.
Lalu masalah itu pun semakin berkembang lam kelamaan ilmu hadist ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserap diberbagai tempat didalam kitab-kitab lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqih dan ilmu hadist contohnya ilmu Ar Risalah dan Al Umm Imam Syafi’I.
Ilmu hadist mengalami perkembangan
yang sanagat luar biasa pada awal abad ke tiga hijriyyah. Hanya saja,
perkembangan itu masih berkutat pada upaya mengatahui yang bisa diterima dan
ditolak karenanya pembahasan seputar periwayatan dan hadist yang diriwayatkan.
Menurut sejarah ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu hadist riwayat adalah
Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri atas perintah dari khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Al Zuhri adalah salah satu seorang tabiin kecil yang banayak mendengar hadist
dari para sahabat dan tabi’in besar.
Sedangkan ilmu hadist dirayah sejak pertengahan abad kedua Hijriyyah telah dibahas oleh para ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al Ramahurmudzi (265-360 H), barulah kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al Hakim Abdul Al Naysaburi dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan Ulumul Hadist dan pada masa terakhir ini lebih mashur. Akhirnya ilmu-ilmu itu semakin matang , mencapai puncaknya dan memiliki istilah sendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini terjadi pada abad ke empat Hijriyyah para ulama menyusun ilmu msthalah dalam kitab tersendiri, orang yang pertama menyusun kitab ini adalah Qadli Abu Al Fasih Baina Ar Rawi wa Al-wa’i.
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
Ilmu Mukhtalif Al Hadist, Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Sedangkan ilmu hadist dirayah sejak pertengahan abad kedua Hijriyyah telah dibahas oleh para ulama hadist, tetapi belum dalam bentuk kitab khusus dan belum merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada masa Al Qadhi Ibnu Muhammad Al Ramahurmudzi (265-360 H), barulah kemudian dibukukan dalam kitab khusus yang dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdidri sendiri.
Setelah itu barulah diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al Hakim Abdul Al Naysaburi dll. Pada masa ulama konten porer ilmu hadist dirayah dinamakan dengan Ulumul Hadist dan pada masa terakhir ini lebih mashur. Akhirnya ilmu-ilmu itu semakin matang , mencapai puncaknya dan memiliki istilah sendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini terjadi pada abad ke empat Hijriyyah para ulama menyusun ilmu msthalah dalam kitab tersendiri, orang yang pertama menyusun kitab ini adalah Qadli Abu Al Fasih Baina Ar Rawi wa Al-wa’i.
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
Ilmu Mukhtalif Al Hadist, Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Ilmu ini berkembang saat ilmu-ilmu Islam
lainnya dalam puncak kejayaan. Yaitu al-‘ushur adz-dzahabiyyah (masa-masa
keemasan).
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu
Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang telah berusaha menuyusun ilmu
ini ialah Al Imamusy Syafi’I, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy kitabnya bernama At
Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.
4. Metode mengkompromikan Hadis yang secara lahiria bertentangan
- Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian)
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi
dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan
pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu
kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh
satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang
tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga
masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u ini
tidak berlaku bagi hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan
dengan hadits–hadits yang shahih. Untuk menemukan benang merah antara
kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan
dengan empat cara, yaitu:
a) Menggunakan
Pendekatan Kaedah Ushûl
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan
menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami Hadîts Rasulullah
dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah
ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun
yang menjadi objek kajian ilmu ushûl fiqh ialah bagaimana
meng-istimbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân
maupun Hadîts. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud,
maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum
sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushûl yang terkait
seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang
umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya,
apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak
lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan
yang muqayyad.[6]
Sebagai contoh Hadîts tentang
mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ
الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
Hadîts ini
melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ
بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ
مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ
أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ
دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa
Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi
upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua
dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi
antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadîts pertama
menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami
pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad.
Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian
dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari
orang lain karena Rasullullah melakukannya.[7] Adanya qarinah menjadikan kasb
al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
b)
Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini
ialah memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts, dengan
memperhatikan asbâb al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut.
Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.
Jika asbab
al-wurud al-Hadîts tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan
dalam memahmi maksud yang dituju suatu Hadîts sehingga hal ini
menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu Hadîts dengan
yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadîts menjadi
hal yang sangat urgen dalam pemahaman Hadîts. Jika konteks
suatu Hadîts diikutsertakan dalam memahmi Hadîts-Hadîts
mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya
sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan
masing-masing Hadîts dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil Hadîts tentang
meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى
الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي
نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
Hadis lain yang diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ
طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ
فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ
لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ
ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ
فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ
بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam Hadîts pertama
Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain.
Namun dalam Hadîts kedua justru Rasulullah sendiri yang
meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah
dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah
Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini
yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa Hadîts pertama
tidak bertentangan dengan Hadîts kedua karena Hadîts pertama
berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan
kondisi lainnya.[8]
Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama
ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan
pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan
tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati
perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan
pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadîtspertama.
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama.
Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah
dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan
ini – sesuai dengan Hadîts pertama – karena Rasulullah tahu
bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab
Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah
memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini
menggambarkan bahwa konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama
kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima
pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan
lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua kondisi di mana seorang
laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima
atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak
pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c) Pemahaman
Korelatif
Pemahaman
korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya
yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama
sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam
menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadîts saja
akan tetapi bisa saja ada bebarapa Hadîts yang saling terkait
satu sama lainnya. Oleh karena itu semua Hadîts tersebut mesti
dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya
sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan
pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan. Sebagai contoh dikemukan Hadîts-Hadîts tentang
waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.[9]
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ
عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى
تَغْرُبَ
Dalam hadits lain dinyatakan
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ
لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ
سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى
Dua Hadîts di
atas sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. Hadîts pertama
menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit
matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara Hadîts kedua
tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja
apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah subuh hingga terbit
matahari maupun waktu setelah asharhingga terbenam matahari.[10]
Dua Hadîts di
atas dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja,
sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang
merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama
adalah shalat sunnat, sementara Hadîts kedua merupakan shalat
wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat.
d) Menggunakan
Cara Ta’wîl
Takwil berarti
memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung
oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan makna
lahiriyah yang ditampilkan oleh lafadz Hadîts dinilai tidak
tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan
makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh
lafadz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Oleh
al-Syafi’iy metode takwil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan
pertenatangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya.Contoh:
ü
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ
مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
ü و
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى
الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ
عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ
بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي
رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Hadîts petama
pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebi afdhal untuk
melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh
sudah mulai terang. Sedangkan Hadîts kedua menjelaskan bahwa
waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni
susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua Hadîts di
atas menampilkan pertenatangan antara satu dengan lainnya, di mana Hadîts pertama
di akhir waktu dan Hadîts kedua di awal waktu.
Dalam
masalah ini Imam al-Syafi’iy justru tidak melihat pertentanagn antara
kedua Hadîts di atas. Imam syafi’iy men-takwil-kan
kata isfâr pada Hadîts pertama. Di mana isfâr yang
semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati
matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang
ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain,
makna isfâr pada Hadîts pertama di-takwil-kan
dengan makna ghalas pada Hadîts kedua. Hal
ini dilakukan karena Hadîts kedua dipandang memiliki nilai
lebih dibanding Hadîts kedua untuk dijadikan sebagaihujjah.
- Metode Nasikh Mansukh
Jika
ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh
metode naskh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang
lebih datang dulu dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis yang datang
lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara
bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula
berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh
berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah
dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dahulu
dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti
bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits
yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish)
dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh
(yang menghapus).
Namun
perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi disaat Nabi
Muhammad SAW. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’,
sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya
terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan
terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi).
Salah
satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan
metode naskh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
ü
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ
يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ
وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
ü
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو
بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling
bertantangan, hadits pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda
yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan kebolahan
memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh.
Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah di-nasakh-kan
oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jâbir Ibn Abdallah yang
datang setelahnya.[11]
- Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi
tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan
mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih
baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus
diakui bahwa ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada
juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadits
tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka.
Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة
والموؤودة في النار
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan
bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim.
Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa
Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW.
Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu
orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal
dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku
hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat
baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan
anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya
itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh
imam Ibnu Katsir.
Hadits tersebut dinilai Musykil dari sisi matan
dan Mukhtalif dengan Al Quran surat al Takwir :
وَإِذَا
الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)
Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir:
8-9)
Kalau
seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan
logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke
Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus
ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits
lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah
ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang
akan masuk Surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang
yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR. Ahmad.)
5. Sayarat-syarat kompromi
Kompromi antara dua hadits yang kelihatannya
kontradiksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[12]
1. Kedua hadits yang kontradiksi harus bernilai
shahih, sehingga tidak mungkin hadits dha’if berhadapan dengan hadits
shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya penentangan hadits dha’if.
2. Ta’arud (kontradiksi) itu tidak dalam bentuk
bertolak belakang (tanaqulid) dimana tidak memungkinkan dilakukan
kompromi antara keduanya.
3. Kompromi itu tidak menyebabkan batalnya salah
satu hadits yang kontradiksi .
4. Kompromi itu harus memenuhi ketentuan adanya
persesuaia dengan uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan tujuan syari’at
tanpa ada unsur pemaksaan.
6. Kaidah kompromi hadits
1. Hadits itu berasal dari Nabi SAW. dalam
bentuk umum, sehingga datang dari Nabi penunjukan kepada makna yang sifatnya
khusus.
2. Membawa perbedaan (ikhtilaf) hadits
itu kepada kebolehan dilakukannya perkara itu (ibahah al amr). Imam As
Syafi’i menyatakan bahwa terdapat hadits yang berbeda tentang perbuatan Nabi
dari satu sisi tapi dari sisi yang lain kedua hadits tersebut (yang berbeda)
dibolehkan untuk dilakukan.
3. Megkompromikan antara yang majmul,
mufassar, ‘am dan khas. Imam As Syafi’i berkata bahwa terdapat
hadits-hadits Nabi SAW. yang dating secara global dan yang lainnya dating
secara mufassar (rinci). Jika informasi hadits yang datang dari Nabi
secara global itu dipandang sebagai bersifat ‘am (umum) maka ia akan
diriwayatkan secara berbeda mufassar (rinci). Dalam persoaalan seperti
ini tentunya tidak dapat dipandang sebagai ikhtilaf (berbeda), tetapi
merupan suatu bentuk pendeskripsian suatu objek dengan keluasan bahasa Arab.
Hal itu merupakan pembicaraansesuatu secara umum, namun dikehendaki makna
khusus. Hal ini seperti ini dipakai dan berlaku secara bersama-sama.
7. Contoh kompromi hadits yang kontradiksi
yaitu:
Buang hajat dengan menghadap kiblat
Pertama
Dari Abu Ayyub bahwa Nabi SAW. telah bersabda,
“ apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan
jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar…”
Kedua
Abdullah bin ‘Umar berkata, “pada suatu hari,
sungguh saya telah naik (masuk) kerumah kami (tempat tinggal Hafsah isteri
Nabi) maka saya melihat Nabi SAW. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang
hajat) untuk buang hajat dengan menghadap kearah Bait al Maqdis.
8. Kitab Yang Membicarakan Ilmu Mukhtalifil
Hadis
Banyak ulama yang mengarang kitab dalam ilmu
ini. Di antaranya ada yang memenuhi kitabnya dengan hadis-hadis yang perlu
diselesaikan. Ada pula yang hanya membicarakan beberapa hadis yang secara
lahirnya bertentangan.
Kitab yang paling tua dalam hal ini adalah (Ikhtilaful
Hadis), karya Imam Syafi’i (150-204 H). Beliau tidak mengumpulkan semua
hadis yang bermasalah. Hanya beberapa hadis saja yang beliau sebutkan. Agar hal
itu diteruskan oleh generasi setelahnya.
Kitab lain yang paling masyhur adalah (Takwilu
Mukhtalifil Hadis) karya Imam Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri
(213-276 H). Karya ini telah menentang musuh Islam yang mencurigai hadis-hadis
Nabi saw. Di antara para ulama ada juga yang menyisipkan disiplin ilmu
ini pada sub pembahasan tertentu. Misalnya: Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H),
Imam Ibnu Hajar al-Asqolany (w. 852 H) dalam Fathul Barinya, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rajab (w. 795 H), dan Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah.[13]
9. Beberapa Contoh Hadis Yang Mukhtalif dan
Musykil
Berikut pemakalah paparkan beberapa contoh
hadis musykil dan mukhtalif. Contoh hadis musykil yang
bertentangan dengan akal: (sesungguhnya Musa as menampar mata Malaikat Maut,
maka menyebabkan dia buta sebelah). Para musuh Islam melemparkan tuduhan: “jika
Malaikat itu bisa buta sebelah, maka dia bisa buta total. Dengan begitu,
mungkin Isa bin Maryam telah menampar yang sebelahnya lagi. Sebab dia juga
benci untuk mati”.
Ibnu Qutaibah menjelaskan: “sesungguhnya hadis
ini hasan. Dan ada dasarnya dalam kitab-kitab klasik. Hadis ini bisa
diinterpretasikan dengan baik. Para malaikat itu hamba Allah yang berbentuk ruhany.
Yaitu nisbat kepada ruh. Mereka seperti ruh yang tidak berfisik seperti
mereka. Mereka bisa mempunyai mata, tapi tidak seperti kita. Kita tidak tahu
bagaimana substansi mereka yang diciptakan oleh Allah swt. Pengetahuan kita
hanya terbatas pada sifat-sifat yang dituturkan Allah dan rasul-Nya.
Orang-orang Arab menyebut malaikat sebagai jin. Sebagaimana penuturan al-A’sya
dalam baitnya: “Sulaiman menundukkan sembilan dari jin Malaikat. Mereka
berdiri di sampingnya untuk bekerja tanpa upah”. Jadi semuanya tetap
mungkin, tapi sifatnya tidak berfisik seperti kita.
Misalnya dalam kitab ini disebutkan, “Pemfitnah
itu mengatakan, “Ada dua hadis yang bertentangan mengenai permasalahan air.
Kalian meriwayatkan hadis (air tidak bisa dinajiskan sesuatu), kemudian
kalian juga meriwayatkan (jika air sudah mencapai dua kulah, maka tidak bisa
terkena najis). Ini menunjukkan bahwa air yang kulah dua kulah bisa terkena
najis. Hal ini berbeda dengan konsekuensi arti hadis pertama”.
Ibnu Qutaibah menjawab, “Hadis ini tidak
bertentangan. Nabi saw bersabda (Air tidak bisa dinajiskan sesuatu) berdasarkan
kebiasaan dan adatnya. Sebab, biasanya air yang ada dalam sumur itu banyak.
Kemudian diekspresikan secara khusus. Seperti halnya seseorang yang berkata,
“banjir itu tidak tertahankan sesuatu”. Padahal kenyataannya tembok juga
bertahan. Maka maksudnya adalah banjir bah yang besar. Begitu juga ucapan “Api
tidak berharga”, maksudnya api yang membakar dan membuat madharat. Bukan
api pelita atau bahan bakar. Kemudian beliau menjelaskan seberapa kadar air
yang bisa menahan najis.” [14]
Kitab lain yang membicarakan ilmu ini adalah (Musykilul
Atsar) karya Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi (239-321 H). Kitabnya sebanyak
empat jilid cetakan India tahun 1333 H.
Kitab (Musykilul Hadis Wa Bayanuhu) karya
Imam Muhammad bin Hasan (Ibnu Faurak) Al-Anshari Al-Ashbihani (w. 406 H). Karya
ini membicarakan tentang hadis yang tampaknya mendukung konsep tajsim (menganggap
Allah swt adalah jisim) dan tasybih (menyerupakan Dzat Allah swt).
Beliau membantah tuduhan-tuduhan itu dengan argumentasi secara rasional (‘aqliyyah)
dan data-data lengkap (naqliyyah). Cetakan pada tahun 1362 H di
India.
D. Kesimpulan
Pemakalah simpulkan pembahasan tersebut di atas
sebagai berikut:
1. Ilmu
mukhtalifil hadis adalah disiplin ilmu yang membincangkan cara penyelesaian
problematika hadis yang secara lahir tampak bertentangan atau sulit ditangkap
artinya.
2. Obyek kajian
ilmu ini adalah beberapa tekstual hadis yang sulit dipahami maknanya, atau
bertentangan secara lahirnya.
3. Imam Syafi’i
adalah pelopor utama dalam pencetusan karya besar ilmu ini dengan kitab (Ikhtilaful
Hadis).
4. Kitab lain
yang terpenting adalah karya Ibnu Qutaibah, (Takwilu Mukhtalifil Hadis).
Daftar Pustaka
Al- Uwaisyis, Ali . t.t. Mukaddimah Fi
Mukhtalifil Hadis. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah versi 3,42.
As-Sakhowy, Muhammad. 1403. Fathul Mughis. Darul
Kutub al-Ilmiyyah: Baerut Lebanon. Maktabah: Syamilah.
Abdullah,Ad-Dainury. 1972. Takwilu
Mukhtalifil Hadis. Darul Jabal: Baerut Lebanon. Maktabah: Syamilah.
Abdullah, Ad-Dainury. 1995. Takwilu
Mukhtalifil Hadis. Darul Fikr: Baerut Lebanon.
Ajjaj Al-Khatib,Muhamad . 1989. Usulul
Hadis. Dar al-Fikr: Baerut Lebanon.
http://fuqohak.blogspot.com/2011/03/pembahasan-kitab-tafsir.html
[2]
Ali bin Abdirrahman, Al-Uwaisyiz. t.t. Mukaddimah Fi
Mukhtalifil Hadis. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah versi 3,42. hlm. 03.
[6]
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999),
hal. 97
[7]
Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’
al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah:
Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), h. 169
[8]
Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Âmir Ahmad
Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjtnya disebut
dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût,
Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 247-248
[9]
Contoh ini juga telah diungkapkan oleh Edi Safri, namun
penulis melakukan konfirmasi dengan kitab Ikhtilâf al-Hadîts. Lihat:Ibid. h.
112-118 bandingkan dengan al-Syafi’iy, Ikhtilâf al-Hadîts, op.
cit., h. 115-121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar