Makalah
Sejarah Lahirnya Theologi Mu’tazilah
Oleh: Sumanto, S.Pd.I, M.Pd.I
I.
PENDAHULUAN
Berbicara
perpecahan umat islam tidak ada habis-habisnya, karena terus-menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij dan syiah kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal
dan kebebasan berpikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang
tidak mengerti bagaimana islam menempatkan akal pada porsi yang benar, sehingga
banyak kaum muslim yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini.
Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah
diajarkan rasulullah dan para sahabatnya.
Didalam
penulisan makalah ini akan dibahas tentang sejarah lahirnya Mu’tazilah, asal
usul sebutan Mu’tazilah, tokoh-tokoh dan corak pemikirannya, faham-faham
Mu,tazilah dan cirri-ciri faham Mu’tazilah.
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Theologi Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah adalah aliran theology Islam terbesar dan tertua yang lahir sekitar pada permulaan abad pertama hijriyah di sebuah kota yang pada waktu itu merupakan pusat ilmu dan peradaban islam yaitu kota basrah di irak. Pada waktu itu banyak orang-orang yg ingin menghancurkan islam dari segi aqidah, baik dari mereka yang menamakan dirinya islam ataupun tidak.[1]
Seperti yang kita ketahui bersama, sejak
islam meluas banyak bangsa- bangsa yg masuk islam dan hidup di bawah
naungannya. Akan tetapi tidak semua yang memeluk islam memeluknya dengan
ikhlas. Ketidak ikhlasan itu terutama dimulai sejak permulaan khilafah umawi yg
memonopoli kekuasaan negara kepada orang islam dan bangsa arab sendiri. Sehingga
tindakan mereka tersebut menimbulkan kebencian terhadap bangsa arab dan
menyebabkan keinginan untuk menghancurkan islam itu sendiri, mengingat islam
merupakan sumber kejayaan dan kekuatan mereka baik dari segi fisik ataupun
psikis.
Diantara
lawan-lawan Islam adalah golongan Tasawwuf hulul (inkarnasi) yg mempercayai
bertempatnya tuhan pada manusia. Aliran mu’tazilah menjawab bahwa tuhan tidak
mungkin mengambil tempat pada apapun juga, dalam demikian muncullah aliran
mu’tazilah yang kemudian berkembang dengan pesatnya serta mempunyai metode dan
faham sendiri.
Kalau kita simpulkan dari pemaparan di atas
bahwa kelahiran aliran mu’tazilah untuk memback up Islam yang ingin di
hancurkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
B. Asal Usul Sebutan Mu’tazilah.
Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk ism faa’il dari kata I’tazala, ya’tazilu, I’tizaalan, mu’tazilun, mu’tazilah,[2] yang berarti jama’ah yang memisahkan diri, berpisah atau orang yang memisahkan diri yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri dan atau menyalahi pendapat orang lain. secara teknis penyebutan istilah mu’tazilah, ada dalam beberapa versi, antara lain :
1. Di sebut mu’tazilah karena Wasil bin Atha’
dan ‘Amar bin ‘Ubaid menjauhkan diri dari pengajian Hasan Basyri di masjid
basrah dan kemudian membentuk majlis ta’lim sendiri sebagai kelanjutan dari
pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin lengkap juga
tidak kafir lengkapmelainkan berada di antara dua tempat tersebut (al manzilatu
bainal manzilataini). Dengan adanya peristiwa tersebut, Hasan Basyri berkata “
Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”.[3] sehingga mereka
di sebut golongan mu’tazilah. Jadi penyebutan Mu’tazilah menurut versi ini
secara lahiriyah yaitu pemisahan fisik atau menjauhkan diri dari tempat duduk
orang lain.
2. Di sebut mu’tazilah karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan murji’ah dan golongan khawarij tentang tahkim atau
pemberian status bagi orang yang melakukan dosa besar. Golongan murji’ah
berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin, sedang menurut
golongan khawarij peleku dosa besar menjadi kafir dan menurut Hasan Basyri ia
menjadi orang munafik. Datanglah Wasil bin atha’ yg mengatakan bahwa pelaku
dosa besar bukan mukmin bukan pula kafir, melainkan fasik jadi penyebutan
mu’tazilah menurut versi yang kedua ini adalah secara ma’nawiyah yaitu
menyalahi pendapat orang lain.
3. Di sebut mu’tazilah karena pendapat mereka
bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjauhkan diri dari
golongan orang mukmin dan orang kafir. Yang berarti juga bahwa istilah
mu’tazilah itu menjadi sifat bagi pelaku dosa besar tersebut yang kemudian
menjadi nama/sifat bagi golongan yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
menyendiri dari orang orang mukmin dan orang kafir.
4. Menurut ahmad amin, nama Mu’tazilah
sebenarnya telah ada sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Basyri.Nama mu’tazilah
diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dalam oertikaian politik
yang terjadi pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi thalib. ia menjumpai
pertikain disana:satu golongan mengikuti pertikaian tersebut sedang satu
golongan yang lain menjauhkan diri ke kharbitha. Oleh karena itu, dalam surat
yang di kirimnya ke Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauh diri
tersebut dengan nama Mu’taziliin, sedang abu fida menamainya dengan Mu’tazilah.
Dari
pemaparan di atas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya pemberian nama Mu’tazilah
pada suatu golongan, karena perbedaan pendapat mereka dalam masalah tahkim atau
pemberian status terhadap pelaku dosa besar yang pada akhirnya golongan
mu’tazilah juga berperan besar dalam memback up islam dari musuh musuhnya yang
ingin menghancurkannya. Walaupun pada hakikatnya istilah Mu’tazilah telah ada
sejak sebelum peristiwa Wasil bin Atha’.
C.
Tokoh-tokoh
Aliran Mu’tazilah dan corak pemikiran Rasionalnya
Tokoh tokoh Mu’tazilah sangat banyak sekali jumlahnya dan masing-masing tokoh mempunyai pikiran dan ajaran ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh sebelumnya ataupun pada masanya. Di antara tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah antara lain :
1. Wasil bin Atha’ ( 80-131 H/699-748 M)
Lengkapnya Wasil bin Atha’ al Ghazzal, beliau terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan kepalanya yang pertama beliau pulalah yang meletakkan lima prinsip ajaran Mu’tazilah.[4]
2. AL-Allaf ( 135-226 H/752-840 M)
Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al Allaf, beliau merupakan murid dari Usama at Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya terjadi pada msa al Ma’mun. dalam suatu riwayat di sebutkan bahwa ada sekitar 3000 orang yang masuk islam di tangannya hal itu di karenakan hidupnya penuh dangan perdebatan dengan orang orang zindiq, skeptik, majusi, Zoroaster. Al-alaf menerapkan Filsafat kepada ajaran-ajaran teologi dan mengatakan bahwa “gambaran-gambaran” yang diberikan Allah mengenai hari kiamat hanya alegori semata-mata dan bahwa sifat-sifat-Nya hanya kekal dalam kaitannya dengan dunia.[5]
3. An-Nazham ( wafat 231 H/845 M )
Lengkapnya Ibrahim bin Sayyar Bin Hani an Nazzham,beliau murid dari Al Allaf ,beliau juga merupakan tokoh terkemuka yang fasih bicaranya dan terkean mempunyai otak yang cerdas.dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya,antara lain tentang methode of doubt dan empirika yang menjadi dasar renaissance di eropa. Ia juga mengatakan bahwa kemahakuasaan Allah itu dibatasi oleh kodrat-Nya, dan kehendak Allah adalah tidak lain dari perantaraan-Nya.[6]
4. AL Jubbai’e ( wafat 303 H/915 M )
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali al Jubba’ie,beliau murid dari as Syahham ( wafat 267 H/885 M )yang juga tokoh mu’tazilah. Beliau juga guru dari Imam Asy’ary,tokoh utam alira al Asy’ariyah. Salah satu pemikirannya adalah manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh atau tidak kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[7]
5. Bisyr bin AL Mu’tamir ( wafat 226 H/840 M )
Beliau adalah pendiri aliran mu’tazilah bahgdad. Pandangannya tentang kesusasteraan menimbulkan dugaan bahwa dialah oaring yang pertama mengadakan ilmu balaghah.diantara murid muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran aliran mu’tazilah di bagdad adalah Abu Musa Al Mudar,Tsumamah bin al Asyras, dan Ahmad bin Abi Fu’ad.
6. Az- Zamaihsyari ( 467-538 H / 1075-1144 M )
Namanya jar Allah Abul Qosim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negri Chawarazm,Iran.pada diri beliau terkumpul karya aliran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. beliau juga menjadi tokoh dalam ilmu nahwu, tafsir dan paramasastera(lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam kitab Al Kassyaf, Al Faiq.
D. Ajaran-ajaran Pokok Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang juga di kenal Al Ushul Al Khamsah yang di urut menurut kepentingan dan kedudukannya.kelima ajaran dasar pokok tersebut adalah :[8]
1. Keesaan ( Tauhid )
At Tauhid merupakan prinsip utama dan inti sari dalam ajaran mu’tazilah.walau sebenarnya setiap madzhab teologis dalam islam memegang doktrin ini, namun bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik.Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya.Tuhanlah satu satunya yang esa,tak ada satupun yang menyamai-Nya. Boleh jadi apa yang menyebabkan mereka mempetahankan Keesaan itu semurni-murninya ialah karena mereka menghadapi golongan syi’ah rafidahyang extrem dan yang menggambarkan tuhan dalam bentuk yang berjism dan bisa di indera, di samping golongan golongan agama dualisme dan trinitas.
Untuk
memurnikan keesaan tuhan,mu’tazilah menolak konsep tuhan yang memiliki sifat
sifat,penggambaran fisik tuhan(antromorfisme tajassum),dan tuhan dapat di lihat
dengan mata kepala.mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa,tak ada satupun
yang menyamai-Nya.Dia maha melihat,mendengar,kuasa,dll. Namun mendengar,melihat
dan kuasa tuhan bukan sifat tapi dzat-Nya.menurut mereka sifat adalah sesuatu
yang melekat.jadi bila sifat tuhan yang qadim,berarti ada dua yang qadim.
2. Keadilan tuhan ( Al ‘Adlu)
Kadir
Sobur (2008), menjelaskan bahwa kata “keadilan” berasal dari bahasa Arab al-‘adl,
yaitu masdar dari ‘adala, ya’dilu, ‘adlan.[9] merupakan ajaran
dasar mu’tazilah yang ke dua adalah Al Adlu, keadilan tuhan, yang berarti tuhan
maha adil.Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan
kemaha sempurnaan,karena tuhan maha sempurna,dia pasti adil.dan semua orang
percaya akan hal itu tetapi mu’tazilah memperdalam arti keadilan serta
menentukan batas batasnya,sehingga menimbulkan beberapa persoalan.
Dasar
keadilan yasng di pegangi mereka ialah meletakkan pertanggungan jawab manusia
atas segala perbuatannya.dalam menafsirkan keadilan mereka berkata :
“Tuhan
tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. manusia bisa
mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya,dengan kodrat (kekuasaan
) yang di jadikan oleh tuhan pada diri mereka.Ia hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya.Ia hanya menguasai kebaikan kebaikan yang diperintahkan-Nya dan
tidak campur tangan dengan keburukan yg d larang-Nya. Sehingga kelanjutan dari
prinsip tersebut bisa di tarik benang merah yg antara lain:
• Tuhan menciptakan manusia atas dasar tujuan
dan hikmah
• Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak
oula memerintahkannya
•
Manusia punya kesanggupan untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya,sehingga
dengan demikian dapat dipahami ada perintah perintah tuhan,janji dan
ancamanNya,pengutusan rosul rosul,tiada kedzaliman pada tuhan.
•
Tuhan harus dan mesti mengerjakan yang baik dan yang terbaik karena itu
merupakan kewajiban tuhan untuk menciptakan,memerintahkan manusia serta
membangkitkannya kembali.
Ahmad
Muthohar (2008) dalam bukunya Teologi Islam, menurut An-Nazham dan para tokoh
Mu’tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan mampu berbuat zalim dan
berdusta kepada manusia. Sebab, apabila Tuhan berbuat zalim dan berdusta maka
tuhan tidak adil. Oleh karena itu, segala perbuatan Tuhan haruslah baik (as-shalah
wa al-ashlah).[10]
3. Janji dan Ancaman (Al Wa’du wal Wa’id )
Ajaran dasar yang ketiga dalam aliran mu’tazilah adalah tentang janji dan ancaman tuhan ( Al Wa’du wal Wa’id ). prinsip ini sangat erat hubungannya dengan keadilan tuhan.prinsip ini kelanjutan dari prinsip yang kedua yaitu tentang keadilan tuhan.yang artinya aliran mu’tazilah yakin bahwa tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya,yaitu janji akan memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan janji akan menjatuhkan siksaan bagi orang yang durhaka pada-Nya.
Ini
sesuai dengan prinsip keadilan tuhan.jelasnya siapa yang berbuat baik akan di
balas dengan kebaikan pula.begitu pula sebaliknya siapa yang berbuat ma’siat
maka akan di balas dengan siksaan yang pedih.dengan kata lain barang siapa yang
keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh taubat,ia berhak atas pahal
yang di janjikan tuhan.dan siapa yang keluar dari dunia tanpa taubat dari dosa
besar,maka ia akan di abadikan di neraka walau lebih ringan siksaannya dari
orang kafir.
Pendirian
ini kebalikan dari pendapat golongan murji’ah yang mengatakan bahwa kema’siatan
tidak mempengaruhi iman kalau pendirian ini di benarkan,maka ancaman tuhan
tidak akan ada artinya.karena itulah golongan mu’tazilah mengingkari adanya
syafaat pada hari kiamat,dengan mengenyampingkan ayat ayat yang menetapkan
adanya syafi’at ( baca Al Baqarah ayat 254 dan 45 ),karena menurut mereka hal
itu bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman tuhan.
4. Al Manzilatu bainal Manziltaini
Karena prinsip ini,wasil bin atha’ memisahkan diri dari majlis hasan basri yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya istilah mu’tazilah yang setelah waktu berkembang menjadi nama golongan atau aliran.
Prinsip
“ di antara dua tempat” ini pada dasarnya merupakan pembahasan seputar tahkim
terhadap pelaku dosa besar.Menurut pendapat wasil bin atha’ pelaku dosa besar
selain syirik,bukan lagi menjadi orang mukmin(murji’ah)dan bukan pula menjadi
orang kafir (khawarij) melainkan menjadi orang fasik.jadi kefasikan merupakan
tempat tersendiri antara kufur dan iman.tingkatan seorang fasik berada dibawah
orang mukmin dan di atas orang kafir.pendapat ini juga beda dengan pendapat
hasan basri yang mengatakan bahwa peelaku dosa besar di hukumi munafik.
5.Memerintahkan kebaikan dan mel;arang
keburukan ( Al ‘amru bil ma’ruf wa An nahyu ‘anil munkari).
Ajaran dasar yang kelima adalah amar ma’ruf
nahi munkar.ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan
kebaikan.ini merupakan konsekwensi logis dari keimanan seseorang.pengakuan keimanan
seseorang harus di buktikan dengan perbuatan baik,yang salah satu diantaranya
adalah menyuruh orang berbuat baik dan melarangnya berbuat buruk.
Sumber-sumber dari prinsip ini antara lain
terdapat dalam :
* Al Qur’an : surat Ali Imran ayat 104 dan surat
Luqman ayat 17.
*Al Hadist : sabda sabda Nabi S.A.W. yang
antara lain :
“ man ro’a minkum munkaron fal yughayyir bi
yadihi fain lam yastathi’ fa bi lisanihi fain lam yastathi’ fa
biqolbihi,wadzalika adh’aful iman”.
Sejarah
pemikiran islam membuktikan betapa giatnya orang mu’tazilah mempertahankan
islam terhadap kesesatan yang tersebar luas pada masa khilafat bani abbasiyyah
yang hendak menghancurkan kebenaran kebenaran islam,bahkan mereka tak segan
segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut,meskipun
terhadap golongan islam sendiri.
D. Ciri-Ciri Faham Mu’tazilah
- Orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat,
maka hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir , namun diantara keduanya dan
di akhirat kelak ia berada dintara surga dan neraka. ( Al – Manzilah Baina
Al – Manzilahtain )
- Akal merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditentukan oleh
akal.
- Bila terjadi perbedaan antara akal dan Al-Qu’ran serta Hadist
maka yang diambil adalah ketentuan akal.
- Al- qur’an adalah Makhluk dan bukan firman Allah.
- Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat
kelak.
- Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, bukan dengan jasad dan ruh
namun hanya melalui mimpi sebab mustahil menurut akal dalam waktu yang
relatif singkat manusia dapat menempuh jarak yang luar biasa jauhnya dan
penuh rintangan dan resiko.
- Perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendirinya baik
atau buruknya dan bukan ditentukan oleh Allah.
- Bahwa Arsy itu tidak ada.
- Surga dan neraka itu tidak ada, sebab yang kekal hanyalah
Allah semata.
- Shirat, yaitu jembatan yang melintang diatas neraka jahanam
itu tidak ada.
- Mizan, yaitu timbangan amal manusia di akhirat itu tidak benar
adanya, sebab amal manusia itu bukan singkong maka tidak dapat ditimbang
dan tidak perlu timbangan.
- Haudl atau sungai atau telaga yang diceritakan ada di dalam
surga itu tidak ada.
- Bahwa siksa dan nikmat kubur tidak ada , sebab manusia setelah
dikubur sudah menyatu kembali dengan tanah .
- Manusia setelah meninggal dunia itu sudah tidak mendapat
manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu di do’akan, dimintakan
ampunan atas dosa- dosanya atau diberi hadiah pahala. Hadiah pahala tidak
sampai kepada orang yang mati, karena mereka sudah menjadi tanah.
- Bahwa Allah wajib membuat yang baik dan yang lebih baik untuk
manusia.
- Allah tidak mempunyai sifat–sifat dan nama–nama, maka haram
membaca atau mengkaji sifat–sifat Allah, sebab Allah mendengar dengan Dzat
- Nya, melihat dengan Dzat – Nya dan segala sesuatu yang dilakukan oleh
Allah dengan dzat –nya.[12]
- Tidak mempercayai adanya Mu’jizat bagi nabi Muhammad Saw,
selain Al – Qur’an.
- Halal hukumnya mencaci maki sahabat yang salah.
- Surga dan neraka itu saat ini belum ada, dan baru akan dibuat
oleh allah nanti bila kiamat sudah tiba.
E. Perkembangannya
Mu’tazilah
berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakan diatas pandangan bahwa akal
adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah tepatnya tahun 105 atau
110 H di kota Bashroh di bawah pimpinan Waashil Bin Atho,[13]
lalu menyebar ke kota Kufah dan Baghdad. Akan tetapi pada masa ini Mu’tazilah
menghadapi tekanan yang berat dari para pemimpin Bani Umayyah yang membuat
aliran ini sulit berkembang dan sangat menghambat penyebarannya sehingga hal
itu membuat mereka sangat benci bani umayyah.
Permusuhan
dan perseteruan antara Bani Ummayyah ini berlangsung terus–menerus denga keras
sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah,
kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasan Bani Abasiyah, berkembanglah
Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para da’i dan delegasi–delegasi ke
seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan I’tikad mereka kepada kaum
muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini
adalah Waashil Bin Atho. Kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka
memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani
Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikuti aqidah mereka apalagi
ditambah dengan persetujuan Al Ma’mun terhadaf pendapat mereka tentang
Al–Qur’an. Mereka mengatakan bahwa Al–Qur’an itu makhluk sampai–sampai Al
Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk
mengikuti dan menyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirim
mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para
Hakim, Muhadditsin dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al–Qur’an adalah
makhluk. Beliau juga memerintahkan hakim untuk tidak menerima persaksian orang
yang tidak sependapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka
terjadilah fitnah yang sanagt besar. Diantara para ulama yang mendapat ujian
dan cobaan ini adalah Al –Imam Ahmad Bin Hambal. Beliau merupakan ulama yang
sangat terkenal pada masa itu, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan
pendapat ahli sunnah wal jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al–Qur’an
adalah kalamullah dan bukan mahkluk.
Walaupun
Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami
kehidupan akal sejak abad kedua samapai abad kelima Hijriyah, akan tetapi tidak
mendapat keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan
kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampak terjadi karena mereka tidak mengambil
sumber atau berlandaskan Al–Qur’an dan Sunnah Rasul, bahkan mereka mendasarinya
dengan bersandar kepada akal semata yang telah rusak oleh pemikiran filsafat
Yunani dan bermacam–macam aliran pemikiran.
Akibat
dari setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan kalamullah dan Sunnah Nabi
maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya,
karena mengambil sumber penerangan dari Al–Kitab dan Sunnah Nabi akan menerangi
jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat. Menurut para sufi apabila akal
berpedoman atau berpegang teguh pada sumber yang murni yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul berarti akal tersebut akan menjadi akal yang terang benderang
seolah–olah diterangi cahaya Ilahi serta jauh dari kesesatan dan penyimpangan.
F. Metode Mu’tazilah
Ciri
khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal.[14] Prinsip ini
mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka
berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang
tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang hampir mirip dengan
Descartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql
(teks Al–Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu–ragu mereka menundukkan naql
kepada hukum akal.[15]
Mereka
menguasai berbagai pandangan religius dan filosofis yang melingkupi mereka.
Sayangnya kecenderungan rasionalisme mereka yang ekstrim itu mendorong mereka
untuk menerapkan hukum–hukum akal terhadaf alam langit seperti ketika
menghukumi alam bumi, sehingga mengiring mereka kedalam pandangan–pandangan
yang begitu berani, yang akhirnya mengiring mereka ke dalam filsafat ketuhanan
yang selamanya tidak mengkonsekuensikan semua pengertian keagungan dan
kesempurnaan yang sepantasnya (bagi Allah)
Aliran
Mu’tazilah juga mensucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir ini,
mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan–lawan maupun ke dalam, antar
sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan
pandangan–pandangan yang paling aneh, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya.
Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang
murid berhak menentang pendapat gurunya, bahkan anak pun boleh menentang
pendapat ayahnya sendiri.kaum Mu’tazilah pendapat dalam masalah detail, dan
mereka menjadi kelompok di dalam kelompok tidak ada aliran teologi yang
membiasakan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam perpecahan yang terjadi
di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak–anak dari satu keluarga saling
menuduh kafir.
Tuduhan
inilah yang begitu populer pada banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para
pemikir merdeka itu mengharuskan manusia membawa pedang untuk menumpas sebagian
pandangan mereka khususnya yang tidak ada hubungannya dengan inti akidah.
Kaum Mu’tazilah berusaha meletakan kebebasan
dan tanggung jawab manusia dengan porsi yang begitu besar. Untuk itu, kaum
Mu’tazilah berusaha mendapatkan justifikasi Al-Qur’an dalam mengabsahkan
paham-paham mereka.[16]
III.
KESIMPULAN
Mu’tazilah adalah aliran theology Islam
terbesar dan tertua yang lahir sekitar pada permulaan abad pertama hijriyah di
kota basrah di irak.
Secara garis besar mengenai pemikiran rasional dan
tradisional dalam ilmu kalam dapat dibedakan seperti berikut :
Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip yaitu:
·
Hanya
terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan
Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli. Dengan adanya dogma tersebut membuat para
pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.
·
Memberikan
kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta
memberikan daya yang kuat kepada akal.
Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip
sebagai berikut:
·
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni.
Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti,
hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak tidak memberikan kebebasan kepada
manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas.
·
Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan
dalam berpikir).
DAFTAR PUSTAKA
A. Kadir Sobur, Teologi Progresif, (Jambi; CV. Tanggamas,
2008)
Ahmad Muthohar, Teologi Islam Konsep Iman antara Mu’tazilah
& Asy’ariyah, (Yogyakarta; Teras, 2008)
C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
(Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,1989),
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 2009)
Mahmud Yunus, Kamus ‘Arabic,
(Jakarta; PT. Hidakarya Agung, 1990),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar