BAB I
PENDAHULUAN
Sejak sekitar abad ke-3
S.M. istilah filologi sudah dipakai oleh para ahli di Aleksandria (Baried,
1983: 1-2).[1]
Dikatakan bahwa kegiatan mereka adalah berusaha mengkaji teks-teks lama yang
berasal dari bahasa Yunani. Pengkajian mereka terhadap
teks-teks tersebut bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui
maksud pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat
di dalamnya. Usaha mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks
(varian) akan diketahui adanya bacaan yang rusak (Korup).
Jadi tugas filologi
adalah untuk memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap teks, dan tujuan
kritik teks ialah menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya.
Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali
seperti semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber
untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang-bidang ilmu lain (1983: 93).
BAB II
PEMBAHASAN
OLEH: SUMANTO
A.
PENGERTIAN
FILOLOGI
Filologi ialah suatu ilmu yang
obyek penelitiannya naskah-naskah lama. Sebelum kita membicarakan pokok-pokok
pengertian tentang filologi ini lebih lanjut, baiklah kita jelaskan terlebih
dahulu, apa yang dimaksud dengan naskah ini. Yang dimaksudkan dengan naskah di
sini, ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar,
kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada
naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak
dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan
biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris
naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan
peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut
piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu
disebut epigrafi.[2]
Mengingat bahan naskah seperti
tersebut di atas, jelaslah, bahwa naskah itu tidak dapat bertahan beratus-ratus
tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang khusus, sebagaimana
dapat kita jumpai di luar negeri. Pemeliharaan naskah agar tidak cepat rusak,
antara lain : mengatur suhu udara tempat naskah itu disimpan, sehingga tidak
cepat lapuk; melapisi kertas-kertas yang sudah lapuk dengan kertas yang khusus
untuk itu, sehingga kuat kembali; dan menyemprot naskah-naskah itu dalam jangka
waktu tertentu dengan bahan kimia yang dapat membunuh bubuk-bubuk yang memakan
kertas itu. Demikian antara lain pemeliharaan khusus terhadap naskah-naskah
itu, tetapi tinta yang memecah dan kertas yang cepat menguning atau dengan kata
lain kualitas tinta dan kertas yang kurang baik sukar diatasi.
Dapatlah dibayangkan, bahwa apabila
naskah-naskah tidak dirawat dengan cermat akan cepat sekali hancur dan tidak
bernilai lagi sebagai warisan budaya nenek moyang. Naskah bukanlah perhiasan
yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkannya saja. Naskah itu baru berhar,
apabila masih dapat dibaca dan dipahami.
Semua naskah itu dianggap sebagai
hasil sastra lama dan isi naskah itu bermacam-macam. Ada yang sebetulnya tidak
dapat digolongkan dalam karya sastra, seperti undang-undang, adat-istiadat,
cara-cara membuat obat, dan cara membuat rumah. Sebagian besar dapat
digolongkan dalam karya sastra, dalam pengertian khusus, seperti cerita-cerita
dongeng, hikayat, cerita binatang, pantun, syair, gurindam, dsb. Ituah sebabnya
pengertian filologi diidentikkan dengan sastra lama.
Sebagai contoh keragaman isi naskah
itu dapat kita lihat padanaskah-naskah Melayu yang tersimpan di Museum Pusat
Jakarta, berdasarkan Katalogus Koleksi Naskah Melayu. Dalam katalogus
itu naskah dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :[3]
I. Hikayat : 243 judul
II. Cerita kenabian : 138 judul
III. Cerita sejarah : 58 judul
IV. Hukum dan adat : 50 judul
V. Puisi : 99 judul
VI. Pustaka agama Islam : 273 judul
VII. Aneka ragam : 92 judul
Demikianlah sala satu contoh
keragaman isi naskah itu.
Hasil sastra pada naskah ini dapat
dikatakan sebagai periode atau tahap kedua dalam kehidupan sastra pada umumnya.
Tahap pertama kehidupan sastra itu muncul secara lisan, sebelum orang mengenal
tulisan. Sebagaimana diketahui sastra lisan tidak merupakan obyek penelitian
filologi. Hasil sastra pada naskah ini dapat pula dianggap sebagai periode
pertama kehidupan sastra setelah orang mengenal tulisan.
Sekarang
kita kembali membicarakan apa yang dimaksud dengan filologi itu. Filologi
berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos.
Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos berarti
juga ilmu). Jadi filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata.
Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata
dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan
sebagainya, sehingga jelas bentuk dan artinya.
Pengertian filologi ini kemudian
berkembang; dari pengertian cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu.
Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya,
tetapi juga ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah.
Obyeknya tetap sama, yaitu naskah. Dari penelitian filologi, kita dapat
mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra itu, seperti
kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa.[4]
Memang pekerjaan utama dalam
penelitian filologi itu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Haryati Soebadio, ialah
mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang berarti memberikan
pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga
kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat pada aslinya, karena naskah itu
sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya; serta cocok pula dengan
kebudayaan yang melahirkannya, sehingga perlu dibersihkan dari tambahan yang
diterakan dalam zaman kemudian yang dilakukan waktu penyalinannya. Hal ini
penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.
Jelaslah, suatu naskah harus
terlebih dahulu diteliti secara cermat, diperbandingkan, setelah itu barulah
dapat dipergunakan untuk penelitian lain, seperti sejarah, undang-undang, agama
dan sosiologi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu
tidak salah atau disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda antara satu
naskah dengan naskah lain. Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu
disebabkan salah tulis, salah baca, kelupaan, terlampaui menulisnya, sehingga
akan menimbulkan salah tafsir. Suatu naskah baru boleh dibahas isinya, kalau naskah
yang bersangkutan sudah diteliti sedalam-dalamnya secara filologi, seperti
tersebut di atas. Sebelum studi filologi dilakukan, hasilnya belum bisa
dipastikan. Boleh dikatakan hasilnya baru bersifat sementara, sebab tidak bisa
ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan disalahartikan oleh ahli
sejarah, ahli sosiologi, ahli hukum, dsb.
Suatu cerita tertulis dalam satu
atau lebih naskah dan pada umumnya lebih dari satu naskah; ada yang lebih dari
40 buah naskah seperti Tambo Minangkabau. Suatu naskah diperbanyak dengan jalan
menyalin yang dapat dikerjakan oleh siapa saja, karena cerita dianggap milik
bersama. Tetapi harus pula diingat, bahwa orang yang pandai menulis pada waktu
itu juga sangat sedikit, sehingga tidak heran kalau orang yang mempunyai naskah
itu merasa bangga sekali dan menganggapnya sebagai benda keramat. Kalau ada
orang yang hendak membacakan isi naskah itu diharuskan pula mengadakan upacara
tertentu pula.
Semakin banyak naskah untuk suatu
cerita, sebetulnya semakin baik, sehingga kita mendapatkan gambaran yang jelas
terhadap cerita itu; akan tetapi penelitian itu semakin rumit, karena akan
memakan waktu dan meminta ketelitian untuk membaca semua naskah itu dan
memperbandingkannya.
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa
naskah itu disalin. Jawabnya ada beberapa kemungkinan. Naskah itu disalin,
karena keinginan memiliki cerita itu, atau mungkin naskah asli sudah rusak,
sehingga terpaksa dibuatkan salinannya yang baru. Berdasarkan hal itu timbul
beberapa buah naskah yang sejenis. Mungkin juga suatu cerita lisan yang telah
tersebar di kalangan masyarakat, kemudian timbul keinginan hendak menyalinnya.
Naskah-naskah jenis inilah umumnya yang banyak kita jumpai
perbedaan-perbedaannya.
Berdasarkan pengamatan terhadap
naskah-naskah yang ada, dapatlah diperkirakan cara menyalin naskah tersebut
sebagai berikut. Penyalin menyalin suatu naskah secara ototis, tidak cermat dan
tidak memperhatikan isi kalimat naskah yang disalinnya itu, sehingga sering
kali terdapat salah tulis. Ada juga penyalin memperhatikan isi kalimat,
sehingga dengan sengaja mengubah kata, menambah atau mengurangi kata-kata atau
susunan kalimat yang dianggap salah itu, sehingga terdapat beberpa naskah yang
gaya bahasanya berbeda. Dan kemungkinan lain seperti telah disebutkan di atas,
cerita disalin dari cerita lisan. Sudah barang tentu dalam menuliskan ada
bagian yang lupa atau susunan cerita yang berbeda.
Hal-hal itulah yang perlu
dijelaskan oleh filolog. Filolog yang cermat harus dapat menjelaskan, apa
sebabnya penyalinan naskah menuliskan kata-kata salah atau kurang jelas atau
sembrono. Apakah hal itu disebabkan penulisannya tidak teliti, atau penulisnya
tidak tahu kata-kata yang dituliskannya, karena kurangnya pengetahuannya
terhadap kata-kata dan isi cerita naskah yang disalinnya itu, sehingga tidak
mengerti maksud penulis naskah yang naskahnya digunakan sebagai sumber itu.
B.
Cara
Kerja Penelitian Filologi
Sekarang sampailah kita
membicarakan cara kerja penelitian filologi itu. Ada beberapa masalah pokok
yang perlu dilakukan dalam penelitian filologi itu, diantaranya, yaitu :[5]
1.
Inventarisasi naskah;
2.
Deskripsi naskah;
3.
Perbandingan naskah;
4.
Dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi;
5.
Singkatan naskah; dan
6.
Transliterasi naskah.
Baiklah masalah-masalah tersebut di
atas kita jelaskan satu-persatu, dan apa perlunya pokok-pokok penelitian itu
dilakukan.
1. Inventarisasi Naskah
Apabila kita ingin meneliti suatu
cerita bedasarkan naskah menurut cara kerja filologi, pertama-tama hendaklah
didaftarkan semua naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan universitas
atau museum yang biasa menyimpan naskah. Daftar naskah dapat dilihat
berdasarkan katalogus naskah yang tersedia. Sebagai contoh untuk naskah-naskah
yang berbahasa Melayu sudah ada sebuah daftar naskah yang disusun oleh Joseph
H. Howard dalam sebuah buku yang berjudul Malay Manuscripts. Dalam buku
ini telah didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di berbagai universitas
dan museum di alam dan di luar negeri berdasarkan katalogus yang ada, di
samping daftar salinan naskah-naskah Melayu yang terdapat di perpustakaan
Universiti Malaya.
Dalam buku Malay Manuscripts itu
didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di Muenchen, Brussel London,
Leiden, Berlin, Hamburg dan Jakarta. Bagi yang ingin memperdalam penelitian
mengenai naskah-naskah Melayu ini, nanti pada akhir pembicaraan ini, akan
dicantumkan daftar katalogus naskah Melayu.[6]
Naskah-naskah yang diperlukan dapat
diperoleh dengan memesan didaftar untuk mengetahui jumlah naskah dan di mana
naskah itu disimpan, serta penjelasan mengenai nomor naskah, ukuran naskah,
tulisan naskah, tempat dan tanggal penyalinan naskah. Keterangan-keterangan ini
dapat dilihat dalam katalogus.
Sebagai contoh, saya kutip daftar
naskah Tambo Minangkabau.
A. Jakarta
I. Van Ronkel (1909)
1. Bat. Gen 40 : 19 x 30 cm, 52 hal., 34 br., Arab-Melayu, jelas.
Sungai Batang, Ahad, Rajab 1263.
2. Bat. Gen 280 : 17 x 20 cm, 92 hal., 18 br., Arab-Melayu, jelas.
Air Haji, 1812.
II. KKNM (1972)
1. MI. 428 : 17 x 21,5 cm, 55 hal., 41 br., Arab-Melayu, jelas.
Kolofon tidak ada.
2. MI. 490 : 21 x 33 cm, 156 hal., 38 br., Latin, kurang jelas.
Kolofon tidak ada.
B. Leiden
I. Juynboll (1899)
1. Cod Or. 1745/CCLVI : 13 x 20 cm, 70 hal., 19 br., Arab-Melayu,
jelas, 13 Syafar 1240, Kitab Baginda Tanalam Sikaturi.
2. Deskripsi Naskah
Langkah kedua,
setelah selesai menyusun daftar naskah yang hendak kita teliti, dan naskah pun
telah tersedia untuk dibaca, barulah kita membuat uraian atau deskripsi
tiap-tiap naskah secara terperinci. Dalam uraian itu, di samping apa yang telah
disebutkan dalam daftar naskah, juga dijelaskan keadaan naskah, kertas, watermark
kalau ada, catatan lain mengenai isi naskah, serta pokok-pokok isi naskah itu.
Hal ini penting sekali untuk mengetahui keadaan naskah, dan sejauh mana isi
naskah itu. Penelitian ini sangat membantu kita untuk memilih naskah mana yang
paling baik digunakan untuk perbandingan naskah itu.[7]
Contoh yang amat sederhana dalam
hal ini saya kutip dari deskripsi naskah Hikayat Nur Muhammad, sebagai
berikut :
Nomor naskah : Bat. Gen. 96/MI. 96
Ukuran naskah : 13 x 20 cm, 18
hal., 15 br.
Tulisan naskah : Arab-Melayu,
kurang jelas.
Keadaan naskah : Kertas agak lapuk,
beberapa halaman dilapisi dengan kertas minyak, karena sobek.
Kolofon : tidak ada
Catatan lain : Naskah ini tercatat
pada katalogus Van Ronkel (1909), hal. 222, dan pada KKNM (1972), hal. 172.
Cerita dimulai pada halaman 2; isinya kurang lengkap. Naskah ini terdiri dari
dua cerita, yaitu :
1. Hikayat Nur Muhammad
2. Nasehat untuk perempuan (judul ini tidak tertera dalam naskah),
hal. 9-18.
Pokok-pokok isi cerita Hikayat Nur
Muhammad ini sebagai berikut :
1-3 : Dimulai dengan basmallah dan pujian terhadap kebesaran Allah
dalam bahasa Arab, tanpa terjemahannya. Kemudian dijelaskan, bahwa Nur Muhammad
itu telah diciptakan Allah sebelum adanya segala sesuatu di dunia ini. Itulah
permulaan kejadian.
3-6 : Tuhan menciptakan tujuh laut, yaitu laut ilmu, laut latif,
laut sabar, laut akal, laut pikir, laut rahmat dan laut cahaya. Nur Muhammad
diperintahkan Allah berenang ke tujuh laut itu. Nur Muhammad pun berenang ke
sana.
6-8 : Tuhan menciptakan segala sesuatu dari empat unsur, yaitu
angin, air, api, dan tanah. Nur Muhammad diperintahkan Tuhan pergi kepada tiap
unsur itu. Semuanya menyombongkan dirinya lebih tinggi dari yang lain, kecuali
tanah, ketika Nur Muhammad itu datang.
Setelah
semuanya diberi pelajaran oleh Nur Muhammad, barulah masing-masing sadar akan
kekurangannya dan bertobat kepada Tuhan.
Dari
deskripsi naskah tersebut di atas itu jelaslah, bahwa naskah tersebut isinya
sangat sederhana, tidak lengkap, tulisannya juga tidak jelas dan naskah sudah
agak rusak. Keterangan-keterangan seperti tersebut di atas itulah yang dapat
nanti digunakan sebagai bahan pertimbangan memilih naskah yang baik untuk
diteliti lebih lanjut.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, deskripsi tersebut masih sangat sederhana. Apabila
kita ingin keterangan yang lebih terperinci, hendaklah pula dijelaskan berapa
halaman naskah itu yang terpakai dan berapa halaman yang kosong.
Bagaimanakualitas kertasnya, bergaris atau polos, ukurannya kuarto atau folio,
warnanya putih atau sudah menguning? Kalau ada juga sebutkan ciri-ciri
watermark kertas itu. Apa warna tinta yang digunakan, hitam, merah, atau biru?
Keterangan mengenai tulisan naskah juga dapat diperjelas, misalnya besar,
kecil, rapi, sembono, bagus, atau jelek. Susunan baris naskah teratur atau
tidak, disertai garis pinggir, dihiasi atau tidak? Apakah juga ada catatan pada
pinggir naskah atau tidak? Dan keterangan-keterangan atau ciri-ciri khusus
lainnya kalau ada perlu disebutkan
3. Perbandingan Naskah
Satu
tahaplagi penelitian filologi yang memerlukan ketekunan dan memakan banyak
waktu, ialah perbandingan naskah. Perbandingan naskah perlu dilakukan, apabila
sebuah cerita ditulis dalam dua naskah atau lebih untuk membetulkan kata-kata
yang salah atau tidak terbaca; untuk menentukan sisilah naskah; untuk
mendapatkan naskah yang terbaik; dan untuk tujuan-tujuan lain.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam naskah-naskah itu timbul, karena naskah
itu diperbanyak dengan menyalin. Dalam menyalin kembali itu terdapat banyak
kesalahan dan penambahan baru, karena cara yang dilakukan dalam menyalin naskah
itu bermacam-macam sesuai dengan kepandaian dan keinginan si penyalin.
Dari
pengamatan sementara, dapat disimpulkan di sini cara yang dilakukan dalam
menyalin naskah itu sebagai berikut :[8]
a. Menyalin dengan membetulkan;
b. Menyalin dengan menggunakan bahasa sendiri;
c. Menyalin dengan menambah unsur atau bagian cerita baru, karena
adanya pengaruh asing; dan
d. Menyalin ceritera dari ceritera lisan atau sumber yang berbeda.
Hal-hal
inilah yang menyebabkan perlunya naskah itu diperbandingkan. Sudah menjadi ciri
sastra lama, bahwa pengarang atau penyalin cerita bebas menambah, mengubah atau
memperbaiki ceritera yang diperolehnya. Meskipun demkian, tentu ada
batas-batasnya juga, sepanjang isi atau pokok ceritanya tidak berubah, karena
mengubah suatu tradisi tabu bagi masyarakat lama. Masyarakat lama menganggap
naskah itu sebagai warisan atau pusaka yang tinggi nilainya. Hal inilah yang
memberi jaminan pada kita, bahwa isinya dapat dipercayai, betul-betul hidup
dalam masyarakat sesuai dengan kepercayaannya dan tidak dikarang sesuka
penulisnya.
Perbandingan naskah itu dapat
meliputi :
a. Perbandingan kata demi kata, untuk membetulkan kata-kata yang
tidak terbaca atau salah;
b. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa, untuk
mengelompokkan cerita dalam beberapa versi dan untuk mendapatkan cerita yang
bahasanya lancar dan jelas; dan
c. Perbandingan isi cerita, untuk mendapatkan naskah yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang dan untuk mengetahui adanya unsur baru dalam
naskah itu.
Hal
ini perlu dilakukan untuk mendapatkan cerita yang bebas dari kesalahan; isi
cerita tidak diinterpretasikan secara salah; penggolongan cerita sesuai dengan
penyajiannya; dan untuk menentukan sisilah naskah itu.
Sebagai contoh perbandingan kata
demi kata dan perbandingan susunan kalimat, dapat kami sajikan di sini suatu
kutipan berdasarkan dua naskah Tambo Minangkabau. Perhatikanlah kutipan di bawah
ini dengan seksama :[9]
|
(Kata-kata yang berbeda pada kedua
naskah itu saya beri garis bawah, supaya lebih jelas kelihatannya).
Dari perbandingan kedua naskah itu,
dapatlah kita lihat banyaknya perbedaan kata-kata pada kedua naskah itu. Dan
dari perbandingan itu dapat pulalah kita memilih kata-kata mana yang lebih
tepat dan betul pada kedua naskah itu. Misalnya, pada naskah MI. 439 terdapat
kata ‘Adam alaihi s-salam’, sedang pada naskah MI.489 tertulis ‘ Nabi Allah
Adam’. Sebaiknya ditulis ‘ Nabi Adam Alaihi s-salam’, masing-masing saling
melengkapi. Demikian pula kata-kata ‘ribut dan kaca-kaca’ pada naskah MI. 489,
sedang pada naskah MI. 439 tertulis ‘nobat dan kecapi’. Dalam hal ini yang
betul adalah ‘nobat dan kecapi’ (sejenis alat musik). Naskah MI.439 dapat
membetulkan kesalahan yang erdapat pada naskah MI. 489 itu.
Perbandingan isi cerita hanya dapat
dilakukan berdasarkan garis besar atas pokok-pokok isi cerita yang dapat
dilihat pada deskripsi naskah.
4. Dasar-dasar Penentuan Naskah yang Akan Ditransliterasi
Teori yang digunakan untuk memilih
naskah yang akan ditransliterasikan tentulah dihubungkan dengan tujuan
penlitian. Salah satu tujuan penelitian filologi, ialah untuk mendapatkan suatu
naskah yang paling lengkap dan paling baik atau yang paling representatif dari
naskah-naskah yang ada. Dengan demikian perlu perbandingan naskah. Semua naskah
yang ada diteliti dan dibandingkan isinya, tulisannya, keadaannya, bahasanya,
dan umur naskah itu.
Berdasarkan hal itu dapatlah kita
gunakan kerangka teori untuk memilih naskah yang paling baik dan paling lengkap
itu sebagai berikut :[10]
1. Isinya lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah
lain;
2. Tulisannya jelas dan mudah dibaca dan diutamakan naskah yang
ditulis dengan huruf Arab-Melayu;
3. Keadaan naskah baik dan utuh;
4. Bahasanya lancar dan mudah dipahami; dan
5. Umur naskah lebih tua.
Hal-hal tersebut di atas tentu baru
bisa diketahui setelah adanya daftar naskah, deskripsi naskah yang cermat, dan
perbandingan naskah.
Naskah yang memenuhi syarat-syarat
tersebut di atas itulah yang kita pilih untuk ditransliterasikan sebagai dasar
dan naskah lainnya kita gunakan yang terdapat pada naskah yang kita pakai
sebagai dasar itu. Dengan demikian terpenuhilah tujuan penelitian untuk
mendapatkan suatu naskah yang lengkap isinya dan baik bahasanya.
5. Singkatan Naskah
Membuat
singkatan naskah secara terperinci dapat dikatakan sebagai langkah kelima
penelitian filologi. Salah satu tujuannya, ialah untuk memudahkan pengenalan
isi naskah. Naskah-naskah yang akan dibuat singkatannya itu hendaklah dipilih
naskah yang terbaik dari naskah yang ada, sebagaimana telah kita bicarakan pada
ad. 4 tersebut di atas.
Dalam
menyusun singkatan naskah itu hendaklah dicantumkan halaman-halaman naskah
secara cermat, sehingga dengan mudah dapat diketahui dari halaman berapa sampai
halaman berapa suatu episode atau bagian cerita itu dimulai dan selesai
diikhtisarkan.
Singkatan
naskah secara terperinci dapat pula dianggap sebagai usaha pertama
memperkenalkan hasil-hasil sastra lama yang masih berupa tulisan tangan dan
kebanyakan ditulis dengan huruf Arab-Melayu itu, agar dengan mudah dapat dibaca
dan diketahui garis besar jalan ceritanya. Sebagai contoh dalam hal ini ialah
sebuah kumpulan singkatan naskah yang berjudul : “Singkatan Naskah Sastra
Indonesia Lama Pengaruh Islam”.[11]
Bahasa dan Kesusastraan,
Seri Khusus no. 18, th. 1973, Lembaga Bahasa Nasional, Jakarta.
6. Transliterasi/Transkripsi Naskah
Yang
dimaksud dengan transliterasi, ialah penggantian atau pengalihan huruf demi
huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Misalnya dari huruf Arab-Melayu
ke huruf Latin. Dapat juga dari huruf Jawa atau Sansekerta ke huruf Latin atau
sebaliknya. Sedang transkripsi ialah gubahan teks dari satu ejaan ke ejaan
lain. Misalnya, naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Latin yang sudah barang
tentu ditulis dengan ejaan lama diubah dalam ejaan yang berlaku sekarang. Akan
tetapi tugas yang dilakukan dalam transliterasi atau transkripsi itu tidak
hanya sampai di situ saja. Naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu
itu tidak disertai tanda-tanda baca, seperti titik, koma, tanda kutip, huruf
besar dsb. Sehingga sukar menyusun kalimat; juga tak ada pembagian dalam alinea
dan bab, sehingga sukar menentukan kesatuan-kesatuan bagian cerita dan
menyukarkan membaca. Sebagian besar naskah-naskah yang berbahasa Melayu ditulis
dengan huruf Arab-Melayu ini.
Semuanya
itu perlu dijelaskan oleh filolog, agar tidak terdapat lagi kekeliruan dan
salah tafsir. Filolog hendaklah sedapat-dapatnya menyajikan bahan transliterasi
atau transkripsi itu selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, sehingga mudah
dibaca dan dipahami, dengan jalan menyusun kalimat yang jelas disertai
tanda-tanda baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk memudahkan
konsentrasi pikiran. Di samping itu juga disajikan perbedaan-perbedaan kata
pada naskah-naskah lain, perbaikan-perbaikan serta komentar dan penjelasannya;
sehingga dapat ditetapkan bagaimana bunyi teks itu seharusnya.
Transliterasi
kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa Arab memerlukan sistem yang khusus,
karena fonem-fonem bahasa Indonesia. Dalam hal ini perlu ditentukan terlebih
dahulu sistem ejaan khusus yang dipakai untuk transliterasi bahasa Arab itu.
7. Penutup
Dengan
selesainya transliterasi itu dikerjakan, selesai pulalah tugas utama peneliti
filologi. Dari transliterasi naskah ini, barulah dapat dilakukan penelitian
lebih lanjut yang berupa analisis isi naskah itu. Analisis atau pembahasannya
umpamanya dapat berupa analisis bahasa, struktur cerita, funsi cerita, pengaruh
asing, latar belakang kebudayaan, dan unsur-unsur kepercayaan yang berperan
dalam cerita itu.
Dapat
pula hasil transliterasi atau transkripsi itu digunakan sebagai obyek
penelitian ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sejarah, hukum, agama, sosiologi, dan
antropologi, sesuai dengan jenis naskah yang ada.[12]
Beberapa istilah asing yang perlu
diketahui dalam penelitian filologi ialah :[13]
Ablebsie
salah lihat, silap visual
Tidak tepat atau salah melihat
huruf-huruf atau kata-kata yang hampir sama bentuknya.
Archetipus
naskah yang sama dengan naskah asli
Eksemplar yang pertama-tama
bercabang.
Autograph penulis
naskah
Autography Naskah yang ditulis oleh pengarang
sendiri. Naskah inilah yang disebut naskah asli dan inilah sebaiknya dipakai
sebagai dasar penelitian. Tugas filolog pertama-tama mencari naskah ini.
Codex Unicus
naskah tunggal dari suatu tradisi
Hanya
terdapat satu-satunya naskah mengenai cerita itu.
Colophon Catatan yang terdapat pada akhir
teks, biasanya berisi keterangan mengenai tempat, tanggal, dan penyalin naskah.
Conjectura dugaan,
ajukan
Constitutio textus Usaha perbaikan naskah didasarkan
atas tekanan yang berlandaskan hasil penelitian ilmiah. Menetapkan teks itu
bagaimana seharusnya.
Corruptela cacat
Bagian
naskah yang tidak bisa dipakai lagi, tidak bisa dibaca dan tidak tahu lagi
artinya.
Crux
buntuan
Bagian
cerita yang salah atau tidak bisa dipahami dan tidak pula dapat diketahui
bagaimana seharusnya.
Dittografie
rangkap tulis
Perangkapan
huruf, kata atau angka. Beberapa kata ditulis dua kali.
Emendation
pembetulan
Perbaikan berdasarkan pemikiran
kita sendiri, tidak berdasarkan naskah lain. Hal ini terjadi, kalau hanya
terdapat satu-satunya naskah.
Haplographie
langkau tulis
Membuang
sebuah kata atau lebih, karena kata yang sama atau rangkaian huruf terdapat dua
kali berturut-turut.
Haplologie
susut bunyi
Dua
suku kata, disebut hanya satu suku kata.
Interpolatio Penambahan kata atau bagian
kalimat, karena kekeliruan atau disengaja.
Lacunae Kata yang terlampaui atau bagian
kalimat yang kosong.
Recensio pertimbangan,
pensahihan
Mencari
sebanyak-banyaknya naskah yang berisi cerita yang sama dan diperbandingkan;
setelah itu barulah dilakukan pertinbangan naskah-naskah yang ada itu.
Variant Bacaan yang berbeda dari bacaan
yang dipandang mula.
Perbedaan
yang terdapat pada dua naskah atau lebih dan tidak bisa diketahui bagaimana
seharusnya.
KESIMPULAN
Penutup
Langkah pertama studi filologi
adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa kajian teks. Kajian teks
membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu pengetahuan guna memperluas
cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi akan dirasakan manfaatnya
secara lebih luas pula. Tampaknya hal ini cukup menjadi perhatian kita untuk
mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, dkk., 1983. Pengantar Teori Filologi.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UNS.
Christomu, Tomy. 1988. “Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di
FSUI”. Seminar Pernaskahan 30-31 Agustus. Jakarta: Fak. Sastra UI.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Symposium on the Study of
Indonesian Literatures. 1986. “Variation and
Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literatures”. 10 – 12 September. Leiden.
http://maduraku-maduranesia.blogspot.com/2009/04/filologi.html
2. Edisi
Teks dan Kritik Teks
Edisi teks atau sering
dikenal dengan istilah suntingan teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara
utuh setelah dilakukan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian teks
adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai sebagai dasar
transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu metode kritik
teks. Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan
varian-varian yang ada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema)
(Christomy, 1988: 7; Mass: 1972). Jadi
menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi,
tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.
Langkah awal dari suatu
penelitian teks adalah menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan
terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi
naskah dapat dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam
suatu katalog naskah. Upaya memperoleh naskah
kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalam katalogus naskah dapat juga
ke suatu badan atau perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut. Pada
umumnya penulisan skripsi/tesis S-1 dan S-2 dapat dimaklumi jika pelacakan
naskah itu hanya dilakukan di dalam negeri atau hanya daerah tertentu misalnya
di Jawa, hal itu dapat dilakukan karena mengingat adanya
keterbatasan-keterbatasan. Tetapi untuk penulisan suatu desertasi, pelacakan
naskah itu harus dilakukan secara internasional, artinya peneliti harus dapat
melacak semua naskah yang ada di dunia berdasar sumber-sumber yang layak, misal
katalogus naskah, journal, dan penerbitan-penerbitan yang ada. Prof. Dr.
Sulastin Sutrisno *) pernah mengatakan bahwa pada suatu ujian desertasi tentang
Filologi, tiba-tiba saat dilakukan ujian itu baru diketahui ada satu naskah
yang belum disebutkan dalam penelitian itu, padahal naskah itu berada di
Perancis, maka ujian itu ditunda dan promovendus yang bersangkutan harus
melacak naskah itu ke Perancis. Hal ini merupakan satu contoh bahwa menyunting
naskah itu memerlukan suatu penelitian yang seksama dengan data yang lengkap,
bukan asal menyunting sembarangan teks dengan asal melakukan suatu
transliterasi terhadap teks. Suatu hal yang kadangkala menimbulkan salah sangka
orang adalah adanya salah pengertian tentang istilah Suntingan Naskah atau
Edisi Naskah, sebagian orang menganggap bahwa menyunting atau mengedit itu
bukan sebagai suatu penelitian, anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Karena
penyuntingan naskah di dalam bidang filologi harus didasarkan suatu penelitian
yang menggunakan metode kritik teks.
Pentransliterasian naskah
yang tidak melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar
sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks harus didahului
oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi
sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks,
padahal teks yang belum digarap secara filologis masih terdapat kelemahan,
misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb.
Transliterasi naskah yang
tanpa didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang dipakai sebagai
objek penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada kelemahan. Kebiasaan ini
sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan skripsinya. Di pihak lain
ada contoh kasus yang perlu diperhatikan di sini ialah, bahwa Hikayat Indera
Bangsawan, di Museum Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama
isinya. Salah satunya pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu kemudian diketemukan
koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka (Fang, 1991: 175). Di Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu
tahun 1310 dan 1323 H atau 1890 dan 1862 M. di Aceh
juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti terus saja percaya
kepada naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbitan di
Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang sempurna. Itulah sebabnya edisi
kritis itu amat perlu dilakukan.
Pengembangan Penelitian Filologi
Dalam penyelenggaraan
pertemuan-pertemuan ditingkat internasional, disiplin ilmu filologi sering dikaitkan
bidang sastra, atau dengan kata lain pertemuan-pertemuan itu tidak begitu
mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan
kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra (lih.
“Symposium”: 1986). Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu
edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan menggunakan
metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah diketahui terlebih dahulu
mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian filologi. Berikut dikemukakan
ruang lingkup penelitian filologi dan pengembangannya dalam bentuk skema
SKEMA EDISI TEKS DAN KAJIAN TEKS
1
|
PENGANTAR EDISI TEKS
|
PENDAHULUAN
Seperangkat unsur Pendahuluan
yang lazim bagi suatu penelitian: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Landasan Teori, Tujuan Penelitian, dsb.
|
2.
|
INTI EDIDI TEKS
|
DESKRIPSI NASKAH
- Informasi: Inventarisasi
Naskah,
- Keadaan Naskah: Tulisan, Bentuk
Huruf, Bahasa, Isi, dsb.
- Sejarah Penurunan Naskah, dsb.
- Transliterasi Naskah
- Aparat Kritik
|
3.
|
PELENGKAP EDISI TEKS
|
Penjelasan: Kandungan
Teks
- Daftar Kata Asing
- Indeks
- Terjemahan/Penafsiran
|
4.
|
KAJIAN TEKS
|
Metodologi:
- Intrinsik
- Ekstrinsik
- Gabungan antara
Intrinsik-Ekstrinsik
|
5.
|
PENUTUP
|
Kesimpulan/Saran
- Kepustakaan
- Lampiran
|
Unsur-unsur penelitian filologi
yang paling penting adalah nomer 1), 2), 3), 5). Studi yang demikian ini sudah
dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis.
Unsur nomer 4) merupakan bagian
yang memungkinkan dikembangkannya penelitian filologi dengan berbagai disiplin
ilmu terutama bidang kebahasasan dan kesusastraan. Jadi jika sumber data itu
sudah merupakan hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat diterapkan. Di
sini terbuka kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat
pendekatan sastra yang makin hari makin pesat perkembangannya. Dan di sini pula
filolog dapat menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus perkembangan
ilmu pengetahuan.
Kajian terhadap teks terbuka
kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan literer, kebahasaaan, dan
pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang dapat dipakai (disesuaikan
dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah pendekatan struktural, mimetik,
pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik,
dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dilakukan dengan gabungan antara
pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson,
lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan
pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan literer dengan pendekatan
multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme
atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus tentang pendekatan reseptif
(misalnya analisis reseptif terhadap kitab Undang-undang dapat dikomparasikan
dengan ilmu hukum). Akhir-akhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan
struktural, fungsional, reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang
menggunakan pendekatan yang lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat
memberi peluang bagi penulis-penulis lain untuk mengembangkan penelitiannya
dengan variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan
pendekatan mutakhir dan relevan dengan masalah kekinian akan menempatkan
filologi sesuai dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Sehingga peranan filologi dapat dirasakan manfaatnya dalam
kalangan yang lebih luas terutama di dunia ilmu pengetahuan.
Penutup
Langkah pertama studi filologi
adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa kajian teks. Kajian teks
membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu pengetahuan guna memperluas
cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi akan dirasakan manfaatnya
secara lebih luas pula. Tampaknya hal ini cukup menjadi perhatian kita untuk
mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, dkk., 1983. Pengantar
Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UNS.
Christomu, Tomy. 1988. “Beberapa
Catatan tentang Studi Filologi di FSUI”. Seminar Pernaskahan 30-31 Agustus.
Jakarta: Fak. Sastra UI.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Maas, Paul. 1972. Textual
Criticism. Translated from the German by Barbara Flower (many reprints).
Oxford University Press.
Symposium on the Study of
Indonesian Literatures. 1986. “Variation and
Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literatures”. 10 – 12
September. Leiden.
http://maduraku-maduranesia.blogspot.com/2009/04/filologi.html
[4]
Christomu,
Tomy. 1988. “Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di FSUI”. Seminar
Pernaskahan 30-31 Agustus. Jakarta: Fak. Sastra UI.
[6]
Christomu,
Tomy. 1988. “Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di FSUI”. Seminar
Pernaskahan 30-31 Agustus. Jakarta: Fak. Sastra UI.
[8]
Symposium
on the Study of Indonesian Literatures. 1986. “Variation and
Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literatures”. 10 – 12
September. Leiden.
[9]
http://maduraku-maduranesia.blogspot.com/2009/04/filologi.html
[12]
http://maduraku-maduranesia.blogspot.com/2009/04/filologi.html
[13]
Symposium
on the Study of Indonesian Literatures. 1986. “Variation and
Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literatures”. 10 – 12
September. Leiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar