Motivasi Kerja Dalam Islam
Oleh:
Sumanto, S.Pd.I, M. Pd.I
I. Pendahuluan
Agama Islam yang berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin
mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan
kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga,
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu
lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada muslim
yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita
kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal
dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk meningkatkan motivasi
kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui
rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Untuk
mengetahui motivasi kerja dalam Islam, kita perlu memahami terlebih dahulu
fungsi dan kedudukan bekerja. Mencari nafkah dalam Islam adalah sebuah
kewajiban. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan kebutuhan manusia,
diantaranya kebutuhan fisik. Dan, salah satu cara memenuhi kebutuhan fisik itu
ialah dengan bekerja.
Motivasi
kerja dalam Islam itu adalah untuk mencari nafkah yang merupakan bagian dari
ibadah. Motivasi kerja dalam Islam bukanlah untuk mengejar hidup hedonis, bukan
juga untuk status, apa lagi untuk mengejar kekayaan dengan segala cara. Tapi
untuk beribadah. Bekerja untuk mencari nafkah adalah hal yang istimewa dalam
pandangan Islam.
Motivasi
Kerja Dalam Islam
II.
Pembahasan
A. Pengertian Motivasi
Dalam Islam kata Motivasi lebih
dikenal dengan Niat yaitu dorongan yang tumbuh dalam hati manusia,yang
menggerakkan untuk melaksanakan amal perbuatan atau ucapan tertentu.
Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subjek untuk melakukan aktivitas – aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai kondisi intern (kesiap siagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka “motivasi” dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif, motif menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan mendesak.[1]
Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subjek untuk melakukan aktivitas – aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai kondisi intern (kesiap siagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka “motivasi” dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif, motif menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan mendesak.[1]
B.
Pengertian
Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk
usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi,
intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian
atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta
mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah
sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH.
Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan
atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan
kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan
dirinya.
Lebih
lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.[2]
Di dalam kaitan
ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti
oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut
dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman
dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja
sebagai suatu etika kerja positif dan negatif.
Di dalam al-Qur’an
banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita temukan 22
kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62,
an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal
(perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan
al-Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu
(mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat
al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun
dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan
sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka,
‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya
dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur:
21.
6) Terdapat 27
kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat
al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu,
banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a,
yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya
ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga
menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya
iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh…” (Al-Kahfi: 110).[3]
Ada juga ayat
al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah
SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah
kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah
al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah:
10)
Pengertian
kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah
pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini,
sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan
menerima upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan
seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun
kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan
majikan, kondisi semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang
seringkali memunculkan konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang
menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep
klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam,
konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika
menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori
pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka
pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga mencakup seluruh
jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini
tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah,
perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :[4]
1) al-Hirafiyyin;
mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para
pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka
yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin:
mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu
perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah:
para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un:
para petani.
Pengertian tersebut tentunya
berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah
bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.
(HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat
atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil
kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain
disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat
memuaskan kedua belah pihak.
Cobalah simak beberapa kutipan hadist dibawah ini.
Anda bisa melihat bagaimana istimewanya bekerja mencari nafkah menurut sabda
Nabi saw.
Sesungguhnya Allah suka kepada hamba
yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah
mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di
jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
Luar biasa, dikatakan dalam hadits diatas bahwa
mencari nafkah adalah seperti mujahid, artinya nilainya sangat besar. Allah
suka kepada hambanya yang mau berusah payah mencari nafkah. Saya kira, ini
lebih dari cukup sebagai motivasi kerja kita sebagai muslim. Bahkan, kita pun
berpeluang mendapatkan ampunan dari Allah.
Barangsiapa pada malam hari
merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka
pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)
Mencari rezeki yang halal dalam agama Islam hukumnya
wajib. Ini menandakan bagaimana penting mencari rezeki yang halal. Dengan
demikian, motivasi kerja dalam Islam, bukan hanya memenuhi nafkah semata tetapi
sebagai kewajiban beribadah kepada Allah setelah ibadah fardlu lainnya.
Mencari rezeki yang halal adalah
wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR.
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Perlu diperhatikan dalam hadist di atas, ada kata
sesudah. Artinya hukumnya wajib sesudah ibadah lain yang fardhu. Jangan sampai
karena merasa sudah bekerja, tidak perlu ibadah-ibadah lainnya. Meski kita
bekerja, kita tetap wajib melakukan ibadah fardhu seperti shalat, puasa, ibadah
haji, zakat, jihad, dan dakwah. Jangan sampai kita terlena dengan bekerja
tetapi lupa dengan kewajiban lainnya.
C. Motivasi Kerja Sebagai Ibadah
Jika motivasi kerja kita sebagai ibadah, tentu yang
namanya ibadah ada aturannya. Memang berbeda dengan ibadah ritual atau ibadah
mahdhah, sebab bekerja sebagai ibadah ghair mahdhah. Artinya, dalam kaidah
ushul Fiqh, kita memiliki kebebasan yang luas untuk bekerja selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Langkah pertama agar bekerja menjadi
sebuah ibadah ialah harus diawali dengan niat, sebab amal akan tergantung niat.
Niatkanlah bahwa bekerja sebagai salah satu ibadah kepada Allah.
Langkah kedua ialah pastikan dalam
bekerja tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu kita perlu
memperhatikan:[5]
- Apa yang dikerjakan? Untuk apa kita bekerja?
Apakah kita bekerja untuk sesuatu yang dihalalkan oleh agama? Pastikan
kita bekerja untuk sesuatu yang tidak bertentangan dengan ajaran agama
Islam.
- Cara melakukan pekerjaan kita. Apakah cara-cara
Anda bekerja sesuai dengan ajaran Islam? Bagaimana dengan pakaian, batasan
antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
D.
Prinsip-prinsip kerja dalam Islam
1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah
perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ : 13)
اعْمَلُوا
آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada
pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah – QS.
Al-Baqarah : 201)
وِمِنْهُم
مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki:
al-qawiyy dan al-amiin. QS. Al-Qashash : 26
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
4. Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat
diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional,
intelektual, spiritual)
5. Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity,
satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
6. Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap
pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda
Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau
memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)
7. Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan
dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti
yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
8. Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja,
maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya
dan hasanah fi al-akhirah.[6]
E. Etika Kerja
dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon
(tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan
tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi
keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja.[7]
Sebagaimana
dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan
kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan
muatan ketaqwaan.
Penggunaan
istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi
menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada
kedudukan terhormat.
Pandangan
Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu
tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh
seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat
pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan
sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima
merasa tersakiti hatinya.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…”
(al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan
pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis
pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan
iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja
mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya
kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa.
Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau
imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah
SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.[8]
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi,
jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen
terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping
itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja
menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja
yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
- Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat,
mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan
secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu
untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras
memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah
usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
- Berusaha
dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
- Dilarang
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja,
semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
- Islam
tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya
dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
- Professionalisme
yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan
prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat
amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan
benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan
akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya
produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan
alat-alat produksi
E.
Etos Kerja
Seorang Muslim
Jika tujuan bekerja begitu agung. Untuk mendapatkan
ridha Allah Subhaanahu wa ta’ala, maka etos kerja seorang Muslim haruslah
tinggi. Sebab motivasi kerja seorang Muslim bukan hanya harta dan jabatan,
tetapi pahala dari Allah. Tidak sepantasnya seorang Muslim memiliki etos kerja
yang lemah. Coba perhatikan diatas, ada kata-kata “susah payah” dan “kelelahan”
yang menandakan etos kerja yang tinggi, suka bekerja keras, dan jauh dari sifat
malas.[9]
Jadi,
tidak ada kata malas atau tidak serius bagi seorang Muslim dalam bekerja.
Motivasi kerja dalam Islam bukan semata mencari uang semata, tetapi serupa
dengan seorang mujahid, diampuni dosanya oleh Allah SWT, dan tentu saja ini
adalah sebuah kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT.
1.
Profesional
dan Ahli
Dalam hadits diatas juga disebutkan kata profesional
dan ahli. Jika motivasi kerja Anda sebagai ibadah, maka Anda akan melakukannya
dengan sebaik mungkin. Anda akan terus meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan Anda dalam bekerja. Anda terus belajar dan berlatih agar semakin
hari menjadi semakin ahli dalam bekerja. Kemauan Anda untuk belajar dan
meningkatkan kemampuan bisa dijadikan ukuran apakah motivasi kerja Anda untuk
ibadah atau bukan.
2.
‘Adil Dalam
Bekerja
Salah satu bentuk profesional itu adalah ‘adil, yaitu
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika waktunya bekerja, Anda bekerja. Jika
waktunya istirahat atau shalat, Anda bisa shalat dan istirahat. Jika tidak, maka
bisa termasuk melakukan hal yang dzalim, tidak menempatkan sesuatu pada
tempatnya. ‘Adil juga berarti, Anda bekerja sesuatu tugas, wewenang, dan
tanggung jawab yang Anda miliki.[10]
Semoga motivasi kerja kita semua sebagai ibadah dan
dibuktikan dengan melakukan pekerjaan sebaik mungkin.
III.
Kesimpulan
Ketika
motivasi dikaitkan dengan niat dan niat dikaitkan dengan keikhlasan maka hal
ini sangat sulit diukur, namun yang perlu digaris bawahi terlepas dari
keikhlasan dan riya ketika motivasi itu dibahas dan dibicarakan maka ada
persamaannya yaitu sama–sama sulit diklaim secara mutlak namun hanya bisa
diprediksi kemungkinannya. kata niat jika disejajarkan lebih tinggi daripada
motivasi karena motivasi seorang muslim harus timbul karena niat pada Allah.
Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama–sama dipakai dengan arti
yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish),
dorongan (drive) atau kekuatan. Ethos
kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha
Allah SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu
diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga
menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja,
berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan
relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
(3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja,
semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba
dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap
pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Qur’an dan
Terjemahan, Depag RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika
kerja dalam Islam, Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat
Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan
Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan
al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta
: Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar